"HUT Bhayangkara ke-79 Tahun: Peran Polda dalam Penyelesaian Konflik Tanah di Sumatera Utara"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Pendahuluan 

Memasuki usia ke-79 tahun, Kepolisian Republik Indonesia masih berhadapan dengan salah satu krisis sosial paling akut dalam sejarah agraria bangsa: konflik tanah. Di Sumatera Utara, konflik agraria bukan hanya catatan kelam sejarah, tetapi luka terbuka yang terus berdarah. Dari Labuhan Batu hingga Langkat, dari Mandailing Natal sampai Tapanuli Utara, masyarakat berulang kali menyaksikan aparat kepolisian berdiri di sisi korporasi dan pemegang konsesi, bukan di sisi petani dan rakyat adat yang mempertahankan haknya atas tanah warisan leluhur. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, Sumatera Utara mencatatkan 37 konflik agraria, menempatkannya di peringkat lima besar provinsi dengan konflik tertinggi di Indonesia. Ironisnya, aparat penegak hukum kerap kali justru menjadi pelindung kekuasaan, bukan penegak keadilan.


Kriminolog Mardjono Reksodiputro sejak lama mengingatkan bahwa tugas polisi tidak semata-mata represif—menindak pelanggaran hukum—tetapi juga preventif dan problem-solving. Dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), polisi seharusnya berperan sebagai pengurai konflik sosial, bukan sebagai alat represi negara. Dalam konteks agraria, ketika petani menggugat tanah yang dikuasai negara atau korporasi, pendekatan aparat seharusnya bukan dengan tameng dan gas air mata, tetapi dengan pendekatan restoratif yang memediasi, memetakan akar masalah, dan mencari solusi adil. Tanpa paradigma ini, kepolisian akan terus kehilangan legitimasi di mata rakyat.


Konflik agraria di Sumatera Utara tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang ketimpangan penguasaan tanah. Laporan Komnas HAM menyebutkan bahwa sebagian besar konflik agraria di daerah ini melibatkan lahan eks-HGU (Hak Guna Usaha) yang belum dikembalikan ke rakyat. PTPN, perusahaan swasta besar, dan oknum pejabat daerah sering menjadi aktor yang menghalangi proses redistribusi lahan. Ketika rakyat mencoba menuntut haknya, justru aparatlah yang datang menggusur, menangkap, bahkan mengkriminalisasi. Peran kepolisian menjadi sangat menentukan: akan berpihak pada kepastian hukum yang formalistik, atau pada keadilan sosial yang substantif.


Di sisi lain, UUPA No. 5 Tahun 1960 telah secara tegas mengamanatkan land reform sebagai instrumen pemerataan kesejahteraan dan keadilan agraria. Undang-undang ini tidak hanya memberi dasar hukum atas penguasaan dan penggunaan tanah, tetapi juga memuat visi ideologis: bahwa tanah adalah untuk kemakmuran rakyat, bukan alat akumulasi modal oleh segelintir elite. Sayangnya, selama enam dekade lebih, pelaksanaan UUPA justru lebih sering terhambat oleh kepentingan ekonomi-politik yang menjadikan tanah sebagai komoditas, bukan ruang hidup rakyat.


Keberhasilan reforma agraria—yang digagas melalui UUPA—sangat bergantung pada netralitas dan keberpihakan institusi negara, termasuk kepolisian. Jika polisi tetap menjadi instrumen kekuasaan yang melayani kepentingan pemilik modal, maka cita-cita UUPA akan terus dikubur di balik kawat berduri dan truk barakuda. Momentum HUT Bhayangkara ke-79 semestinya menjadi saat reflektif bagi institusi Polri, khususnya Polda Sumatera Utara, untuk menempatkan diri bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai garda keadilan yang menjaga martabat rakyat atas tanah dan hidupnya. Sebab tanah bukan sekadar aset, melainkan identitas dan masa depan bangsa.


Polda dan Dilema Netralitas Institusional

Dalam khazanah pemikiran Mardjono Reksodiputro, netralitas institusional kepolisian bukanlah posisi diam di antara dua kubu, melainkan keberpihakan aktif pada keadilan substantif. Polisi tidak boleh menjadi satpam korporasi, apalagi menjadi alat represi negara terhadap rakyatnya sendiri. Namun, realitas di lapangan memperlihatkan kontras mencolok: aparat sering kali hadir bukan sebagai penjaga perdamaian, melainkan sebagai pelindung alat berat milik perusahaan dalam penggusuran paksa terhadap warga yang mempertahankan hak atas tanah. Di Sumatera Utara, pemandangan ini tidak lagi mengejutkan, tapi justru menjadi gejala struktural.


