"Skandal Kolam Retensi USU: Air Mata Rakyat dan Tawa Para Koruptor Yang Masih Berkeliaran"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Pendahuluan 


Ketika air hujan menggenangi kawasan Universitas Sumatera Utara (USU), yang tergenang bukan hanya halaman kampus, melainkan juga nurani publik. Proyek kolam retensi seluas 2.875 m²—yang semula digadang sebagai solusi ekohidrologis untuk wilayah rawan banjir—justru menjelma menjadi simbol pembusukan tata kelola proyek negara. Dari nilai awal Rp45 miliar yang melonjak hampir Rp100 miliar, kolam ini kini menyimpan lebih banyak skandal daripada air: mulai dari pembengkakan anggaran, kejanggalan tender, hingga dugaan pengaliran dana ke elit kampus.


Skandal ini mencapai titik kritis ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Topan Ginting, Kepala Dinas PUPR Sumut yang dikenal dekat dengan Wali Kota Medan, Bobby Nasution. Penangkapan itu tidak hanya mengguncang birokrasi Sumut -karena kadis kesayangan Bobby di OTT KPK, tetapi juga menyeret nama besar USU ke dalam pusaran dugaan korupsi infrastruktur. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun menemukan selisih antara realisasi fisik proyek dengan anggaran yang dikucurkan—indikasi kuat praktik mark-up yang diduga berlangsung sistematis.


Kini, proyek yang awalnya menjadi harapan ekohidrologis warga Medan justru menjadi ladang bancakan yang menyuburkan korupsi berjamaah. Lebih menyedihkan lagi, jejak aliran dana diduga menjalar ke dalam lingkaran elite pimpinan universitas, menciptakan paradoks moral yang memilukan: kampus yang seharusnya menjadi benteng integritas justru menjadi bagian dari jaringan pelumpuh keadilan. Skandal kolam retensi bukan sekadar persoalan administratif—ia adalah alarm keras bagi kehancuran etika dalam dunia akademik dan birokrasi daerah.


Pengadaan Bermasalah dan Alarm Audit: Jalan Sunyi yang Menjerumuskan


Korupsi dalam pengadaan proyek bukan lagi isu baru, tetapi tetap menjadi luka lama yang terus menganga. Prof. Barda Nawawi Arief, guru besar hukum pidana Universitas Diponegoro, mengingatkan bahwa akar korupsi kerap tumbuh dari proses tender yang tidak transparan dan sarat konflik kepentingan. Dalam proyek kolam retensi USU, indikasi itu terlihat jelas. Dugaan rekayasa pemenang tender mengindikasikan praktik collusive bidding—persekongkolan jahat yang mematikan asas keadilan dalam belanja negara.


Fakta semakin menguat ketika laporan investigatif Tempo.co mengungkap bahwa proyek ini telah dianggarkan jauh sebelum Topan Ginting melanjutkan studi doktoralnya. Apakah ini sekadar kebetulan, atau proyek tersebut memang “disiapkan” sejak awal sebagai celah penjarahan berjamaah? Dugaan ini bukan sekadar spekulasi. Bila benar skema proyek telah dirancang untuk menjadi kendaraan rente, maka ini menunjukkan keberanian luar biasa dari para pelaku untuk menistakan sistem, bahkan sebelum proyek dimulai.


Yang membuat publik semakin gusar adalah sikap diam kampus. Sebagai institusi akademik, USU seharusnya tidak hanya menjadi pengguna proyek, tetapi juga pengawal moral publik. Mengapa pihak universitas—yang semestinya memiliki kapasitas intelektual dan kepekaan etika—justru tampak permisif, bahkan diduga menikmati keuntungan dari proyek ini? Diamnya kampus atas proyek yang penuh kejanggalan ini justru menjadi sinyal berbahaya: normalisasi korupsi dalam ruang akademik.


Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkuat dugaan pelanggaran serius. Ketidaksesuaian antara volume pekerjaan dan nilai anggaran yang digunakan mencerminkan praktik mark-up yang gamblang. Dalam terminologi Dr. Bambang Widjojanto, eks pimpinan KPK, pola ini masuk dalam skema fraud triangle: tekanan untuk meraup keuntungan cepat, kesempatan akibat lemahnya pengawasan, dan rasionalisasi bahwa semua pihak pun melakukannya. Ini bukan sekadar kerusakan prosedural, melainkan pembusukan sistematis.


