Pendahuluan
Kolam retensi seluas 2.875 m² di Universitas Sumatera Utara (USU), dicanangkan pada Juli 2023 dengan nilai awal sekitar Rp45 miliar—membengkak hingga mendekati Rp100 miliar jika digabung dengan biaya pemeliharaan, konsultan, dan pekerjaan penunjang lainnya. Proyek yang semula diproyeksikan sebagai solusi ekohidrologis untuk kawasan rentan banjir di sekitar Kampus Padang Bulan ini, kini menjadi episentrum sorotan publik setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka indikasi adanya bancakan anggaran. Bukan sekadar dugaan teknis, melainkan jejak aliran dana yang diyakini kuat menjalar hingga ke lingkaran elite pimpinan universitas.
Ketika lembaga pendidikan tinggi seharusnya berdiri di atas fondasi transparansi dan akuntabilitas, skandal ini justru membuka lembaran buram tentang bagaimana proyek infrastruktur kampus dijalankan layaknya tender proyek dinas publik. Nama Seriosa Topan Ginting, Wakil Rektor II USU yang juga diketahui dekat dengan elite politik lokal, mencuat sebagai figur sentral dalam pusaran tersebut. Ia diduga terlibat dalam perencanaan hingga pengondisian proyek retensi ini, bersamaan dengan keterlibatannya dalam beberapa proyek infrastruktur di wilayah Pemprov Sumatera Utara—yang kini juga sedang ditelusuri KPK.
Lebih memprihatinkan, proyek dengan label “penyelamatan lingkungan” ini disinyalir hanya menjadi kamuflase untuk menormalisasi praktik penyalahgunaan wewenang. Dengan retorika pembangunan hijau, ruang akademik yang semestinya steril dari kompromi korupsi justru disulap menjadi arena bagi kepentingan segelintir pihak. Ketika kepentingan ekologis dipolitisasi demi akumulasi rente, maka proyek kolam ini tak ubahnya genangan baru—bukan untuk air hujan, tapi untuk lumpur moral kampus.
Pertanyaannya kini bukan lagi soal efektivitas proyek, tapi seberapa dalam integritas universitas telah dikorbankan demi rente berjubah pembangunan. Jika lembaga pendidikan—yang semestinya menjadi benteng moral dan intelektual bangsa—ikut bermain dalam sirkuit korupsi struktural, maka itu bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap fungsi dasar pendidikan itu sendiri. Dan dalam kasus USU, kolam retensi yang diharapkan menjadi solusi ekologis, justru berbalik menjadi simbol genangan kejahatan birokrasi kampus.
Jejak Karir, Bancakan Proyek, dan Ancaman Kolusi Kampus-Kekuasaan
Topan Obaja Putra Ginting bukan hanya akademisi lulusan Doktor Universitas Sumatera Utara (USU), tetapi juga birokrat yang melejit berkat jejaring politik. Kariernya melesat di lingkaran kekuasaan Wali Kota Medan Bobby Nasution—yang juga menantu Presiden Jokowi—dan berlanjut di struktur Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Kedekatan ini bukan rahasia publik, dan saat proyek-proyek bernilai besar seperti Kolam Retensi USU dikaitkan dengannya, muncul dugaan kuat bahwa pembangunan tersebut bukan semata demi kepentingan kampus, melainkan juga bagian dari konsolidasi kuasa dan loyalitas politik.
Proyek kolam retensi USU yang digadang-gadang sebagai solusi ekologis dan mitigasi banjir di kawasan kampus, kini justru menjadi genangan baru dalam kasus dugaan korupsi. KPK melalui serangkaian penggeledahan menemukan keterkaitan antara proyek-proyek infrastruktur yang dikendalikan oleh Topan dengan sejumlah dokumen keuangan dan teknis mencurigakan, termasuk dalam proyek USU yang nilainya ditaksir mencapai Rp100 miliar bila dihitung dengan biaya tambahan. Dalam sistem seperti ini, retorika pembangunan sering kali hanya jadi tameng dari bancakan yang terstruktur.
Model yang terendus oleh KPK menunjukkan pola klasik dalam korupsi proyek pemerintah: mark-up biaya, penggelembungan volume pekerjaan, vendor bayangan, dan pengondisian tender. Hal yang membuat kasus ini berbeda adalah lokasi kejahatannya—di dalam lingkungan perguruan tinggi. Kampus sebagai benteng intelektualitas justru dirasuki praktik koruptif yang biasanya kita temui di sektor jalan raya atau irigasi desa. Potensi bancakan serial dalam proyek pendidikan inilah yang kini tengah didalami oleh KPK.
Prof. Romli Atmasasmita, guru besar hukum pidana dan tokoh pembentuk KPK di awal reformasi, menilai kasus ini sebagai cerminan hilangnya etika dalam manajemen kampus. “Jika pejabat kampus menyalahgunakan kewenangan dan menikmati keuntungan proyek, maka ia telah memenuhi unsur penyalahgunaan jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor. Apalagi jika proyek itu ditetapkan melalui pengkondisian tender,” tegasnya. Menurut Romli, KPK perlu menjadikan kasus ini momentum untuk menegakkan kembali zero tolerance terhadap korupsi di sektor pendidikan.
