Pemilihan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) 2026–2031 menempatkan integritas sebagai isu utama. Nama Prof. Muryanto Amin, rektor petahana, kini disorot publik setelah dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi. Status hukum memang masih sebatas saksi, namun dalam ruang akademik, sekadar terseret dalam pusaran kasus korupsi sudah cukup mengguncang kredibilitas institusi. Kampus bukanlah arena kompromi; ia seharusnya berdiri di atas standar moral tertinggi.
Reputasi akademik tidak ditentukan semata oleh jumlah riset atau peringkat global, tetapi oleh tegaknya etika. Hukum positif sering memberi ruang tafsir, tetapi etika tidak pernah mengenal kompromi. Intelektual sejati tahu kapan harus berhenti: saat kepercayaan publik mulai tergerus. Karena bagi pemimpin kampus, kehilangan kepercayaan sama artinya dengan kehilangan legitimasi untuk memimpin.
Panitia seleksi dan senat universitas kini menghadapi ujian moral yang berat. Mereka bisa memilih jalan aman dengan berlindung pada formalitas hukum, atau menegakkan standar etika yang menjadi fondasi kepercayaan akademik. Keputusan ini bukan hanya tentang siapa yang akan memimpin USU, tetapi juga tentang wajah moral pendidikan tinggi Indonesia di mata publik.
Etika Lebih Tajam dari Hukum
Etika selalu bergerak lebih cepat daripada hukum. Hukum menuntut bukti, prosedur, dan putusan pengadilan sebelum menegaskan salah atau benar. Etika, sebaliknya, berangkat dari rasa kepatutan dan kepercayaan sosial yang sifatnya seketika. Begitu batas etika dilewati, reputasi runtuh tanpa perlu menunggu vonis. Di ruang publik, terutama dalam dunia akademik, kepercayaan jauh lebih berharga daripada sekadar pembebasan hukum.
Itulah sebabnya etika lebih sensitif daripada hukum. Banyak pejabat publik di negara maju memilih mengundurkan diri hanya karena muncul kecurigaan atau konflik kepentingan, meski secara hukum mereka masih bersih. Publik sudah kehilangan respek, dan kehilangan respek berarti kehilangan legitimasi. Konteks ini seharusnya juga berlaku di dunia akademik: rektor bukan sekadar administrator, tetapi teladan moral.
Pengunduran diri dalam situasi demikian bukan tanda kelemahan, melainkan wujud tanggung jawab. Ia adalah cara menjaga martabat pribadi sekaligus melindungi institusi agar tidak ikut tercoreng. Dalam tradisi akademik, tanggung jawab moral jauh lebih tinggi nilainya daripada sekadar lolos dari jeratan hukum. Inilah standar yang membedakan pemimpin akademik dari politisi biasa.
Pada akhirnya, integritas seorang intelektual diukur bukan dari seberapa banyak pasal hukum yang berhasil dihindari, tetapi dari kesediaannya menempatkan etika di atas segalanya. Hukum bisa menunda, tetapi etika menuntut segera. Bagi kampus, etika adalah napas yang menjaga kepercayaan publik. Tanpa etika, universitas hanya akan menjadi gedung kosong yang kehilangan jiwa.
Saksi Dalam Kasus Korupsi
Dalam kasus dugaan korupsi, posisi “saksi” sering dipandang ringan. Padahal, status ini tetap membawa konsekuensi moral. Korupsi adalah extraordinary crime—kejahatan luar biasa—yang merusak sendi bangsa. Maka, keterkaitan apa pun, bahkan sekadar dipanggil sebagai saksi, tetap menimbulkan keraguan publik terhadap integritas seseorang.
Banyak aturan di kementerian maupun lembaga pendidikan secara tegas mencantumkan larangan bagi calon pejabat publik yang sedang tersangkut perkara korupsi, termasuk sebagai saksi. Prinsipnya jelas: lebih baik kehilangan satu calon, daripada mempertaruhkan kredibilitas institusi.
Dalam konteks pemilihan rektor, hal ini semakin krusial. Rektor bukan sekadar manajer kampus; ia adalah simbol moral, wajah akademik, dan penjaga integritas lembaga. Bila calon rektor bahkan sekadar menjadi saksi dalam kasus korupsi, publik wajar meragukan moralitas dan komitmennya terhadap kejujuran.
Kasus Rektor USU
Sorotan publik kini tertuju pada Universitas Sumatera Utara (USU) terkait dugaan keterlibatan Rektor Muryanto Amin dalam perkara korupsi. Ketua Umum PP IKA USU bahkan secara terbuka mendukung KPK untuk memeriksanya. Dugaan kekayaan tidak wajar, proses tender yang janggal, hingga isu penyalahgunaan wewenang menyeret nama sang rektor.
Regulasi Kemendikbudsintek sebenarnya jelas: calon rektor yang tersangkut kasus korupsi tidak layak maju, meskipun “hanya” berstatus saksi. Dengan demikian, Panitia Penjaringan dan Senat Akademik USU seharusnya tidak menutup mata. Tugas mereka bukan hanya memilih calon terbaik, tetapi menjaga martabat universitas dari kompromi moral.
Langkah transparan perlu segera diambil. Audit kekayaan oleh BPK, klarifikasi terbuka di hadapan Senat, hingga pemeriksaan oleh aparat penegak hukum menjadi pintu keluar elegan untuk menjaga kepercayaan publik. Lebih baik proses penjaringan sedikit terguncang, daripada USU kehilangan integritas di mata nasional maupun internasional.
Momentum Menjaga Marwah Akademik
Kasus ini menjadi ujian besar bagi dunia akademik Indonesia. Apakah kampus masih berani menegakkan etika, atau justru tunduk pada politik kekuasaan? Apakah rektor dipandang sekadar jabatan administratif, atau tetap sebagai simbol moral dan teladan akademik?
Sejarah membuktikan, bangsa besar bukan dibangun hanya oleh hukum, melainkan juga oleh integritas. Di kampus, integritas adalah mata uang paling berharga. Jika intelektual tak lagi tahu batas antara sah secara hukum dan benar secara moral, maka kampus kehilangan marwahnya.
USU kini berada di persimpangan jalan. Pilihannya sederhana: menjaga kehormatan dengan menegakkan etika, atau membiarkan reputasi runtuh karena kompromi.
Penutup
Panitia pemilihan calon rektor USU tidak boleh hanya bersembunyi di balik formalitas hukum. Tugas mereka bukan sekadar mengelola proses administratif, tetapi menjaga marwah institusi. Keberanian menolak calon yang sudah tercoreng isu etik adalah wujud tanggung jawab moral, sekaligus pesan tegas bahwa USU menempatkan integritas di atas segala kepentingan.
Jika panitia lalai, bukan hanya calon bermasalah yang dipertaruhkan, tetapi kredibilitas seluruh universitas ikut runtuh di mata publik. Pendidikan tinggi hanya akan dihormati bila berdiri di atas prinsip etika. Karena itu, langkah tegas menolak calon yang melanggar etik adalah jalan satu-satunya untuk menjaga martabat USU sebagai kawah intelektual dan benteng moral bangsa.
Demikian.
Pernyataan Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH, adalah Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Ketua Forum Penyelamat USU.
Posting Komentar
0Komentar