Selayang Pandang
Dua puluh tahun sudah Nurcholish Madjid—Cak Nur—menutup usia, namun jejak intelektual dan moralnya terus bergaung dalam ruang publik Indonesia. Haul ke-20 yang digelar Nurcholish Madjid Society (NCMS) di Jakarta, Sabtu (30/8), menjadi momen penting untuk merefleksikan kembali warisan seorang intelektual yang berangkat dari perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), lalu menjelma menjadi sosok “guru bangsa”.
Bagi penulis haul kali ini, “Dari Kader HMI Menjadi Guru Bangsa: Apakah Generasi Kini Masih Mewarisi Legasi Cak Nur”, sekaligus memantik pertanyaan kritis: apakah semangat pembaruan pemikiran Islam, komitmen terhadap demokrasi, dan gagasan masyarakat madani yang diperjuangkan Cak Nur masih hidup dalam generasi aktivis muda islam saat ini?
Cak Nur dan Transformasi Gerakan Intelektual
Nurcholish Madjid, atau Cak Nur, muncul di panggung intelektual Indonesia pada dekade 1960-an, ketika Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bukan sekadar organisasi mahasiswa, tetapi kawah candradimuka yang melahirkan kader-kader bangsa. Dari ruang perkaderan inilah lahir sebuah pidato monumental tahun 1970 tentang sekularisasi. Pidato itu mengguncang, menimbulkan kontroversi, namun sekaligus membuka cakrawala baru: Islam bukan sekadar identitas politik, melainkan sumber etika peradaban yang progresif.
Transformasi pemikiran yang ditawarkan Cak Nur jelas menggeser orientasi umat. Ia menolak menjadikan Islam sekadar simbol perebutan kekuasaan, dan sebaliknya menegaskan Islam sebagai energi moral yang kompatibel dengan demokrasi, pluralisme, serta modernitas. Di tengah arus politik yang penuh kompromi, keberanian intelektual ini membuatnya dijuluki “guru bangsa”, sebuah predikat yang lahir dari keteguhan menjaga jarak kritis dengan kekuasaan tanpa kehilangan relevansi di mata publik.
Namun akar yang sering terlupakan adalah kultur HMI itu sendiri. Perkaderan di dalamnya membentuk generasi yang disiplin, dialektis, dan terbiasa menguji gagasan melalui perdebatan intelektual. Meski kerap disalahpahami sebagai organisasi pragmatis, pada masanya HMI justru menjadi ruang subur bagi lahirnya diskursus Islam progresif. Cak Nur adalah salah satu buah terbaik dari tradisi itu—buah yang tak berhenti memberi makna bagi bangsa.
Warisan Cak Nur tidak hanya berupa teks-teks pemikiran, melainkan juga ethos: kemampuan berpikir kritis, keberanian berperilaku demokratis, dan kesalehan yang humanis. Ia mengajarkan bahwa beragama tidak cukup hanya dengan ritus, tetapi juga dengan penghormatan pada martabat manusia. Dalam konteks Indonesia yang plural, nilai ini menjadi fondasi penting untuk menjaga kohesi sosial dan menolak fanatisme buta.
Kini, dua puluh tahun setelah kepergiannya, pertanyaan yang menggantung adalah: apakah generasi intelektual muda masih mewarisi legasi tersebut? Tanda-tanda zaman menunjukkan tantangan baru: pragmatisme politik, budaya instan, dan polarisasi identitas. Namun, justru di tengah krisis moral intelektual inilah, warisan Cak Nur menemukan urgensinya. Ia bukan sekadar guru bangsa dalam sejarah, melainkan kompas moral yang harus terus dirawat agar bangsa ini tidak kehilangan arah.
Masyarakat Madani: Agenda yang Belum Rampung
Orasi budaya dalam haul ke-20 kali ini disampaikan Usman Hamid dengan tema “Meningkatkan Kembali Peran Masyarakat Madani”. Tema tersebut relevan sekaligus mendesak. Masyarakat madani yang diperjuangkan Cak Nur bukan sekadar jargon, melainkan basis etika sosial yang menempatkan kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi warga di atas segala bentuk otoritarianisme.
Dua dekade setelah kepergian Cak Nur, realitas politik Indonesia justru memperlihatkan paradoks. Demokrasi prosedural berjalan, namun kualitasnya kian dipertanyakan. Politik uang merajalela, oligarki semakin kokoh, sementara ruang publik yang bebas justru terancam oleh polarisasi identitas.
Dalam konteks ini, gagasan masyarakat madani menemukan kembali relevansinya. Sebab, tanpa fondasi masyarakat sipil yang kuat, demokrasi mudah menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan mekanisme kontrol rakyat terhadap negara.
Warisan yang Mulai Tergusur?
Pertanyaan penting yang diajukan tema haul ini patut direnungkan: apakah generasi kini masih mewarisi legasi Cak Nur?
Jika menilik dunia kampus dan organisasi mahasiswa Islam, kita menemukan kenyataan yang tidak selalu menggembirakan. Banyak kader organisasi, termasuk HMI, lebih sibuk dengan perebutan posisi struktural ketimbang merawat tradisi intelektual. Seminar dan kajian kritis kerap terpinggirkan oleh agenda pragmatis, mulai dari lobi proyek hingga sekadar aktualisasi politik jangka pendek.
Warisan intelektual Cak Nur—yakni keberanian berpikir melampaui arus, mengedepankan rasionalitas, serta menempatkan Islam sebagai etika terbuka—mulai tergerus oleh budaya instan. Generasi baru cenderung mencari popularitas cepat ketimbang membangun basis pemikiran jangka panjang.
