Medan — Di negeri yang telah merdeka selama 80 tahun ini, di tengah euforia pembangunan dan kemajuan digital, masih ada segelintir rakyat yang terus bertahan dari penindasan gaya baru: perampasan tanah. Kampung Kuala Begumbit, bagian dari komunitas masyarakat adat Rakyat Penunggu di Kabupaten Langkat, adalah wajah luka agraria yang belum sembuh. Di sana, sejarah dan tanah adalah dua sisi kehidupan yang terus dirampas oleh kuasa korporasi dan negara yang terlalu patuh pada modal.
Masyarakat BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) Kampung Kuala Begumbit terus mempertahankan tanah ulayat mereka dari ekspansi perkebunan dan klaim sepihak tanpa ada sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). Tanah seluas sekitar 41 (empat puluh satu) hektare yang telah mereka kelola sejak sebelum Indonesia merdeka, kemudian diusir oleh pemerintah zhilim orde baru, selanjutnya Meraka memasuki kembali tanah keluarnya pada tahun 1998, dan kini terancam tergusur atas nama “pengamanan aset”.
Negara Gagal Hadir: Ironi dalam 80 Tahun Kemerdekaan
Apa arti merdeka jika negara masih meminggirkan rakyat dari tanah kelahirannya sendiri? Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional mereka. Bahkan, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan wajib digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, pada praktiknya, konstitusi sering dibungkam oleh kepentingan modal. Di Kuala Begumbit, masyarakat adat Rakyat Penunggu masih terusir dan terasing dari tanahnya sendiri, seolah negara tidak pernah membaca Undang-Undang Dasar yang ia janjikan untuk taati.
Pemerintah daerah dan pusat seperti kehilangan kepekaan terhadap suara dari bawah. Alih-alih memperjuangkan pengakuan wilayah adat, mereka justru tampil sebagai juru bicara korporasi. Kampung adat Kuala Begumbit hingga kini tidak masuk dalam daftar prioritas reforma agraria, padahal komunitas Rakyat Penunggu telah menunjukkan eksistensi sosial, budaya, dan historis yang diakui hukum. Ketika aparat negara lebih sigap melayani pemodal daripada memenuhi amanat konstitusi, maka yang terjadi bukan sekadar kelalaian administratif, tapi pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan.
Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencerminkan kegagalan itu. Dari lebih 2.500 komunitas adat di Indonesia, hanya 109 yang diakui negara melalui produk hukum daerah. Di Sumatera Utara, belum satu pun pengakuan resmi diberikan kepada komunitas Rakyat Penunggu yang tersebar di berbagai wilayah. Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 sudah membuka jalan pengakuan hukum bahwa hutan adat bukan lagi milik negara, melainkan milik masyarakat hukum adat itu sendiri.
Artinya, kegagalan negara bukan karena ketiadaan dasar hukum, tetapi karena absennya kehendak politik. Delapan dekade kemerdekaan ternyata belum cukup membuat negara berpihak kepada masyarakat adat yang menjaga tanahnya sejak sebelum republik ini berdiri. Ironisnya, tanah yang mereka rawat dianggap liar, sementara ekspansi korporasi dipuja sebagai kemajuan. Ini bukan sekadar kegagalan kebijakan, tapi cermin rusaknya moral kekuasaan.
Kekerasan Struktural dan Kuasa Amplop Pemodal
Apa yang dihadapi masyarakat adat Kuala Begumbit jauh melampaui konflik lahan biasa. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang sistematis: mereka dipecah belah, diusir dari tanah sendiri, tanaman dirusak, dan intimidasi dilakukan secara terorganisir. Aparat keamanan yang seharusnya melindungi justru hadir sebagai alat represi, bukan pelindung hak. Beberapa anggota Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) bahkan dikriminalisasi hanya karena mempertahankan tanah adat yang telah mereka kelola turun-temurun.
Fenomena ini mengungkap watak negara yang tak lagi netral, tapi telah larut dalam pelukan kepentingan modal. Dalam kerangka pemikiran Antonio Gramsci, inilah bentuk hegemoni modern: hukum, aparat, dan institusi negara digunakan sebagai instrumen dominasi kelas berkuasa. Korporasi tidak hanya menguasai tanah, tapi juga menggenggam legalitas. Negara berubah fungsi menjadi makelar hukum, menjajakan keabsahan kepada pemodal dengan mengorbankan rakyat yang tak punya akses ke kekuasaan.
