Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, kembali menjadi sorotan setelah memimpin langsung razia terhadap truk-truk berplat nomor Aceh di jalur lintas Bukit Lawang, Kabupaten Langkat. Razia tersebut tidak sekadar bersifat administratif lalu lintas, melainkan sarat dengan pesan politik dan ekonomi. Bobby secara terbuka meminta agar kendaraan yang beroperasi di Sumatera Utara beralih ke plat BK demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pernyataan ini sontak memicu kontroversi luas.
Secara hukum, kendaraan berplat BL (Aceh) tetap sah beroperasi di seluruh wilayah Indonesia. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menegaskan bahwa nomor polisi adalah tanda legalitas nasional, bukan provinsi. Tidak ada satu pasal pun yang membatasi kendaraan antarprovinsi melintas sepanjang dokumen resmi terpenuhi. Maka, razia terhadap plat Aceh, apalagi dengan dalih PAD, justru menabrak asas legalitas.
Argumentasi peningkatan PAD memang masuk akal bagi sebuah pemerintah daerah. Pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan merupakan salah satu sumber utama PAD provinsi. Namun, memaksa kendaraan berplat Aceh berganti ke plat Sumut sama saja dengan memelintir logika otonomi daerah. Otonomi diberikan untuk meningkatkan pelayanan publik, bukan untuk menciptakan diskriminasi administratif terhadap warga negara dari provinsi lain.
Lebih ironis lagi, tindakan Bobby justru menimbulkan kesan bahwa Sumatera Utara sedang "menutup diri" dari mobilitas regional. Padahal, dalam kerangka NKRI, mobilitas barang dan manusia antarprovinsi dijamin konstitusi. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Ketika truk Aceh dipaksa tunduk pada rezim pajak Sumut, keadilan konstitusional itu tercederai.
Secara ekonomi, kebijakan ini kontraproduktif. Data BPS mencatat bahwa perdagangan antarprovinsi Aceh–Sumatera Utara menyumbang signifikan pada perputaran ekonomi kawasan barat Indonesia, khususnya komoditas perkebunan, pangan, dan material konstruksi. Jika kendaraan logistik Aceh terus dipersekusi, rantai distribusi akan terganggu, harga barang melonjak, dan pelaku usaha kehilangan kepastian hukum. Target PAD yang dikejar bisa berubah menjadi kerugian ekonomi jangka panjang.
Dari perspektif hukum administrasi, tindakan Bobby rawan digugat. Penertiban plat kendaraan adalah domain kepolisian, bukan gubernur. Jika gubernur memaksa kendaraan dari Aceh berganti nomor polisi dengan dalih PAD, maka yang muncul adalah indikasi detournement de pouvoir—penyalahgunaan kewenangan. Konsep ini sudah lama dikenal dalam hukum administrasi Indonesia dan bisa diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam kerangka teori negara, Max Weber menegaskan bahwa negara modern harus berjalan dengan legitimasi rasional-legal, bukan dengan kehendak personal pejabat. Razia plat Aceh oleh Bobby mencerminkan praktik patrimonialisme baru: hukum dijadikan alat kekuasaan untuk mengoptimalkan pendapatan daerah, meski dengan mengorbankan hak-hak konstitusional warga negara.
Dari sudut pandang sosiologis, kebijakan ini berpotensi memperlebar jurang sosial. Aceh memiliki ikatan sejarah, budaya, dan ekonomi yang kuat dengan Sumatera Utara. Ribuan warga Aceh menggantungkan hidup di Medan dan sekitarnya. Perlakuan diskriminatif seperti ini akan melahirkan sentimen kedaerahan, memperkuat stereotip, dan menghidupkan kembali memori konflik masa lalu. Dalam politik, ini disebut grievance politics, yakni politik berbasis keluhan kolektif yang mudah dimobilisasi.
Pernyataan Bobby bahwa plat Aceh harus diantisipasi menjadi plat Sumut demi PAD juga mengabaikan logika fiskal nasional. Pajak kendaraan bermotor adalah pajak provinsi, tetapi keberadaannya tidak boleh memutus mobilitas antarwilayah. Jika semua provinsi mengambil sikap serupa, maka integrasi fiskal nasional akan runtuh. Bayangkan, apakah Jawa Tengah bisa memaksa kendaraan dari Jawa Timur berganti plat hanya karena sering melintas di Semarang?
Dalam dimensi politik, langkah ini tampak sebagai panggung pencitraan. Bobby, yang kerap disebut sebagai figur muda potensial di kancah politik nasional, mungkin ingin menunjukkan ketegasan dalam menggenjot PAD. Namun, ketegasan yang dibangun di atas diskriminasi justru berbalik menjadi blunder politik. Alih-alih menuai simpati, ia berhadapan dengan kritik luas dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat Aceh sendiri.
NKRI sejatinya adalah rumah bersama yang meniadakan sekat artifisial antarprovinsi. Semangat otonomi daerah tidak boleh disalahartikan sebagai hak untuk memaksa daerah lain tunduk pada aturan lokal. Otonomi bukan federalisme; ia adalah desentralisasi yang tetap berada dalam bingkai kesatuan. Razia plat Aceh di Sumut adalah contoh buruk bagaimana semangat desentralisasi melenceng menjadi politik eksklusivitas daerah.
Di tengah gencarnya pemerintah pusat menggaungkan integrasi Nusantara melalui pembangunan infrastruktur dan konektivitas, tindakan Bobby justru memberi sinyal sebaliknya: NKRI seolah rapuh di tangan pejabat yang gagal memahami logika persatuan. Jika keadilan dan kesetaraan tidak dijaga, slogan NKRI akan kehilangan makna substantif, tinggal simbol kosong yang dipertontonkan di panggung politik.
Akhirnya, razia plat Aceh oleh Gubernur Bobby Nasution adalah ironi besar. Atas nama PAD, kesetaraan warga negara dikorbankan. Atas nama ketegasan, hukum dilanggar. Dan atas nama NKRI, justru semangat persatuan dikoyak. Bila negara ingin tetap utuh, maka yang harus ditegakkan bukan sekadar aturan administratif, melainkan keadilan substantif yang menjamin setiap warga negara diperlakukan sama di seluruh pelosok Indonesia.
Demikian.
Penulis, Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,S.H., Praktisi Hukum
Posting Komentar
0Komentar