Ambil contoh kasus Desa Sigapiton, di kawasan Danau Toba. Konflik antara warga adat dengan Badan Otorita Pariwisata Danau Toba (BOPDT) yang diback-up aparat keamanan justru memperuncing ketegangan. Warga yang menolak pembangunan resort di tanah ulayatnya dipersepsikan sebagai penghambat investasi, dan aparat pun dikerahkan bukan untuk mediasi, tetapi untuk membungkam protes. Hal serupa juga terjadi di areal eks HGU PTPN II di Deli Serdang dan Langkat, di mana warga menuntut redistribusi tanah, tapi malah disambut kriminalisasi.


Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) periode 2023–2024 menyebutkan bahwa di Sumatera Utara tercatat 37 konflik agraria, dengan korban terdampak lebih dari 12.000 kepala keluarga. Dari seluruh kasus tersebut, aktor utama konflik terdiri dari PTPN (45%), perusahaan swasta (30%), pemerintah daerah (15%), dan militer/polisi (10%). Ironisnya, dari total konflik itu, hanya empat kasus yang benar-benar diselesaikan secara tuntas, atau sekitar 10 persen saja. Artinya, mayoritas konflik dibiarkan berlarut atau bahkan diperparah oleh intervensi koersif aparat.


Pertanyaannya kemudian: apakah Polda Sumut telah menjalankan perannya secara imparsial? Sejauh ini, masyarakat sipil melihat polisi lebih sering merespons tekanan kekuasaan ketimbang menjalankan fungsi sebagai pelindung rakyat. Padahal, Mardjono mengingatkan bahwa integritas polisi justru diuji ketika menghadapi konflik sosial bernuansa struktural seperti agraria, di mana garis antara legalitas dan keadilan kerap kali tidak lurus. Jika polisi hanya mengikuti prosedur formal tanpa mempertimbangkan konteks sosial, maka hukum akan kehilangan roh keadilannya.


Netralitas institusional mestinya tidak berhenti pada jargon. Polisi harus menjadi fasilitator dialog, menghidupkan ruang mediasi, dan memastikan bahwa masyarakat yang memperjuangkan haknya tidak diposisikan sebagai penjahat. Apalagi, dalam konflik tanah, akar masalah sering kali terletak pada kegagalan negara menyelesaikan sengkarut HGU, konsesi, dan hak adat, bukan pada warga yang menolak dikorbankan demi proyek investasi.


Kondisi ini membutuhkan keberanian moral dari pimpinan kepolisian di daerah. Polda Sumut, sebagai institusi utama penegak hukum di provinsi ini, memiliki tanggung jawab untuk mereformasi pendekatan penanganan konflik agraria. Bukan dengan barikade dan senjata, melainkan dengan komitmen kepada prinsip konstitusi dan kemanusiaan. Jika tidak, maka polisi akan terus dilihat sebagai alat status quo, bukan sebagai representasi negara hukum yang adil dan beradab.


Momentum HUT Bhayangkara ke-79 seharusnya dijadikan refleksi serius, bukan sekadar seremoni. Di tengah krisis kepercayaan publik, netralitas institusional bukan lagi pilihan, tapi prasyarat bagi masa depan kepolisian yang profesional dan demokratis. Dan itu dimulai dari keberanian untuk berpihak pada keadilan dalam konflik agraria—bukan pada kekuasaan yang memelihara ketimpangan.


Paradigma Polisi Sipil: Jalan Reformasi Menuju Bhayangkara Humanis

Transformasi kepolisian menuju model civil police bukan sekadar wacana akademik, tetapi kebutuhan mendesak dalam demokrasi yang semakin dewasa. Mardjono Reksodiputro telah lama mengingatkan bahwa institusi kepolisian harus berpindah dari pendekatan koersif ke pendekatan partisipatoris—dengan community policing sebagai nadi operasionalnya. Dalam konflik agraria, ini berarti hadirnya sistem deteksi dini, pemetaan sosial, dan mediasi berbasis partisipasi warga. Polisi tidak boleh lagi datang setelah konflik membesar, apalagi hanya untuk mengamankan kepentingan pemodal dengan kekuatan bersenjata.