Amplop pemodal terbukti lebih bernilai daripada nilai konstitusi. Di hadapan uang, sejarah masyarakat adat dihapus, dan tanah ulayat diklaim sebagai “tanah negara” yang bisa dialihkan seenaknya. Ketika hukum tunduk pada kapital, keadilan menjadi barang mewah yang tak terjangkau oleh rakyat kecil. Dan Kuala Begumbit adalah bukti hidup dari matinya keberpihakan negara pada keadilan sosial yang dijanjikan dalam pembukaan UUD 1945.
Reforma Agraria Sebatas Janji Karena Nafsu Kuasa Memiskinkan Rakyat Banyak
Reforma agraria terus dijanjikan dari satu rezim ke rezim berikutnya sebagai solusi ketimpangan penguasaan tanah, namun implementasinya kerap melenceng dari tujuan awal. Alih-alih menjadi alat pemerataan ekonomi dan penguatan hak rakyat kecil, reforma agraria justru menjadi instrumen legalisasi penguasaan korporasi atas lahan skala besar. Sertifikasi masif tanah kerap menyasar lahan-lahan yang telah dikuasai perusahaan, bukan mengembalikannya kepada masyarakat adat atau petani yang selama ini menjaga dan mengelola tanah secara berkelanjutan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang tahun 2024 terjadi 212 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan total luasan mencapai 500.000 hektare. Ironisnya, konflik ini mayoritas dipicu oleh proyek-proyek skala besar yang justru didukung penuh oleh kebijakan negara. Sumatera Utara menempati posisi keempat sebagai daerah dengan konflik terbanyak. Di sana, nama Kuala Begumbit muncul dalam daftar panjang luka agraria—sunyi dari sorotan media arus utama, namun lantang dalam penderitaan dan perlawanan.
Kuala Begumbit adalah cermin kegagalan reforma agraria yang hanya dijalankan secara kosmetik. Di tengah gempuran investasi dan ambisi pengamanan aset, pemerintah justru mengorbankan hak hidup rakyat yang paling rentan. Nafsu kuasa yang dibungkus jargon pembangunan telah memiskinkan rakyat, menyingkirkan mereka dari tanah, sejarah, dan masa depannya sendiri. Jika janji reforma agraria terus dijadikan alat pencitraan, maka yang lahir bukan keadilan, melainkan ketimpangan yang semakin dilembagakan.
Hukum Tanpa Keadilan, Legalitas Tanpa Legitimasi
Cara pandang Prof. Mahfud MD dalam salah satu kuliahnya menegaskan bahwa "negara hukum itu bukan sekadar negara legalistik, tapi negara keadilan." Sayangnya, di Kuala Begumbit, hukum tak lebih dari peluru hukum yang diarahkan kepada rakyat kecil. HGU lebih sakti daripada sejarah kolektif masyarakat adat. Legalitas menjadi senjata pemutusan hak hidup.
Sementara itu, Prof. Jimly Asshiddiqie pernah mengkritik keras negara yang terlalu birokratis dan kehilangan roh keadilan substantif. Hukum kehilangan jiwa ketika prosedur didahulukan daripada nilai. Masyarakat Kuala Begumbit sudah terlalu sering dibungkam dengan prosedur tanpa substansi.
Perjuangan BPRPI: Jalan Sunyi Perlawanan
BPRPI Kuala Begumbit bukan sekadar organisasi agraria, melainkan simbol perlawanan terhadap wajah pembangunan yang timpang dan sarat ilusi. Di tengah arus deras kekuasaan yang membungkam, mereka tetap berdiri. Tenda-tenda perjuangan mereka bukan hanya tempat bernaung, tetapi pernyataan politik: bahwa tanah adalah ibu yang dirawat, bukan aset yang dijual. Mereka menanam kembali tanaman lokal, menjaga ekosistem, dan membangun solidaritas lintas kampung dan generasi. Di hadapan kriminalisasi dan represi, mereka memilih bertahan — karena menyerah adalah bentuk pengkhianatan pada sejarah dan hak hidup.
