DPRD Sumut: Penjaga Keadilan Sosial Dan Memastikan Terlaksananya Program Kerakyatan Di Sumatera Utara

Media Barak Time.com
By -
0

 



Dalam arsitektur ketatanegaraan Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki kedudukan konstitusional yang strategis, bukan sekadar pelengkap administratif dari roda kekuasaan eksekutif daerah. DPRD adalah representasi rakyat dalam merumuskan, mengawasi, dan menakar kebijakan pembangunan.


Namun realitas di Sumatera Utara menunjukkan ironi. Banyak keputusan dan program pembangunan yang disahkan bersama DPRD justru memperlebar jurang ketimpangan dan gagal menyentuh kebutuhan rakyat kecil. Lalu di mana fungsi keadilan sosial dalam kerja-kerja politik DPRD?


Cara pandang Prof. Jimly Asshiddiqie menyebut lembaga perwakilan sebagai organ kedaulatan rakyat yang tidak hanya melayani kekuasaan, tapi harus mengawasi dan mengontrolnya. Fungsi pengawasan bukan pelengkap, tetapi jantung dari demokrasi daerah.


Berdasarkan Majalah Hukum Nasional, problematika utama DPRD terletak pada kaburnya batas antara kekuasaan politik dan tanggung jawab konstitusional. Ketika kepentingan politik jangka pendek menguasai proses legislasi, maka DPRD berubah dari rumah rakyat menjadi rumah transaksional.


Di Sumatera Utara, DPRD nyaris tak terdengar dalam isu-isu struktural seperti kemiskinan, pengangguran, atau ketimpangan pembangunan antardaerah. Mereka lebih terlihat aktif saat rotasi jabatan, pembahasan proyek infrastruktur, atau anggaran perjalanan dinas.


Padahal, seperti dikemukakan Prof. Laica Marzuki, fungsi lembaga legislatif adalah menyeimbangkan kuasa agar tidak otoriter. Tanpa fungsi penyeimbang itu, kekuasaan akan menjelma menjadi dominasi yang merugikan keadilan sosial.


Sumatera Utara adalah provinsi dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang luar biasa, namun disparitas ekonomi dan ketimpangan pembangunan terus meluas. Salah satu penyebabnya adalah abainya DPRD dalam mengawal implementasi program kerakyatan.


Tugas pengawasan terhadap realisasi APBD bukanlah tugas birokratik semata, melainkan bagian dari tanggung jawab etik-politik lembaga legislatif. Rakyat tidak butuh retorika, melainkan kebijakan yang berdampak pada kesejahteraan mereka.


Begitupun Prof. Mahfud MD menekankan bahwa demokrasi substansial menuntut akuntabilitas kekuasaan. Bila DPRD tidak menjalankan fungsi kontrolnya secara efektif, maka demokrasi hanya menjadi prosedur tanpa ruh keadilan.


Banyak perda di Sumut yang lebih berpihak pada kepentingan korporasi atau investasi jangka pendek, ketimbang melindungi kelompok marjinal seperti petani, nelayan, masyarakat adat, dan buruh. DPRD acap kali tidak menolak, bahkan terkesan menyetujui begitu saja.


Kritik masyarakat terhadap DPRD seringkali direspons dengan defensif. Padahal, transparansi dan partisipasi publik adalah prinsip utama dalam tata kelola demokrasi lokal yang sehat. Legislator seharusnya tak alergi pada pengawasan rakyat.


Perlu dicatat bahwa keadilan sosial bukan hanya urusan moral, melainkan amanat konstitusional. Dalam Pembukaan UUD 1945, kalimat “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah tujuan akhir dari pembentukan negara.


Namun, jika DPRD hanya menjadi pengesah anggaran dan pengatur agenda proyek, maka keberadaannya bisa dipertanyakan. DPRD bukan alat pelengkap eksekutif, melainkan mitra kritis yang setara dalam kerangka otonomi daerah.


Di sisi lain, lemahnya kapasitas legislasi anggota DPRD juga turut andil. Banyak yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang hukum dan kebijakan publik. Hal ini membuat fungsi legislasi dikooptasi oleh eksekutif atau biro teknokratik.