Sumatera Utara, sebagai wilayah dengan sejarah panjang konflik lahan, membutuhkan pendekatan yang lebih dari sekadar penegakan hukum. Tanah di sini tidak hanya soal komoditas ekonomi, tetapi juga ruang hidup, identitas adat, dan warisan sejarah. Polda Sumut harus mengambil peran sebagai social engineer—bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi sebagai perajut ulang kepercayaan antara negara dan masyarakat akar rumput. Hal ini mensyaratkan kerja kolaboratif bersama Komnas HAM, akademisi, lembaga adat, dan organisasi agraria agar penyelesaian konflik bersifat inklusif dan adil.


Dalam kerangka hukum nasional, paradigma polisi humanis sejatinya telah memiliki pijakan normatif yang kuat. UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Anti-Penyiksaan dan Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Tugas Kepolisian merupakan fondasi yang mewajibkan setiap tindakan polisi selaras dengan penghormatan terhadap martabat manusia. Namun, implementasi regulasi ini sering mandek di meja komando—gagal mengalir ke perilaku aparat di lapangan. Tanpa internalisasi nilai-nilai HAM, polisi akan terus terjebak dalam logika kekuasaan, bukan keadilan.


Data Komnas HAM menunjukkan bahwa pada 2023, lebih dari 25 pengaduan masyarakat terhadap kepolisian di Sumut berkaitan dengan pelanggaran hak dalam konflik agraria—mulai dari intimidasi, penyiksaan saat penangkapan, hingga pelanggaran hak atas pengadilan yang adil. Angka ini bukan hanya alarm moral, tetapi juga bukti kegagalan reformasi kultural di tubuh Polri. Polisi tidak bisa terus membela diri dengan dalih “tugas negara” jika pelaksanaannya justru merusak sendi-sendi kemanusiaan.


Di tengah perayaan HUT Bhayangkara ke-79, institusi Polri—terutama di daerah konflik tinggi seperti Sumatera Utara—harus menghentikan euforia seremoni dan mulai membangun visi jangka panjang: menjadikan polisi sebagai penjaga nurani, bukan perpanjangan tangan kekuasaan. Rakyat tidak butuh pasukan bersenjata, mereka butuh aparat yang mengerti luka sosial mereka. Bhayangkara masa depan adalah yang hadir tanpa barikade, tapi dengan empati dan keberanian moral untuk berdiri di sisi yang benar.


Polda dan Tanah Untuk Rakyat sebagai Adagium UUPA No. 5 Tahun 1969.

Dalam kerangka hukum agraria nasional, adagium “Tanah untuk Rakyat” bukan sekadar slogan politis, melainkan amanat konstitusional yang tertuang jelas dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. Prof. Dr. AP. Parlindungan Lubis, SH—pakar hukum agraria terkemuka Indonesia—menegaskan bahwa tujuan utama UUPA adalah mengakhiri ketimpangan penguasaan tanah warisan kolonial dan meletakkan dasar keadilan sosial dalam pengelolaan sumber daya agraria. Namun realitasnya, hingga hari ini, adagium tersebut justru terhenti di ruang wacana. Aparat kepolisian, alih-alih menjadi pelindung cita-cita agraria tersebut, justru sering bertindak represif terhadap perjuangan rakyat untuk mendapatkan hak atas tanahnya.


Polda Sumatera Utara perlu melakukan refleksi serius terhadap peran institusionalnya dalam konteks konflik agraria yang kian meluas. Sebagian besar konflik tanah di provinsi ini muncul karena ketidakberesan dalam redistribusi tanah eks-HGU, penguasaan korporasi besar, dan lambannya reforma agraria oleh pemerintah daerah. Dalam catatan KPA, sepanjang 2023–2024 terjadi 37 konflik tanah di Sumatera Utara dengan ±12.000 KK terdampak. Sayangnya, dalam banyak kasus, aparat kepolisian justru lebih cepat hadir untuk mengamankan kepentingan pemilik modal ketimbang mengadvokasi hak masyarakat adat atau petani penggarap.


Padahal, sejarah dunia membuktikan bahwa keberhasilan reformasi agraria menjadi fondasi utama dari kemerdekaan ekonomi rakyat. Negara-negara kapitalis seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan sukses menjalankan land reform usai perang dunia kedua sebagai strategi pembebasan ekonomi rakyat dari feodalisme dan kapitalisme tanah. Sebaliknya, Indonesia, meski telah merdeka sejak 1945 dan memiliki UUPA sejak 1960, masih berkutat pada konflik agraria struktural akibat absennya kemauan politik dan kuatnya resistensi elite ekonomi. Hal ini menjadi paradoks sekaligus pengkhianatan terhadap semangat kemerdekaan itu sendiri.


