"Tan Malaka: Perjuangan Politik Indonesia Merdeka 100%"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Pendahuluan 


> 'Dalam gelap, ia menyalakan terang. Dalam terang, ia menyelubungi diri dengan gelap. Itulah strategi Tan Malaka—seorang revolusioner yang hidup dalam bayang-bayang, namun melahirkan cahaya bagi bangsa.'


Di tengah sorotan tajam terhadap ketimpangan penguasaan sumber daya alam, warisan pemikiran Tan Malaka kembali menggelegar—sebagai alarm bagi bangsa yang setelah 79 tahun sedang kehilangan arah kemerdekaannya. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sekitar 68% tanah dan kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh hanya 1% kelompok elite. Ini bukan sekadar statistik, melainkan potret telanjang dari republik yang telah jatuh ke tangan oligarki. Tan Malaka sudah lama mengingatkan: jika kekayaan negeri hanya beredar di lingkar kekuasaan, maka revolusi belum selesai, dan kemerdekaan itu palsu.


Dalam perspektif Tan, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang berdaulat atas tanah, air, dan seluruh cabang produksi yang menghidupi rakyat. Ia tidak percaya pada kompromi politik yang menguntungkan elite, apalagi saat elite itu justru berkomplot dengan “maling” yang mencuri rumah sendiri. Kritiknya tajam: elite seperti itu telah menjadikan kemerdekaan sebagai ilusi—di atas meja mereka bicara kedaulatan, namun di bawah meja mereka tawarkan konsesi tambang, sawit, dan tanah rakyat pada investor asing dan kroni politik. Dalam konteks hari ini, ketika laporan OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) menempatkan Presiden Jokowi dalam sorotan global sebagai salah satu figur pemimpin korup, suara Tan terasa makin menggema: kemerdekaan tidak bisa hidup berdampingan dengan pengkhianatan.


Tan Malaka tak sekadar menulis teori, ia menghidupi gagasannya. Ia menolak Perjanjian Linggarjati dan Renville bukan karena radikal semata, tetapi karena ia paham bahwa perjanjian-perjanjian itu menyamarkan penjajahan dalam rupa diplomasi. Ia menolak menjadi boneka ideologi luar maupun alat elite lokal. Indonesia Merdeka 100% bukan slogan—itu adalah fondasi etika perjuangan. Ia mengutuk revolusi setengah hati dan pembangunan yang melupakan keadilan sosial. Dalam Gerpolek, ia menegaskan bahwa kekuatan sejati ada di tangan buruh dan tani—kelas yang hari ini justru tertindas dan terusir dari tanahnya sendiri oleh proyek strategis nasional dan tambang-tambang berskala raksasa, namun dengan posisi negara tetap terus berhutang.


Jika bangsa ini ingin hidup seratus tahun lagi, maka republik harus kembali ke akar perjuangan: keberanian berpihak kepada rakyat, bukan kepada pasar. Tan Malaka mengajarkan bahwa jalan menuju kemerdekaan sejati bukanlah jalan mulus yang diratakan oleh kompromi elite, tetapi jalan terjal yang dibangun dengan kesadaran kritis, keberanian moral, dan logika yang membebaskan. Ketika tanah dirampas, suara dibungkam, dan kebenaran dinegosiasikan, maka Tan kembali hadir bukan sebagai kenangan, tapi sebagai arah. Dan arah itu hanya satu: Indonesia Merdeka 100%.


Gerpolek Tan Malaka: Revolusi Tiga Dimensi dan Keadilan Agraria


Tan Malaka bukan hanya pemikir revolusioner, tapi juga arsitek strategis perjuangan rakyat. Dalam Gerpolek—akronim dari Gerilya, Politik, dan Ekonomi—tercermin pandangan menyeluruh tentang pembebasan nasional. Gerpolek bukan sekadar siasat perang, tetapi cetak biru pembangunan kekuatan rakyat dari akar: mempersenjatai rakyat, menyadarkan politik, dan membebaskan ekonomi dari cengkeraman kolonialisme serta oligarki lokal.


Dalam doktrin Gerpolek, reforma agraria bukan slogan, tapi syarat mutlak. Tan Malaka memahami bahwa struktur agraria kolonial telah meminggirkan rakyat tani dari hak atas tanahnya sendiri. Baginya, tanah adalah alas produksi—tempat hidup dan bertahan—bukan sekadar alat untuk mengejar laba. Gerpolek menempatkan distribusi tanah yang adil sebagai bagian integral perjuangan kemerdekaan yang belum selesai. Tanah harus dikembalikan ke tangan rakyat, bukan ke perusahaan asing atau elite nasional yang mewarisi sistem feodal.


Pembagian tanah dalam semangat Gerpolek dilakukan sambil gerilya. Artinya, perjuangan bersenjata tidak menunda keadilan, justru mempercepatnya. Saat para petinggi negara sibuk berunding dan kompromi di kota-kota besar, Tan Malaka memilih masuk desa-desa, membangun basis rakyat, dan memulai distribusi tanah secara revolusioner. Ia sadar bahwa kemerdekaan politik tanpa keadilan agraria hanyalah kemerdekaan semu.


