Pendahuluan
Medan – Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) semestinya menjadi mercusuar kemajuan hukum. Namun, rancangan terbaru justru menghidupkan kembali bayang-bayang otoritarianisme dalam sistem peradilan pidana kita. Di tengah semangat reformasi dan janji penguatan hak asasi, RUU KUHAP secara terang-terangan meminggirkan peran advokat dalam tahap paling krusial: penyelidikan dan penyidikan. Advokat, yang menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 adalah penegak hukum, diposisikan seolah hanya "tamu tak diundang" dalam proses awal hukum pidana.
Padahal, di sinilah sering terjadi pelanggaran paling telanjang terhadap hak-hak tersangka: intimidasi, paksaan, penyiksaan, bahkan manipulasi berita acara. Ironisnya, alih-alih memperkuat jaminan perlindungan terhadap warga negara, RUU ini justru melanggengkan praktik ketimpangan. Tidak ada ruang yang setara antara jaksa-penyidik dan advokat. Tidak ada keadilan jika salah satu pihak dikunci di luar ruang permainan.
Advokat: Penjaga Keadilan yang Dihambat Aksesnya
Secara substansi, RUU KUHAP memang tidak mencabut status advokat sebagai penegak hukum. Namun pembatasan yang dilakukan—baik secara eksplisit maupun implisit—telah memiskinkan makna dari fungsi pembela. Advokat hanya diperbolehkan hadir setelah status tersangka ditetapkan, padahal tahap pra-tersangka justru menjadi titik paling rawan dalam proses pidana.
Data dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tahun 2024 menunjukkan bahwa 8 dari 10 tersangka tidak didampingi penasihat hukum saat pertama kali diperiksa. Angka ini memperlihatkan bagaimana ketimpangan terjadi secara sistematis dan dibiarkan oleh sistem hukum yang semestinya menjamin prinsip due process of law. Dalam praktik, banyak pengakuan diperoleh dengan cara yang tidak manusiawi dan penuh tekanan, tanpa adanya perlindungan hukum yang layak.
Lebih mengkhawatirkan lagi, ketidakadilan ini diperparah dalam kasus anak dan kelompok rentan. Padahal, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengharuskan pendampingan sejak awal. Jika hukum tidak bisa menegakkan hukumnya sendiri, maka bagaimana mungkin kita berharap hukum menegakkan keadilan?
Pasal-Pasal Diskriminatif: Pembela Dipaksa Diam di Luar
RUU KUHAP versi terakhir hanya menyebutkan pendampingan dalam Pasal 53 dan 54—itu pun setelah status tersangka ditetapkan. Tidak ada jaminan hak hadir sejak proses lidik. Tidak ada hak mengakses dokumen penyidikan dari awal. Tidak ada mekanisme keberatan atas prosedur penyidikan yang cacat. Ini bukan sekadar kekosongan hukum, melainkan bentuk nyata diskriminasi terhadap peran advokat.
Di negara-negara yang menjunjung tinggi prinsip fair trial, seperti Belanda dan Jerman, akses penasihat hukum dibuka sejak detik pertama pemeriksaan. Advokat tidak hanya hadir, tetapi diberi hak melihat berkas, mengajukan keberatan, bahkan menunda pemeriksaan jika ditemukan prosedur menyimpang. Di Indonesia, kita masih terpaku pada paradigma lama: menempatkan penyidik di atas segala-galanya, dan membungkam pembela dengan legalitas yang semu.
RUU KUHAP, dalam bentuknya saat ini, menjadi alat konfirmasi dominasi lembaga penyidik. Ia bukan jalan menuju keadilan, melainkan dinding baru yang menutup akses keadilan sejak awal. Jika tidak dikoreksi, maka Indonesia hanya mengganti baju hukum tanpa mengganti cara berpikir yang otoriter.
Lobi Kepolisian dan Warisan Paradigma Kolonial
Mengapa posisi advokat tetap lemah dalam naskah revisi ini? Jawabannya ada pada resistensi institusional. Kepolisian, sebagai lembaga yang diberi kewenangan besar dalam tahap penyidikan, memiliki kekhawatiran tersendiri terhadap kehadiran penasihat hukum. Advokat sering dianggap sebagai "pengganggu" proses, bukan mitra dalam pencarian kebenaran.
Pandangan ini lahir dari warisan hukum kolonial yang meletakkan negara di atas rakyat, bukan sebagai pelayan rakyat. Dalam kerangka demokrasi modern, paradigma itu seharusnya sudah ditinggalkan. Proses hukum bukan arena monopoli kekuasaan negara, melainkan arena dialog yang sehat, adil, dan terbuka antara seluruh pihak. Pembelaan adalah bagian tak terpisahkan dari penegakan hukum, bukan hambatan bagi penyidikan.
Tanpa Pembelaan Sejak Awal, Hukum Menjadi Alat Kekuasaan
Proses hukum yang menutup akses terhadap pembelaan sejak awal hanya akan menghasilkan bentuk lain dari otoritarianisme hukum. Tanpa kehadiran advokat dalam tahap awal, penyidikan menjadi ruang gelap tanpa pengawasan. Dalam ruang gelap inilah, kekuasaan hukum sering menjelma menjadi kekerasan yang sah secara administratif, tetapi cacat secara moral dan konstitusional.
RUU KUHAP harus menjadi jawaban atas situasi ini, bukan justru memperpanjangnya. Reformasi hukum tidak boleh berhenti pada perubahan terminologi dan penambahan pasal-pasal administratif. Reformasi harus menyentuh akar: bagaimana kekuasaan digunakan, bagaimana hak warga negara dijamin, dan bagaimana hukum berfungsi untuk melindungi yang lemah, bukan memperkuat yang sudah berkuasa.
Penutup: Cermin Retak Demokrasi dalam RUU KUHAP
Revisi KUHAP yang tidak menempatkan advokat sebagai mitra setara dalam proses pidana adalah cermin retak dari demokrasi kita. Ia menggambarkan ketidaksiapan negara untuk memberikan ruang bagi perlindungan hukum yang sejati. Advokat adalah tembok pelindung terakhir bagi rakyat dalam menghadapi kekuasaan hukum yang represif. Jika peran itu terus dilemahkan, maka cita-cita negara hukum hanya akan tinggal retorika dalam pidato-pidato peringatan Hari Konstitusi.
DPR dan Pemerintah harus berani menatap kenyataan ini. Membenahi KUHAP bukan sekadar menyusun ulang pasal, tapi menyusun ulang keberpihakan negara. Tanpa keberpihakan pada keadilan slubstantif, hukum hanya akan jadi alat kekuasaan yang dilegalkan.
Demikian
Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Praktisi Hukum, Mantan Tenaga Ahli Komisi III DPR RI, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut, dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
_______
Daftar Pustaka
Institute for Criminal Justice Reform. Laporan Tahunan Reformasi KUHAP. Jakarta: ICJR, 2024.
Hukumonline. “Menyoal Minimnya Peran Advokat di RKUHAP.” Diakses 3 Agustus 2025.https://www.hukumonline.com/berita/a/menyoal-minimnya-peran-advokat-di-rkuhap-lt6825c575cd69c/
Komnas HAM. Catatan Akhir Tahun 2023: Kekerasan dalam Proses Hukum. Jakarta: Komnas HAM, 2023.
LPSK. Laporan Tahunan 2023. Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2023.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Posting Komentar
0Komentar