Sementara itu, Prof. Barda Nawawi Arief, pakar hukum pidana Universitas Diponegoro, menyoroti aspek sistemik dari kasus ini. Menurutnya, korupsi semacam ini lahir dari desain kelembagaan yang memberi ruang abu-abu antara birokrasi kampus dan kepentingan politik. “Kampus kita telah terlalu administratif, dan ketika rektorat ikut terlibat dalam pengadaan, peluang moral hazard menjadi besar. Ini bukan hanya soal pidana individu, tapi kerusakan sistem pengelolaan dana publik di dunia akademik,” ujar Barda. Ia menyarankan audit eksternal berkala dari lembaga independen untuk menutup celah struktural semacam ini.
Lebih dari sekadar proyek gagal atau penyimpangan teknis, kasus Kolam Retensi USU menjadi simbol dari erosi integritas akademik yang berkolaborasi dengan kepentingan kekuasaan. Jika proyek sebesar ini dikerjakan bukan demi rakyat atau mahasiswa, tetapi demi memperpanjang nafas karier dan loyalitas politik, maka kerusakan yang terjadi jauh lebih dalam dari sekadar penyimpangan anggaran—melainkan pengkhianatan terhadap nilai dasar pendidikan dan akal sehat publik. Dan saat kampus tak lagi steril dari bancakan politik, siapa lagi yang bisa menyelamatkan bangsa dari gelombang korupsi berjamaah?
Retaknya Masker Hijau: Dari Mitigasi Banjir Menuju Simbol Bancakan Proyek
Proyek kolam retensi di Universitas Sumatera Utara (USU) awalnya didesain dengan narasi kuat: mitigasi banjir dan penyelamatan ekosistem kampus. Berlabel proyek “hijau”, ia dibungkus jargon pembangunan berkelanjutan yang tampaknya tak sekadar menjawab kebutuhan lingkungan, tapi juga menjadi alat legitimasi politis dan ekonomi. Namun, ketika proyek senilai Rp45–100 miliar itu justru menyisakan jejak transaksi mencurigakan dan dugaan aliran dana ke kantong elite kampus serta kontraktor kroni, narasi hijau itu pun retak. Kolam itu tak lagi mencerminkan kepedulian lingkungan, melainkan cermin kerusakan etika publik di dunia akademik.
Langkah awal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut diapresiasi. Operasi tangkap tangan (OTT), penggeledahan, serta penyitaan dokumen dari kantor dan rumah pejabat proyek menunjukkan keseriusan penegakan hukum. Namun sebagaimana diingatkan Abdullah Hehamahua, mantan Penasihat KPK, penindakan semata tak akan menyentuh akar masalah jika tidak disertai evaluasi struktural. “Korupsi di sektor pendidikan berbeda. Ia berselimut kehormatan akademik, sehingga lebih sulit dideteksi namun berdampak lebih mematikan,” katanya. Hehamahua juga menekankan bahwa KPK tidak boleh berhenti pada aktor lapangan, melainkan harus menelusuri aliran dana ke pucuk pimpinan kampus dan jaringan pembisik proyek.
Audit menyeluruh menjadi keniscayaan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) harus turun tangan, tidak cukup dengan teguran administratif. Audit eksternal oleh BPK atau Inspektorat Jenderal perlu dilibatkan untuk mengurai kemungkinan adanya skema korupsi serial di USU—bukan hanya dalam proyek kolam, tetapi juga proyek pembangunan lain yang dibungkus jargon “kemajuan kampus”. Sebab jika pola ini berulang, maka kita tengah berhadapan dengan sistem akademik yang telah dikapling kepentingan oligarki birokrasi.
Dr. Bambang Widjojanto, mantan pimpinan KPK dan pegiat antikorupsi, menilai korupsi dalam proyek pendidikan adalah bentuk tertinggi pengkhianatan terhadap masa depan bangsa. “Kampus adalah tempat membangun integritas dan akal sehat, bukan memproduksi skema korupsi yang berlindung di balik papan nama ilmiah,” tegasnya. Menurut Bambang, korupsi proyek hijau seperti kolam retensi ini dapat dijerat tak hanya dengan UU Tipikor, tetapi juga dapat diperluas menggunakan Pasal 55 dan 56 KUHP tentang penyertaan dan pembiaran, jika terbukti ada pembiaran sistemik oleh pejabat kampus.
Krisis yang terjadi di USU bukan hanya kerugian negara secara fiskal, melainkan kerusakan simbolik terhadap makna pendidikan tinggi. Jika lembaga yang seharusnya melahirkan pembaharu justru dikuasai oleh rezim rente dan akrobat proyek, maka institusi itu telah gagal menjadi penjaga moral publik. Maka itu, koreksi sistemik dibutuhkan—bukan sekadar rotasi jabatan, tapi restrukturisasi cara kampus mengelola keuangan, proyek, dan etika kepemimpinan.
