Pendahuluan
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin resmi menunjuk Harli Siregar sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumatera Utara melalui Keputusan Jaksa Agung Nomor 352 Tahun 2025 tertanggal 4 Juli 2025. Harli menggantikan Idianto yang telah menduduki jabatan itu hampir tiga tahun. Pengangkatan ini menjadi sorotan bukan hanya karena posisi strategisnya dalam sistem penegakan hukum di daerah, tetapi juga karena sosok Harli adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) angkatan 1989, yang dikenal berintegritas, lugas, dan progresif dalam perjalanan kariernya di tubuh Kejaksaan RI.
Awal 2024 menjadi momentum langka dan menentukan bagi institusi Kejaksaan. Dalam lanskap penegakan hukum yang kerap dirundung krisis kepercayaan, Kejaksaan justru melaju dengan capaian mengejutkan: 76,2% tingkat kepercayaan publik, menjadikannya lembaga penegak hukum paling dipercaya masyarakat, bahkan melampaui Kepolisian dan KPK. (Sumber: Kejati Jatim, 2024). Capaian ini bukan sekadar statistik, melainkan barometer harapan rakyat yang muak terhadap impunitas dan jebakan prosedural yang menjauhkan keadilan dari rakyat kecil.
Namun, seperti diingatkan oleh filsuf hukum Gustav Radbruch, ketika keadilan gagal hadir dalam praktik, maka hukum kehilangan legitimasi moralnya. Sumatera Utara adalah uji lakmus atas kredibilitas itu. Provinsi ini selama satu dekade terakhir nyaris tak pernah absen dalam laporan tahunan ICW tentang daerah dengan kerugian negara terbesar akibat korupsi. Di sinilah kepercayaan publik bertemu kenyataan pahit: hukum yang kuat di pusat, tapi tumpul di daerah. Tugas Harli bukan hanya melanjutkan statistik, tetapi meruntuhkan sistem kebal hukum yang telah lama mengakar.
Sudah menjadi rahasia umum, bukan apriori, bahwa Sumut adalah surga bagi para "penjahat kerah putih" yang lihai bermain di zona abu-abu hukum. Banyak kasus besar menguap tanpa kejelasan, diseret lambat-lambat oleh prosedur yang membius akal sehat. Tak heran jika Kejatisu kerap dicibir sebagai lembaga yang “lekang kena panas dan lapuk kena hujan”—gagah di awal, hilang di akhir. Kini, dengan Harli Siregar di pucuk kepemimpinan, publik tak sekadar menanti perubahan, tapi menagih komitmen: apakah kepercayaan 76,2% itu akan diterjemahkan ke dalam tindakan konkret, atau hanya akan berakhir sebagai statistik kosong dalam dokumen evaluasi tahunan.
Sumatera Utara Masuk Daftar Provinsi dengan Korupsi Sistemik
Sumatera Utara Masuk Daftar Provinsi dengan Korupsi Sistemik
Korupsi di Sumatera Utara tak lagi bisa dianggap sebagai tindakan oknum. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2023 menyebut provinsi ini sebagai salah satu dari lima besar daerah dengan kerugian negara tertinggi akibat korupsi, dengan nilai temuan lebih dari Rp 400 miliar. Praktik korupsi paling dominan terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa, pendidikan, serta pengelolaan dana desa—tiga sektor yang seharusnya menjadi pilar pelayanan publik, justru dijadikan lumbung rente kekuasaan.
Lebih menyakitkan, banyak kasus besar justru mengendap tanpa kepastian hukum. Lambannya proses penanganan, atau bahkan hilangnya perkara dari pantauan publik, menjadi alasan kuat Forum Aksi Bersama Mahasiswa (FABEM) Sumut mendesak Kajatisu Harli Siregar untuk segera bergerak cepat dan tegas. Desakan ini bukan agitasi jalanan semata, tapi cerminan kekecewaan struktural masyarakat yang telah terlalu lama menyaksikan aparat hukum bermain aman di sekeliling lingkaran kekuasaan daerah.
Beberapa dugaan korupsi besar terkesan sengaja dibiarkan "membusuk" di meja penegakan hukum. Kasus proyek multiyears infrastruktur, penyimpangan dana BOS di sejumlah kabupaten/kota, serta hibah-hibah janggal kepada organisasi yang berafiliasi politik, tak menunjukkan tanda-tanda serius akan dituntaskan. Padahal bukti permulaan sudah terang, laporan BPK telah merekamnya, dan jejak digital transaksional pun dapat diakses melalui sistem keuangan publik. Yang hilang hanya satu: kemauan politik hukum dari aparat penegak keadilan.