Mengutip Majalah Hukum Nasional, problem internal DPRD seperti rendahnya kualitas legislasi, ketergantungan pada fraksi, hingga konflik kepentingan dalam pembahasan anggaran, menjadi penghambat utama peran substantif DPRD dalam menjamin keadilan sosial.


Politik anggaran semestinya diarahkan untuk menciptakan program-program afirmatif bagi rakyat kecil. Namun alokasi belanja modal lebih sering difokuskan pada infrastruktur fisik yang tidak langsung menyentuh kebutuhan rakyat.


Mengapa program pemberdayaan petani, UMKM, dan reformasi agraria minim alokasi? Mengapa akses pendidikan dan kesehatan berkualitas masih jauh dari jangkauan masyarakat pinggiran? Di sini mestinya DPRD bersuara lantang.


Kita tidak bisa berharap pada eksekutif semata. DPRD harus menjadi kekuatan korektif dan produsen ide untuk menciptakan kebijakan yang lebih adil. Bila tidak, maka demokrasi hanya akan melahirkan pembangunan yang timpang dan eksklusif.


Konstitusi memberi DPRD legitimasi kekuasaan. Tetapi tanpa komitmen etik dan keberpihakan politik pada rakyat, maka legitimasi itu akan kehilangan makna. Keadilan sosial tak bisa hadir dalam parlemen yang hanya sibuk menjaga relasi kuasa.


DPRD Sumut harus kembali menafsir ulang perannya bukan sebagai pelaku politik elektoral semata, tetapi sebagai penjaga konstitusi dan penyalur keadilan sosial. Ini menuntut keberanian moral, bukan hanya kecakapan lobi.


Publik menuntut agar DPRD mampu menjadi garda depan dalam advokasi program-program kerakyatan—mulai dari reformasi tata kelola bantuan sosial, pengentasan kemiskinan, hingga dukungan penuh pada pendidikan berbasis karakter dan nilai-nilai lokal.


Jika DPRD gagal memainkan peran strategisnya, maka ia hanya akan menjadi lembaga pemboros anggaran yang kehilangan kepercayaan publik. Demokrasi lokal tak butuh banyak aktor, tapi butuh aktor yang bertanggung jawab.


Sejumlah anggota DPRD mungkin masih menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Tetapi sistem internal dan kultur politik yang koruptif masih mendominasi. Ini pekerjaan besar yang membutuhkan reformasi kelembagaan secara serius.


Sudah saatnya masyarakat sipil, akademisi, dan media ikut aktif menagih komitmen DPRD. Partisipasi publik yang kuat dapat menjadi tekanan moral dan politik bagi legislatif untuk bekerja lebih transparan dan pro-rakyat.


Rakyat Sumut tidak butuh DPRD yang pandai membuat baliho dan beretorika menjelang pemilu. Yang dibutuhkan adalah lembaga yang berani berpihak, hadir di tengah rakyat, dan memperjuangkan keadilan dalam setiap kebijakan.


Tantangan pembangunan Sumatera Utara ke depan tidak hanya soal infrastruktur, tetapi soal membangun keadilan dalam akses dan distribusi sumber daya. Tanpa DPRD yang berpihak, Sumut akan terus terjebak dalam sirkuit ketimpangan.


DPRD Sumut harus kembali kepada amanat dasarnya: menjadi rumah rakyat, pelindung keadilan sosial, dan pengawal setia konstitusi. Bila itu dilupakan, maka sejarah dan rakyat sendiri yang akan memberi penilaian akhir. 'go a head to rechtstaat'


Demikian 


Penulis : Afif Hauzaan Abid, Merupakan Mahasiswa  Fakultas Hukum USU Dan Gubernur BEM FH USU

________________


Daftar Pustaka 


Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.


Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2010.


Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.


Laica Marzuki. “Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Konstitusi.” Jurnal Konstitusi 6, no. 1 (2009): 12–25.


Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2006.


Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.


Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Problematika Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan.” Majalah Hukum Nasional Vol. 49, No. 2 (2022): 1–23. https://mhn.bphn.go.id/MHN/article/download.


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)