Lebih ironis lagi, proyek yang disebut sebagai "solusi ekohidrologis" untuk kawasan rawan banjir justru menjadi kubangan etik dan moral. Kolam retensi itu, secara simbolik, bukan lagi wadah air—tetapi kolam dosa tempat tenggelamnya kejujuran birokrasi dan kampus. Ia membanjiri ruang publik bukan dengan manfaat ekologis, melainkan dengan aroma amis korupsi, pembiaran, dan konspirasi antarlembaga.


Di hadapan fakta-fakta ini, tak cukup hanya sekadar menanti proses hukum. Masyarakat akademik, mahasiswa, dan publik sipil harus ikut menuntut pertanggungjawaban moral dan institusional. Bila kampus, birokrat, dan pengusaha dapat duduk bersama dalam perjamuan korupsi, maka sudah waktunya rakyat membangun panggung pengadilan moral untuk melawan konspirasi sunyi yang selama ini tertawa di balik retorika pembangunan.


Perguruan Tinggi dalam Jaring Korupsi: Masalah Struktural


Korupsi di perguruan tinggi bukan lagi fenomena insidental. Ia telah bermetamorfosis menjadi pola yang terstruktur, sistemik, dan masif. Abdullah Hehamahua, mantan Penasihat KPK, menegaskan bahwa universitas bukan sekadar korban, tetapi bagian dari mata rantai “patronase akademik” yang saling mengunci antara rektor, pejabat birokrasi, dan pengusaha. Dalam jaring kekuasaan ini, proyek pembangunan bukan untuk kepentingan publik, melainkan untuk memperkuat aliansi rente yang bekerja senyap namun terkoordinasi.

Proyek kolam retensi di USU memperlihatkan skenario itu secara gamblang. Dugaan aliran dana yang menjalar ke unsur pimpinan kampus mengindikasikan bahwa universitas tidak hanya diam, tetapi berpotensi turut menikmati hasil bancakan. Ini tentu mencederai fungsi utama pendidikan tinggi sebagai ruang pencetak integritas, bukan pelindung para manipulator anggaran. Bila akademisi menjual idealismenya demi proyek, maka kampus hanya menjadi bangunan kosong tanpa jiwa.


USU, yang selama ini menjadi simbol keunggulan ilmiah di Sumatera Utara, kini menghadapi krisis kepercayaan. Sejarah panjang keilmuan dan reputasi intelektual yang dibangun selama puluhan tahun bisa runtuh seketika karena kelumpuhan moral elite kampusnya. Skandal ini menampar kesadaran publik: bahwa bahkan tempat yang seharusnya paling steril dari korupsi pun ternyata bisa menjadi arena praktik rente terselubung.


Yang paling memprihatinkan adalah lenyapnya suara-suara dari dalam kampus sendiri. Di mana suara senat akademik, guru besar, dan mahasiswa ketika integritas institusi dilecehkan? Ketika korupsi terjadi di birokrasi, masih ada harapan lewat kritik kampus. Tapi ketika korupsi terjadi di kampus dan tidak ada perlawanan dari dalam, maka kita sedang menyaksikan kematian perlahan nalar dan moralitas publik.


Skandal kolam retensi di USU adalah cermin suram dari wajah pendidikan tinggi kita hari ini. Ia bukan hanya menggambarkan kebocoran anggaran, tetapi juga kebocoran nilai. Jika dunia akademik tunduk pada kekuasaan dan uang, maka siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk menjaga cahaya kebenaran di tengah gelapnya dunia birokrasi?


Kampus dan Kegagalan Moral: Saat Ilmu Tak Mampu Mendidik Hati


Kasus kolam retensi USU membuka luka lama yang selama ini hanya dibungkus oleh kemegahan gelar akademik dan jargon keilmuan. Ternyata, titel profesor dan pangkat struktural tidak cukup untuk menjamin kebersihan nurani. Jika benar aliran dana proyek ini dinikmati oleh petinggi kampus, maka publik berhak bertanya: apakah ilmu yang mereka ajarkan sekadar teori, atau justru alat untuk menyamarkan kejahatan? Di titik ini, korupsi tak lagi sekadar pelanggaran hukum—ia menjelma menjadi pengkhianatan moral dari mereka yang seharusnya menjadi panutan intelektual bangsa.


Ironi terbesar terletak pada paradoks peran kampus: institusi yang semestinya menjadi penjaga akal sehat publik justru berubah menjadi pelindung mafia proyek. Ketika universitas ikut bermain dalam pusaran rente, maka habis sudah harapan kita pada moralitas ilmu. Bukannya menjadi pelita di tengah gelapnya birokrasi, kampus justru memadamkan cahaya itu dengan diam dan pembiaran. Inilah kegagalan moral struktural yang paling menyakitkan: ilmu tak lagi mendidik hati.