Proyek kolam retensi seharusnya menjadi solusi ekologis, namun kini berubah menjadi simbol ekologis dari pembusukan birokrasi kampus. Saat lingkungan dijadikan dalih untuk memperkaya diri, dan ilmu dijadikan perisai untuk melindungi kejahatan anggaran, maka yang harus diselamatkan bukan hanya proyeknya, tetapi moralitas dan legitimasi seluruh institusi akademik. Sebab kolam itu mungkin bisa menampung banjir hujan, tetapi tak akan sanggup menampung air mata keadilan jika semua dibiarkan begitu saja.
Penutup
Kasus Seriosa Topan Ginting bukan sekadar drama OTT yang mencuri headline—ia adalah tanda bahaya bagi arah moral dunia akademik Indonesia. Universitas Sumatera Utara (USU), sebagai institusi pendidikan tertua dan ternama di Sumatera, kini berada di persimpangan historis: membiarkan dirinya menjadi bagian dari normalisasi korupsi berjubah proyek, atau justru menjadi pelopor koreksi total terhadap sistem yang selama ini membiarkan transaksi kekuasaan menjangkiti ruang pendidikan.
Jika aliran dana proyek kolam retensi benar terbukti mengalir ke petinggi kampus, maka ini bukan lagi soal penyimpangan administratif, melainkan pengkhianatan prinsipil terhadap amanat konstitusional pendidikan. Proyek yang seharusnya memperbaiki sistem ekologis dan keselamatan kampus justru dijadikan sumur rente untuk memperkaya segelintir elite. Dalam logika ini, air hujan memang ditampung oleh kolam, tetapi integritas justru dibiarkan menguap tanpa jejak.
Kampus tidak boleh menjadi tempat pencucian niat jahat bermodal gelar akademik dan jabatan struktural. Ketika ruang ilmu dijadikan ruang akal-akalan, maka yang dirusak bukan hanya fondasi keuangan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap peran perguruan tinggi sebagai penggerak peradaban. Jika USU ingin pulih, maka langkah pertama adalah membongkar semua yang tersembunyi di balik proyek kolam itu—hingga tak ada lagi ruang bagi mereka yang berenang dalam lumpur kekuasaan, dengan wajah akademik sebagai topeng.
Demikian.
Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH, Merupakan Advokat, Ketua Forum Penyelamat USU dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
___________
Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Penegakan Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.
Atmasasmita, Romli. "Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Antara Norma dan Praktik." Seminar Nasional Pemberantasan Korupsi di Era Reformasi, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2023.
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana, 2018.
Barda Nawawi Arief. “Korupsi Struktural dan Etika Pengelolaan Anggaran Pendidikan.” Disampaikan dalam Webinar Nasional FH Undip, Semarang, 12 Oktober 2022.
BPK RI. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2024: Sektor Pendidikan dan Infrastruktur Wilayah Sumatera. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2025.
Hehamahua, Abdullah. Menggugat Integritas: Catatan Kritis dari Mantan Penasehat KPK. Jakarta: Republika Penerbit, 2015.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Siaran Pers: Penindakan Dugaan Korupsi Infrastruktur Pendidikan dan Jalan Provinsi Sumut. Jakarta: KPK RI, 2025.
KPK OTT Topan Ginting Kadis Kesayang Bobby Nasution, https://www.waspada.id/headlines/kpk-ott-topan-ginting-kadis-kesayangan-bobby-nasution/
Hehamahua, Abdullah. “Korupsi di Sektor Pendidikan: Racun Sunyi dalam Lembaga Ilmu.” Dalam Kuliah Umum Antikorupsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 12 Maret 2022.
Widjojanto, Bambang. Membongkar Rezim Korupsi: Perspektif Hukum dan Gerakan Sipil. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2020.
Widjojanto, Bambang. “Pendidikan dan Korupsi: Antara Legitimasi Akademik dan Kekuasaan Oligarkis.” Dalam Webinar Nasional Kampus Antikorupsi, Universitas Gadjah Mada, 24 April 2023.
Tempo.co. Topan Ginting Anggarkan Pembangunan Kolam Retensi di USU Sebelum Ambil S3. 4 Juli 2025. https://www.tempo.co/hukum/topan-ginting-anggarkan-pembangunan-kolam-retensi-di-usu-sebelum-ambil-s3-1845215.
Tempo.co. KPK OTT Topan Ginting: Jejak Proyek Infrastruktur Sumut Seret Nama Kampus. 4 Juli 2025. https://www.tempo.co/politik/bobby-nasution-korupsi-topan-ginting-1983443.
Suara Nasional. Balada Topan Obaja Putra Ginting: Si Anak Emas Gubernur, Kawan Baik Rektor USU, di OTT KPK. 4 Juli 2025. https://suaranasional.com/2025/07/04/balada-topan-obaja-putra-ginting-si-anak-emas-gubernur-kawan-baik-rektor-usu-di-ott-kpk/.
YouTube. “Breaking News - OTT KPK Topan Ginting, Diduga Terkait Proyek Kolam Retensi di USU.” Diunggah oleh TEMPO, 4 Juli 2025. https://www.youtube.com/watch?v=CLqc7Ci8-Pc.
Posting Komentar
0Komentar