Salah satu sorotan tajam publik adalah dugaan praktik korupsi yang mengakar di Universitas Sumatera Utara (USU). Dari dana hibah Pemko Medan, laporan rugi beruntun sejak 2012 yang anehnya justru berujung pada kredit Rp 228 miliar dari BNI, hingga temuan BPK sebesar Rp 28 miliar yang belum ditindaklanjuti secara transparan. Belum lagi proyek kolam retensi yang gagal fungsi, menjadi simbol tragis gagalnya akuntabilitas di institusi pendidikan tinggi. Dalam satu dekade, dugaan korupsi di USU bukan hanya dibiarkan, tapi seolah telah dimaafkan oleh sistem yang seharusnya menegakkan etika dan hukum. (Sumber: PorosJakarta, 2025)
Di sisi lain, Labuhanbatu Selatan (Labusel) menjadi contoh nyata bagaimana dana desa—yang seharusnya memberdayakan masyarakat akar rumput—justru dijadikan objek bancakan elit lokal. Mekanisme distribusi anggaran yang lemah, minimnya kontrol dari Inspektorat, serta abainya penegakan hukum membuat penyimpangan dana desa menjadi kejahatan yang berulang dari tahun ke tahun. Jika Kejatisu tidak segera merespons dengan tajam, maka jargon "berantas korupsi" tak ubahnya pemanis pidato seremonial yang jauh dari kenyataan.
Sumatera Utara kini berada di titik genting. Jika kejaksaan gagal mengembalikan taringnya dan terus membiarkan para pelaku korupsi bercokol di ruang-ruang kekuasaan, maka 76,2% kepercayaan publik terhadap Kejaksaan hanyalah angka kosong. Hukum kehilangan wibawa, dan rakyat kehilangan harapan.
Korupsi Merupakan Kejahatan Kekuasaan, Bukan Semata Uang
Korupsi bukan sekadar tindakan kriminal yang merugikan keuangan negara, melainkan bentuk paling telanjang dari pengkhianatan terhadap mandat kekuasaan yang diberikan rakyat. Prof. Romli Atmasasmita, salah satu guru besar hukum pidana Indonesia, menegaskan bahwa korupsi adalah “extraordinary crime”—kejahatan luar biasa yang tak bisa ditangani dengan prosedur hukum biasa. Dalam logika ini, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum administratif, tapi penghancuran terhadap fondasi kepercayaan publik dan prinsip kedaulatan rakyat.
Sayangnya, dalam praktiknya, penanganan korupsi di Indonesia—termasuk di Sumatera Utara—masih terjebak pada pendekatan simbolik: menyeret pelaku kelas teri, sementara aktor besar tetap aman di menara kekuasaan. Banyak aparat hukum merasa cukup dengan menindak kepala desa atau pegawai eselon bawah, tapi enggan menyentuh pejabat tinggi, pengusaha berpengaruh, atau politisi yang memiliki jaringan kuat. Padahal dalam kacamata keadilan substantif, pelaku utama korupsi kerap justru duduk di balik meja kekuasaan, bukan di desa terpencil.
Di Sumut, praktik ini terlihat mencolok. Sejumlah nama besar yang disebut dalam audit BPK, laporan investigasi LSM, bahkan pengakuan tersangka, tetap melenggang bebas. Kasus-kasus proyek multiyears, dana hibah, dan korupsi institusi pendidikan seperti di USU, tak pernah menyentuh pucuk pimpinan. Padahal, menurut Prof. Romli, keberanian moral dan kemandirian institusional adalah dua prasyarat utama dalam pemberantasan korupsi. Tanpa itu, kejaksaan hanyalah aparatur prosedural, bukan pelindung keadilan publik.
Kejatisu yang baru dipimpin Harli Siregar harus menjawab tantangan ini secara tegas. Tak cukup bersandar pada seremoni pelantikan atau narasi profesionalitas. Publik menagih aksi konkret: penyelidikan yang menyasar struktur, bukan sekadar gejala. Jika hukum hanya berhenti pada level administrasi, tanpa menggali siapa yang merancang, mengizinkan, dan diuntungkan dari korupsi, maka seluruh proses hukum hanya menjadi pertunjukan formal belaka.
Sumatera Utara tak butuh kejaksaan yang sekadar pandai membaca UU Tipikor, tapi jaksa yang paham bahwa korupsi adalah kejahatan kekuasaan—dan kekuasaan itu harus dipertanggungjawabkan. Bila Kejatisu berani menembus lapisan elite dan membuka kotak pandora korupsi struktural, maka kepercayaan publik akan berubah menjadi legitimasi moral yang kokoh. Jika tidak, maka 76,2% tingkat kepercayaan publik hanyalah mitos di atas reruntuhan keadilan yang sebenarnya.
