Memfoto Surat Suara: Ancaman Terhadap Demokrasi Kampus

Media Barak Time.com
By -
0

 



Forum Penyelamat USU (FP-USU)~Pemilihan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) seharusnya menjadi momentum akademik yang menjunjung tinggi integritas, transparansi, dan etika demokrasi. Namun, publik dikejutkan dengan beredarnya gambar seorang calon rektor, Prof. Mohammad Basyuni, yang diduga memfoto kertas suara di bilik pemungutan suara Pilrek USU pada 24 September 2025. Jika benar, tindakan ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan menyentuh jantung persoalan demokrasi kampus.


Dalam teori demokrasi modern, sebagaimana ditegaskan Robert A. Dahl, asas kebebasan memilih dan kerahasiaan suara adalah pilar yang tak bisa ditawar. Ketika surat suara di foto, kerahasiaan yang menjadi inti asas Luber (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia) otomatis ternodai. Demokrasi kampus kehilangan makna jika kerahasiaan suara berubah menjadi komoditas politik yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak tertentu.


Praktik ini juga berpotensi melanggar asas Judil (Jujur dan Adil) dalam penyelenggaraan pemilihan. Sebab, dokumentasi surat suara bisa membuka ruang transaksi politik, pengawasan ilegal, bahkan tekanan psikologis terhadap pemilih. Alih-alih menjadi ruang intelektual yang berlandaskan kejujuran, kampus justru berubah menjadi laboratorium kecurangan.


Memfoto kertas suara tidak hanya persoalan prosedural, tetapi juga etika, moral dan hukum . Kampus adalah rumah moralitas dan kebenaran ilmiah. Setiap tindakan calon pemimpin di dalamnya semestinya menjadi teladan integritas. Ketika kandidat sendiri terciduk melanggar etika pemilihan, kepercayaan terhadap proses demokrasi kampus otomatis tergerus, tegas Taufik di sekretariat Jalan Sutomo Medan.


Lebih jauh, tindakan ini dapat memunculkan kecurigaan akan adanya praktik intimidasi. Foto surat suara berfungsi sebagai bukti kepatuhan kepada pihak yang mungkin mengendalikan arah suara. Demokrasi kampus kemudian terancam berubah menjadi demokrasi semu, di mana pilihan hanya tampak bebas di permukaan, tetapi sejatinya dibelenggu oleh kepentingan.


Konsekuensi paling serius adalah erosi kepercayaan publik. Pemilihan rektor (Pilrek) tidak hanya urusan internal civitas akademika, melainkan juga cermin bagi masyarakat luas tentang kualitas moral universitas. Jika pemilihan diwarnai manipulasi, publik akan bertanya: bagaimana mungkin sebuah institusi akademik mengajarkan integritas jika praktik internalnya jauh dari asas demokrasi dalam pemilihan rektor tersebut?


Di Indonesia, regulasi kepemiluan jelas melarang membawa alat komunikasi ke dalam bilik suara. Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahkan menegaskan, memotret surat suara merupakan tindak pelanggaran serius. Kendati Pilrek USU bukan pemilu nasional, prinsip demokrasi semestinya berlaku universal. Pelanggaran semacam ini tidak bisa ditoleransi hanya karena berada di ruang kampus.


Jika dibiarkan, insiden ini bisa menjadi preseden buruk. Calon rektor berikutnya mungkin merasa sah untuk mengulang tindakan serupa. Demokrasi kampus pun terancam menjadi praktik penuh kepura-puraan, tanpa substansi etis, moral dan hukum. Padahal, kampus semestinya menjadi role model demokrasi bagi masyarakat.


Secara teoritis, Giovanni Sartori mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur pemilihan, tetapi juga soal kualitas moral dan legitimasi. Pemimpin yang lahir dari praktik curang kehilangan legitimasi moral sejak awal. Ia mungkin menang secara administratif, tetapi gagal mengemban amanat etika dan moral kepemimpinan.


Dari perspektif sosiologis, tindakan ini juga mencederai norma sosial masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kejujuran dan rasa keadilan. Di Sumatera Utara, di mana nilai kolektivitas dan kehormatan dijaga, praktik semacam ini hanya menambah luka kolektif dalam memori publik tentang rusaknya integritas penyelenggara institusi.


Lebih jauh, tindakan ini dapat dianggap sebagai bentuk detournement de pouvoir—penyalahgunaan wewenang demi keuntungan pribadi dalam ruang demokrasi. Kampus yang semestinya menjadi arena pertarungan gagasan yang demokratis berubah menjadi arena permainan kekuasaan yang pragmatis dan penuh manipulasi.


Demokrasi kampus hanya bisa diselamatkan melalui ketegasan. Panitia pemilihan harus transparan, memberikan klarifikasi terbuka, dan jika terbukti, menjatuhkan sanksi tegas kepada pelaku. Membiarkan kasus ini menguap sama saja dengan melegalkan kecurangan. Kredibilitas USU sebagai universitas negeri ternama akan runtuh jika masalah sebesar ini ditutup-tutupi.


Sejarah demokrasi selalu menunjukkan: kredibilitas hanya bisa dijaga melalui ketegasan terhadap pelanggaran. Demokrasi kampus bukan sekadar seremoni memilih rektor, melainkan ujian moral bagi seluruh civitas akademika. Memfoto surat suara bukan lagi perkara prosedural, melainkan ancaman serius terhadap kepercayaan publik, bahkan dapat berujung pada gugatan hukum mengingat telah ada yurisprudensi yang melarang tindakan tersebut, pungkas Taufik Ketua FP-USU.


Pilrek USU seharusnya menjadi refleksi bersama: apakah universitas akan berdiri sebagai teladan moral bangsa, atau justru tenggelam dalam arus pragmatisme kekuasaan? Jawabannya terletak pada keberanian USU menegakkan integritas. Demokrasi kampus hanya akan hidup jika ditegakkan dengan etika, kejujuran, dan keberanian melawan segala bentuk manipulasi,ujar Taufik.


Siaran Pers, Ketua Forum Penyelamat USU (FP-USU),  Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)