Namun, tidak berarti warisan itu hilang sama sekali. Masih banyak komunitas intelektual muda, baik di kampus maupun ruang publik digital, yang mencoba menghidupkan kembali gagasan pluralisme, demokrasi, dan Islam substantif ala Cak Nur. Meski kecil, inisiatif-inisiatif ini menyalakan harapan.
Krisis Moral Intelektual
Haul ini juga memberi ruang bagi refleksi moral. Salah satu ciri menonjol Cak Nur adalah integritasnya sebagai intelektual yang tidak tergoda kekuasaan. Meski dekat dengan banyak elit politik, ia menjaga jarak kritis, menolak terjebak pada politik transaksional.
Bandingkan dengan kondisi saat ini: tidak sedikit intelektual muda yang cepat larut dalam pragmatisme politik, menjadikan intelektualitas sekadar batu loncatan menuju jabatan. Di sini terlihat jelas krisis moral intelektual yang membayangi generasi pasca-Cak Nur.
Pertanyaannya: siapa yang akan menjaga marwah intelektualitas sebagai kekuatan moral bangsa, jika para intelektual sendiri tergoda oleh gemerlap kuasa?
Haul sebagai Momentum Kebangkitan
Haul ke-20 Nurcholish Madjid bukanlah sekadar perayaan ritual untuk mengenang jasa seorang intelektual besar. Ia adalah ajakan untuk menimbang kembali arah bangsa yang kerap kehilangan kompas moral di tengah arus pragmatisme politik. Kehadiran tokoh-tokoh lintas disiplin—dari aktivis HAM seperti Usman Hamid, ekonom dan filantrop Hendro Martowardojo, hingga akademisi seperti Prof. Sulistyowati Irianto dan Budhy Munawar-Rachman—menegaskan bahwa warisan Cak Nur tetap relevan di berbagai lini kehidupan berbangsa.
Lebih dari sekadar tokoh agama, Cak Nur mewariskan etos intelektual yang menempatkan Islam sebagai energi moral untuk membangun masyarakat madani. Ia menolak Islam dijadikan sekadar alat politik, melainkan menekankannya sebagai sumber nilai bagi demokrasi, pluralisme, dan penghormatan martabat manusia. Kini, dua dekade setelah kepergiannya, gagasan itu seakan kembali dipanggil untuk menghadapi tantangan serius: menguatnya polarisasi identitas, dominasi oligarki, dan merosotnya kualitas demokrasi.
Namun, tantangan terbesar justru datang dari generasi muda. Banyak kader organisasi mahasiswa Islam terjebak dalam ritual struktural dan kompetisi pragmatis, lebih sibuk mengejar jabatan daripada merawat tradisi intelektual. Padahal, warisan Cak Nur menuntut keberanian berpikir melampaui arus, mempertanyakan status quo, dan menyalakan kembali api dialektika di tengah masyarakat. Tanpa keberanian ini, kaderisasi hanya akan melahirkan birokrat-birokrat baru, bukan intelektual pembaharu.
Haul ini dengan sendirinya menjadi cermin: apakah kita hanya merayakan nama besar Cak Nur, ataukah benar-benar melanjutkan perjuangannya? Mengutip semangat yang pernah ia suarakan, “Islam, kemodernan, dan keindonesiaan” bukanlah tiga entitas yang saling bertentangan, melainkan jalan menuju peradaban yang inklusif. Generasi muda mesti menjadikannya inspirasi untuk keluar dari jebakan fanatisme sempit yang kini justru menggerogoti ruang publik.
Momentum haul seharusnya menjadi titik balik untuk mengembalikan intelektualisme Islam ke relnya: kritis, humanis, dan terbuka. Bukan sekadar diskursus di seminar, melainkan praksis sosial yang nyata—membela kaum marjinal, memperjuangkan keadilan, dan menjaga kebebasan berpendapat. Inilah tugas berat, sekaligus panggilan sejarah, bagi kader-kader muda yang ingin benar-benar mewarisi gelar “civitas madani” yang pernah diperjuangkan Cak Nur.
Jika warisan itu ditinggalkan, haul akan berubah menjadi sekadar seremoni tanpa ruh. Tetapi bila api intelektual itu kembali dinyalakan, maka haul ke-20 ini bukan hanya peringatan, melainkan awal kebangkitan baru: sebuah kesadaran bahwa bangsa ini tak boleh kehilangan guru, dan generasi penerus wajib tampil untuk menjadi penerang zaman sebagaimana pernah ditunjukkan Cak Nur.
Penutup: Dari Haul Menuju Aksi
Dua puluh tahun setelah kepergian Cak Nur, Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar nostalgia. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk melanjutkan warisan intelektualnya: membangun Islam sebagai rahmat bagi semua, menegakkan masyarakat madani yang kokoh, serta menempatkan akal sehat di atas fanatisme buta.
Haul ke-20 ini adalah alarm bagi generasi baru. Pertanyaannya sederhana tapi mendasar: apakah kita masih mewarisi legasi Cak Nur, ataukah justru meninggalkannya di altar sejarah?
Jika jawabannya yang kedua, maka bangsa ini bukan hanya kehilangan guru, tetapi juga kehilangan arah.
Demikian
Penulis, Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap,S.H., Praktis Hukum, Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Periode 1997-1999, dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut
___________
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Jakarta: Democracy Project, 2012.
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1992.
———. Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina, 1999.
———. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997.
Munawar-Rachman, Budhy. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001.
Nafis, M. Wahyuni. Cak Nur Sang Guru Bangsa. Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2015.
Rahardjo, Dawam. Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa. Bandung: Mizan, 1993.
Syafi’i Maarif, Ahmad. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1985.
Posting Komentar
0Komentar