Jangan Main di Permukaan, Serang ke Akar Masalah
Penegakan hukum tidak boleh berhenti pada kulit. Demikian penegasan Prof. Andi Hamzah, pakar hukum pidana terkemuka, yang menyoroti bahwa efek jera adalah indikator paling konkret atas keberhasilan pemberantasan korupsi. Dalam pandangannya, hukum kehilangan makna ketika pelaku korupsi masih bisa menawar nasibnya lewat pendekatan politis, ekonomi, atau kompromi prosedural. “Kalau koruptor merasa bisa menyelesaikan kasus dengan negosiasi, maka sistem hukum sudah gagal,” katanya tanpa basa-basi.
Fenomena ini bukan isapan jempol. Di Sumatera Utara, berbagai kasus korupsi kerap berakhir seperti sandiwara: heboh di awal, hilang di tengah jalan, dan senyap ketika aktor besar mulai disebut. Kita terlalu sering menyaksikan penangkapan terhadap pelaku level bawah—kepala desa, bendahara sekolah, atau ASN rendahan—sementara pemilik jaringan dan pengambil keputusan tetap aman di ruang-ruang kekuasaan. Ini bukan penegakan hukum, melainkan politik simbolik yang mengelabui publik.
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), dalam konteks ini, harus melampaui sekadar mencatat jumlah kasus atau nilai kerugian negara. Lebih dari itu, Kejatisu wajib menjadikan penindakan sebagai upaya merusak sistem korupsi dari akar, bukan hanya memangkas ranting yang tumbuh. Artinya, jangan ragu menyeret politisi aktif, mantan kepala daerah, hingga elite kampus atau ormas jika memang ada alat bukti dan dasar hukum yang kuat. Di mata keadilan, tak ada jabatan yang sakral.
Efek jera tidak lahir dari retorika, tetapi dari keberanian menindak tanpa pandang bulu. Proses hukum yang tuntas hingga vonis, pemiskinan aset hasil korupsi, dan ekspos publik yang transparan harus menjadi bagian dari strategi institusional. Di sinilah pentingnya integritas jaksa dan keberanian struktural pimpinan kejaksaan dalam menghadapi tekanan politik. Tanpa itu, hukum hanya akan jadi alat kompromi, bukan mekanisme koreksi.
Sumut telah terlalu lama menjadi ladang subur bagi korupsi sistemik. Jika Kejatisu ingin dipercaya, maka ia harus masuk ke hulu masalah, bukan sekadar menari di hilir. Menyerang ke akar berarti mengidentifikasi siapa pengendali anggaran, siapa yang meloloskan proyek fiktif, dan siapa yang membangun jaringan rente kekuasaan. Jika itu tidak dilakukan, maka penegakan hukum tak ubahnya ritual bulanan—penuh angka, tapi kosong makna.
Penegakan Hukum Tanpa Independensi adalah Fantasi
Penegakan hukum tanpa independensi bukanlah keadilan, tapi ilusi. Bambang Widjojanto, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan tajam mengingatkan bahwa tanpa integritas personal dan keberanian institusional, aparat penegak hukum hanyalah aktor dalam panggung sandiwara kekuasaan. Hukum akan tampak berjalan, tapi arahnya dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat: elite politik, pengusaha rente, dan oligarki lokal yang punya akses lebih besar ke ruang-ruang negosiasi ketimbang ke ruang sidang pengadilan.
Sumatera Utara adalah potret nyata dari paradoks itu. Berkali-kali publik menyaksikan bagaimana kasus besar berhenti bukan karena lemah secara hukum, tetapi karena kuat secara politik. Perkara yang sudah terang benderang di meja penyidik sering kali menguap setelah “koordinasi lintas institusi”, padahal aparat tahu: koordinasi itu bukan untuk menegakkan hukum, melainkan menyelamatkan nama dan jaringan kekuasaan. Di sinilah urgensi independensi menjadi mutlak—bukan sekadar jargon dalam sambutan pelantikan.
Kejatisu, sebagai garda depan kejaksaan di Sumatera Utara, mesti berhenti bermain di wilayah kompromi. Penegakan hukum bukan ajang diplomasi kepentingan, tapi panggilan konstitusional untuk melindungi hak publik, memberantas kejahatan kekuasaan, dan membuktikan bahwa supremasi hukum bukan teori kosong. Jika Kejatisu membiarkan dirinya ditarik oleh tarik-menarik kekuasaan lokal, maka apa pun yang dilakukan hanya akan memperdalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Independensi dalam penegakan hukum bukan berarti bebas tanpa arah, melainkan tegak lurus terhadap konstitusi dan rasa keadilan masyarakat. Seorang jaksa yang integritasnya utuh tidak akan ragu menyidik kepala daerah, menahan pejabat kementerian, atau mengorek kejahatan di institusi pendidikan tinggi, jika bukti sudah cukup. Keberanian menindak pemilik kuasa adalah satu-satunya jalan untuk memutus kultur impunitas yang membusuk di birokrasi daerah.