Dalam situasi seperti ini, langkah konkret tidak bisa ditunda. Pertama, transparansi total harus ditegakkan. Semua dokumen tender, kontrak, dan aliran dana proyek kolam retensi wajib dipublikasikan. Tidak boleh ada satu pun ruang gelap dalam penggunaan uang negara, terlebih jika melibatkan institusi pendidikan yang dibiayai oleh pajak rakyat.


Kedua, investigasi independen terhadap jajaran pimpinan USU harus dilakukan tanpa kompromi. Jika terbukti ada keterlibatan dalam bancakan proyek, maka pemecatan dan proses pidana harus menjadi konsekuensi logis. Ketiga, perlu ada reformasi sistem pengadaan di seluruh perguruan tinggi negeri. Audit menyeluruh harus diterapkan agar kampus tak lagi menjadi ladang proyek para pemburu rente.


Dan terakhir, yang paling fundamental: pendidikan anti-korupsi harus ditanamkan sejak dini dan dijadikan budaya hidup kampus. Jika perguruan tinggi gagal menjadi contoh moral, maka yang kita cetak bukanlah kaum intelektual, melainkan oportunis berjubah akademik—generasi pengganti para koruptor hari ini, dengan wajah yang lebih licin dan legitimasi yang lebih menyesatkan.


Penutup


Kolam retensi USU bukan lagi sekadar infrastruktur penampung air hujan. Ia telah berubah menjadi simbol kebusukan sistemik, tempat nilai-nilai akademik dikubur dalam lumpur korupsi. Ketika proyek pendidikan dikerjakan dengan mental proyek bancakan, dan ketika para cendekia ikut larut dalam arus rente kekuasaan, maka yang bocor bukan hanya anggaran, melainkan juga etika dan kepercayaan publik.


Korupsi tidak hanya mencuri uang rakyat, tapi mencuri masa depan bangsa—sebagaimana diingatkan orang bijak 'ketika ilmu tunduk pada uang, dan kampus berselingkuh dengan kuasa, maka keadilan berubah jadi utopia'. Yang tersisa hanyalah retorika moral yang kosong dan institusi yang tak lagi mampu menjadi kompas etik masyarakat.


Jika negara terus membiarkan pelanggaran ini berlalu tanpa pertanggungjawaban serius, dan jika kampus gagal membersihkan dirinya dari dalam, maka konsekuensinya lebih tragis dari sekadar kehilangan dana publik. Kita akan kehilangan iman kolektif pada keadilan, pada akademisi, dan pada negara. Dan ketika kepercayaan itu mati, demokrasi pun hanya tinggal formalitas tanpa jiwa.


Demikian.


Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH, Merupakan Advokat, Ketua Forum Penyelamat USU dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

___________

Daftar Pustaka 


Atmasasmita, Romli. Rekonstruksi Teori Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2012.


Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana, 2010.


Bambang Widjojanto. “Membangun Etika Kekuasaan: Jalan Panjang Mencegah Korupsi.” Dalam Etika Kekuasaan dan Demokrasi di Indonesia, disunting oleh Herlambang P. Wiratraman, 67–88. Yogyakarta: Insist Press, 2018.


Hehamahua, Abdullah. Mengapa Saya Memilih Jalan Ini. Jakarta: Mizan, 2013.


Tempo.co. “Topan Ginting Anggarkan Pembangunan Kolam Retensi di USU Sebelum Ambil S3.” Tempo.co, 4 Juli 2025. https://www.tempo.co/hukum/topan-ginting-anggarkan-pembangunan-kolam-retensi-di-usu-sebelum-ambil-s3-1845215.


Tempo.co. “KPK OTT Topan Ginting: Jejak Proyek Infrastruktur Sumut Seret Nama Kampus.” Tempo.co, 4 Juli 2025. https://www.tempo.co/politik/bobby-nasution-korupsi-topan-ginting-1983443.


Suara Nasional. “Balada Topan Obaja Putra Ginting: Si Anak Emas Gubernur, Kawan Baik Rektor USU, di OTT KPK.” SuaraNasional.com, 4 Juli 2025. https://suaranasional.com/2025/07/04/balada-topan-obaja-putra-ginting-si-anak-emas-gubernur-kawan-baik-rektor-usu-di-ott-kpk/.


Waspada.id. “KPK OTT Topan Ginting Kadis Kesayangan Bobby Nasution.” Waspada.id, 4 Juli 2025. https://www.waspada.id/headlines/kpk-ott-topan-ginting-kadis-kesayangan-bobby-nasution/.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)