Inilah yang membedakan Tan Malaka dari para tokoh revolusi lainnya. Ia tidak hanya bicara dalam sidang, tapi bergerak dalam bayang-bayang untuk menerangi desa. Gerpolek adalah instrumen untuk menghancurkan struktur ekonomi kolonial, sekaligus membangun ekonomi rakyat berbasis produksi mandiri dan kolektif. Bukan koperasi palsu atau BUMN yang bermental kapitalis, tapi organisasi rakyat yang hidup dari tanahnya sendiri.


Kini, ketika konflik agraria kembali membara dan monopoli tanah semakin brutal, gagasan Gerpolek menjadi relevan kembali. Ia mengingatkan bahwa perjuangan rakyat tidak bisa dilepaskan dari hak atas tanah. Tan Malaka telah memberi arah: bahwa revolusi harus menyentuh perut dan ladang rakyat, bukan sekadar kursi dan mikrofon elite. Dalam terang Gerpolek, keadilan bukan janji konstitusi, tapi hasil dari keberanian bertindak—meski dari dalam gelap.


Bergelap-gelap: Taktik atau Tragedi?


Tan Malaka adalah simbol dari strategi diam, tetapi bukan diam yang pasif. Ia menolak tunduk pada dogma Komintern, sekaligus mengkritik nasionalisme yang kehilangan arah revolusioner. Ia dicap sebagai pengkhianat oleh PKI, dan dicurigai oleh Soekarnois. Dalam terang revolusi 1945, Tan Malaka memilih gelap: ia membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) versi militan di Sumatera Barat, tanpa mandat formal.


Namun inilah kutukan sekaligus kekuatan Tan Malaka: ia terlalu otentik untuk bisa diserap oleh narasi besar kekuasaan. Ia mati ditembak oleh sesama anak bangsa, bukan oleh penjajah. Sejarah pun berupaya menghapusnya. Namun ide-ide revolusionernya tetap hidup, mengalir dalam darah intelektual yang resah akan stagnasi.


Berterang-terang: Cahaya dalam Sunyi


Meski hidup dalam gelap, gagasan Tan Malaka adalah terang. Ia mendahului zamannya. Gagasannya tentang pendidikan rakyat, buruh sebagai pelopor revolusi, dan pembebasan nasional dari dua penjajahan—fisik dan mental—merupakan kerangka kerja progresif yang kini relevan kembali.


Di tengah gelapnya oligarki demokrasi hari ini, Tan Malaka menyodorkan peta: politik yang tidak tunduk pada suara mayoritas, melainkan kebenaran objektif. Ia menolak kompromi murahan. Maka tak heran, jalan yang ia tempuh sunyi, bahkan menuju kematian tanpa nisan. Namun suara sunyi itu kini menggema di ruang-ruang kelas, seminar filsafat, dan gerakan akar rumput yang anti status quo.


Penutup


Kini, ketika politik Indonesia kembali menggelap oleh transaksi kekuasaan, hegemoni partai, keadilan agraria hanya sebatas janji kemerdekaan, nihilisme ideologis -dan Pancasila hanya menjadi bunyi-bunyian saja. Negeri ini telah menjadi negeri para bedebah (Tere Liye) sehingga kita perlu kembali membaca pikiran Tan Malaka. Bukan hanya sebagai Bapak Republik Indonesia, tapi sebagai cermin moral perjuangan: bahwa kadang perjuangan harus dilakukan dalam gelap, bukan untuk menyembunyikan diri, tetapi agar terang bisa bertahan lebih lama.


Tan Malaka mengajarkan bahwa revolusi bukan soal panggung, tetapi arah dan tujuan yang cermin pada program aksi merdeka 100%. Bukan tentang bising mikrofon, tapi tentang keberanian berkata benar dan merawat keadilan, bahkan saat semua memilih diam.


> 'Kalau orang lain bersedia disorot terang untuk mengklaim sebagai pahlawan, Tan Malaka justru memilih gelap, agar pencerahan tak padam oleh kekuasaan.'


Demikian


Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH merupakan Advokat dan Aktivis  Musyawarah Rakyat Banyak.

_________

Daftar Pustaka 


Benedict Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (2018: 471-7)


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) : 68% tanah dan kekayaan Indonesia dikuasai 1% kelompok, https://www.kompas.com/properti/read/2025/02/15/205644021/68-persen-tanah-dan-kekayaan-indonesia-dikuasai-satu-persen-kelompok#:


Harry A. Poeze , Tan Malaka : Perjuangan Menuju Republik 1897-1925. Jakarta


Malaka, Tan. Dari Penjara ke Penjara. Jakarta: Narasi, 2021.


Malaka, Tan. Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Jakarta: Narasi, 2020.


Malaka, Tan. Menuju Republik Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat, 1945.


Shahab, Alwi. Tan Malaka: Sang Pejuang yang Terlupakan. Jakarta: Republika, 2005


Tempo. Tan Malaka: Bapak Republik Yang Dilupakan. Seri Buku Tempo. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016.


Jokowi Finalis Tokoh Dunia Terkorup, https://www.tempo.co/internasional/occrp-beberkan-alasan-jokowi-jadi-finalis-tokoh-dunia-terkorup-2024-1189233


Negeri Para Bedebah (2012), https://archive.org/details/negeriparabedebahtereliye


Rudolf Mrazek dalam “Tan Malaka: A Political Personality’s Structure of Experience,” Indonesia, (Oktober 1972: 1-48)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)