Jika Kajatisu yang baru tidak mampu membangun benteng independensi di tengah arus intervensi politik, maka harapan publik hanya akan tinggal harapan. Penegakan hukum akan terus jadi instrumen dagang sapi politik, bukan alat pembebas rakyat dari penindasan struktural. Kini pilihan ada di tangan Kejatisu: menjadi alat reformasi atau bagian dari sandiwara. Di titik ini, independensi bukan sekadar sikap—melainkan garis batas kebenaran dan keadilan untuk semua.
Penutup
Tingkat kepercayaan 76,2% terhadap Kejaksaan bukanlah warisan kekuasaan, melainkan kontrak sosial yang harus dibayar lunas dengan kinerja. Capaian itu hanya berarti jika dijaga dengan nyali, bukan basa-basi. Di Sumatera Utara, ujian terbesar itu bernama keberanian melawan kekuasaan korup—bukan sekadar menindak pelanggar hukum kelas teri, tetapi menyasar para pengatur anggaran, pemilik akses politik, dan aktor struktural dalam jaringan rente. Kajatisu Harli Siregar bukan sekadar pejabat struktural, tapi sosok yang sedang diuji sejarah: apakah ia akan mencatatkan babak baru dalam penegakan hukum, atau justru melanggengkan status quo.
Rakyat Sumut tak sedang menanti janji manis atau seremoni penindakan yang penuh kamera, tapi menagih vonis nyata bagi para pencuri uang publik. Mereka menanti kejaksaan yang berani melawan tekanan, membongkar konspirasi proyek fiktif, dan menyeret pelaku—tak peduli pangkat atau latar belakangnya. Ini bukan soal hukum prosedural, tapi soal nyawa keadilan yang terlalu lama dikorbankan demi kepentingan elitis. Nyawa keadilan kini hanya bisa diganti dengan nyali kejaksaan.
Saatnya Kejatisu berdiri tegak: bahwa hukum tidak bisa dinegosiasi, dan keadilan tidak bisa dibungkam. Jika institusi ini mampu menunjukkan taringnya di Sumut, maka kepercayaan publik bukan hanya akan terjaga, tapi akan tumbuh menjadi legitimasi moral yang sulit digoyahkan. Tapi jika tidak, maka 76,2% itu hanya akan menjadi angka kosong—tertulis megah di laporan tahunan, tapi tak punya gema di hati rakyat.
Demikian.
Tentang Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92, Anggota badan perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
______________
Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2001.
Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Indonesia Corruption Watch. “Tren Penindakan Korupsi 2023.” Jakarta: ICW. https://antikorupsi.org
Kejati Jatim. “Kejaksaan Raih 76,2% Tingkat Kepercayaan Publik dan Menjadi Lembaga Penegak Hukum Paling Dipercaya.” 2024. https://kejati-jatim.go.id
Widjojanto, Bambang. “Penegakan Hukum dalam Krisis Demokrasi.” Jurnal Integritas, KPK, Vol. 8 No. 1, 2023.
Indonesia Corruption Watch (ICW). “Tren Penindakan Korupsi Tahun 2023.” ICW, 2024. https://antikorupsi.org/id/article/laporan-tren-korupsi-2023.
Kejati Jatim. “Kejaksaan Raih 76,2% Tingkat Kepercayaan Publik dan Menjadi Lembaga Penegak Hukum Paling Dipercaya.” Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, January 2024. https://kejati-jatim.go.id/mengawali-tahun-2024-kejaksaan-raih-762-tingkat-kepercayaan-publik-dan-menjadi-lembaga-penegak-hukum-paling-dipercaya-masyarakat/.
Poros Jakarta. “USU dan 10 Tahun Korupsi Dimaafkan: Laporan BPK Ungkap Penyimpangan Rp28 Miliar.” PorosJakarta.com, July 2025. https://www.porosjakarta.com/kanal-editorial/066024274/usu-dan-10-tahun-korupsi-dimaafkan-laporan-bpk-ungkap-penyimpangan-rp28-miliar.
MedanBisnisDaily. “Hibah Miliaran Rupiah ke USU, Dampaknya Belum Terlihat.” MedanBisnisDaily.com, 10 Februari 2024. https://medanbisnisdaily.com
Medanposonline.com. (10 September 2024). Mantan Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumut Pertanyakan Proyek Kolam Retensi USU. https://medanposonline.com
Sambar.id. “FABEM Sumut Desak Kajatisu Harli Siregar Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi di Sumatera Utara.” Sambar.id, July 8, 2025. https://www.sambar.id/2025/07/fabem-sumut-desak-kajatisu-harli.html.
Dana Desa dan Kejahatan Terstruktur di Tingkat Akar - Labuhanbatu Selatan
https://mudanews.com/opini/2025/07/07/dana-desa-dan-kejahatan-terstruktur-di-tingkat-akar/
Posting Komentar
0Komentar