Prof. Parlindungan Lubis pernah menegaskan bahwa tanah adalah “sumber daya strategis yang menyangkut hidup matinya bangsa.” Ketika tanah terus dikomodifikasi dan dikuasai oleh segelintir orang, maka yang terancam bukan hanya petani, tapi masa depan bangsa. Dalam konteks ini, tindakan represif aparat bukan sekadar pelanggaran HAM, tapi juga bentuk pengabaian terhadap amanat konstitusi dan ideologi negara. Polisi sebagai alat negara, semestinya justru menjadi pelindung rakyat dalam mewujudkan keadilan agraria, bukan sebaliknya.


Momentum HUT Bhayangkara ke-79 harus menjadi titik balik. Polda Sumatera Utara tidak boleh terus-menerus menjadi alat kekuasaan yang membungkam perjuangan rakyat atas tanah. Sudah saatnya aparat mengadopsi paradigma hukum progresif yang tidak hanya taat prosedur, tapi juga berpihak pada keadilan substantif. “Tanah untuk Rakyat” bukan tuntutan liar, melainkan mandat sejarah. Dan tugas Polri adalah memastikan mandat itu tak dikubur oleh tembok beton dan pagar kawat berduri yang selama ini berdiri di antara rakyat dan tanah airnya sendiri.


Penutup

Tugas utama polisi dalam negara hukum bukanlah mengamankan investasi, melainkan mengamankan keadilan. Jika konflik agraria di Sumatera Utara terus ditangani dengan pendekatan koersif dan represif, maka wilayah ini tak ubahnya akan menjadi ladang perlawanan yang terus berdarah. Kekerasan atas nama stabilitas justru menciptakan ketidakstabilan sosial yang berkelanjutan. Ulang tahun Bhayangkara ke-79 harus dimaknai sebagai titik koreksi institusional: bahwa kesetiaan Bhayangkara bukan kepada pemodal atau penguasa, melainkan kepada konstitusi, hak asasi manusia, dan rakyat yang diperintahkan untuk dilindungi.


Perlu dipahami oleh Polda Sumut bahwa rakyat yang memperjuangkan keadilan agraria bukanlah musuh negara. Mereka adalah warga negara yang sedang menagih janji Proklamasi 17 Agustus 1945—sebuah janji yang dikristalisasikan dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 sebagai bentuk konkret kemerdekaan ekonomi dan keadilan sosial. Ketika rakyat menyuarakan “tanah untuk kehidupan”, mereka tidak sedang melawan hukum, melainkan sedang berjuang agar hukum ditegakkan sebagaimana mestinya. Mengkriminalisasi mereka adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita republik.


Sebagaimana diingatkan Mardjono Reksodiputro, “Kepolisian yang baik bukan yang membuat rakyat takut, tapi yang membuat rakyat merasa aman dan bermartabat.” Kalimat ini bukan sekadar kutipan moral, tetapi fondasi etik bagi reformasi kepolisian. Jika Polda Sumut ingin membangun institusi yang profesional, humanis, dan demokratis, maka langkah pertama adalah berpihak kepada keadilan—bukan kepada kekuasaan. Karena pada akhirnya, legitimasi kepolisian tidak dibangun dari tameng dan senjata, tetapi dari kepercayaan rakyat.


Demikian 


Tentang Penulis:

Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH adalah advokat,  pemerhati isu agraria serta hak asasi manusia, anggota badan perkumpulan KontraS Sumut dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.

______________


Daftar Pustaka


Komnas HAM RI. 2024. Laporan Tahunan 2023: Situasi Hak Asasi Manusia dalam Konflik Agraria di Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). 2024. Catatan Akhir Tahun 2023: Konflik Agraria dan Kekerasan Terhadap Petani. Jakarta: KPA.


Lubis, A.P. Parlindungan. 2009. Hukum Agraria Nasional. Bandung: Mandar Maju.


Mardjono Reksodiputro. 2007. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.


Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian. Jakarta: Kepolisian RI.


Republik Indonesia. 1960. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 No. 104.


Republik Indonesia. 1998. Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 No. 164.


Tempo. 2024. “Polisi dalam Konflik Agraria: Antara Tugas dan Tekanan Investasi.” Tempo.co, 15 Mei 2024. https://www.tempo.co

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)