Perjuangan ini bukan baru kemarin. Sejak zaman kolonial, tanah-tanah adat telah dirampas oleh penguasa. Bedanya kini, perampasannya tidak lagi menggunakan senapan, melainkan dokumen hukum, aparat berseragam, dan investor yang disokong negara. Di Kuala Begumbit, sejarah seolah berputar dengan wajah berbeda: dari Belanda ke negara merdeka, dari penjajah ke pemodal.
Ironisnya, negara sebenarnya sudah memberi sinyal pengakuan sejak awal 1980-an. Surat Gubernur Sumatera Utara No. 14233/1980 memerintahkan Tim Penyelesaian Tanah Garapan dan PTP IX untuk menyerahkan tanah kosong kepada masyarakat BPRPI. Bahkan lebih tegas lagi, Keputusan Mendagri Cq Dirjen Agraria No. 44/DJA/1981 menginstruksikan pelepasan 9.085 hektare dari HGU PTP IX untuk masyarakat penggarap: 2.000 hektare di Langkat dan 7.085 hektare di Deli Serdang. Artinya, negara sudah punya dasar administratif yang kuat untuk menuntaskan persoalan agraria ini.
Komitmen tersebut semakin diperkuat oleh Surat Kepala Direktorat Agraria No. 592.17321.70/2/1983 yang menyebutkan distribusi lahan kepada masyarakat: 7.475 hektare di Deli Serdang untuk 25.866 kepala keluarga dan 1.698 hektare di Langkat untuk 6.223 kepala keluarga. Dokumen-dokumen ini bukan sekadar arsip, melainkan bukti bahwa negara pernah sadar akan kewajiban redistribusi. Sayangnya, niat baik itu terhenti di meja birokrasi, tak pernah benar-benar dijalankan di lapangan.
Bukti bahwa ini bukan konflik agraria biasa tampak dalam keterlibatan lembaga-lembaga strategis. Pada 6 Agustus 1996, BAKORSTANAS Daerah Sumatera Bagian Utara mengundang Ketua BPRPI untuk hadir dalam rapat koordinasi di Makodam I/BB Medan. Konflik ini melibatkan militer, kementerian teknis, dan pejabat daerah. Namun hingga kini, tanah yang dijanjikan tak kunjung diberikan, dan BPRPI masih terus berjuang di jalan sunyi. Ini adalah perlawanan yang panjang dan melelahkan, tapi justru di situlah letak keagungan perjuangan rakyat menjaga tanah dan martabatnya.
Penutup: Dari Kampung Sunyi untuk Keadilan Bangsa
80 tahun Indonesia merdeka seharusnya menjadi titik refleksi. Jika di Kuala Begumbit rakyat masih dicabut dari tanahnya sendiri, maka kemerdekaan kita belum paripurna. Tidak ada pembangunan yang sah jika di bangun di atas penderitaan rakyat. Dan tidak ada hukum yang adil jika menutup telinga terhadap jerit rakyat.
Kuala Begumbit hari ini adalah medan ujian bagi nurani bangsa. Kita bisa memilih menjadi bagian dari mesin penindas, atau berdiri bersama mereka yang mempertahankan kehidupan. Sebab tanah bukan sekadar ruang hidup, tapi sejarah, identitas, dan masa depan.
Demikian.
Penulis Advokat. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.
Praktisi Hukum, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. 2024. Laporan Tahunan Wilayah Adat. Jakarta: AMAN.
BarakTime.com. 2025. “Kampung BPRPI Kuala Begumbit: Perlawanan Rakyat Penunggu Tak Kunjung Usai Melawan Kuasa Korporasi.” Diakses 4 Agustus 2025. http://www.baraktime.com/2025/07/kampung-bprpi-kuala-begumbit-perlawanan.html
Konsorsium Pembaruan Agraria. 2024. Catatan Akhir Tahun: Konflik Agraria dan Reforma Agraria 2024. Jakarta: KPA.
Mahfud MD. 2009. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konpres
Kronologis Perjuangan Rakyat Penungggu di Kampung BPRPI Kuala Begumbit.
Posting Komentar
0Komentar