"Hibah, Akademia, dan Kekuasaan: Perlu Audit Forensik Dana Pemko Medan ke USU"

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH ( Ketua Forum Penyelamat USU)


Pendahuluan 


Di tengah derasnya tuntutan transparansi tata kelola anggaran, satu babak baru patut disorot: penyaluran dana hibah dari Pemerintah Kota Medan ke Universitas Sumatera Utara (USU) selama kepemimpinan Bobby Nasution. Kerjasama yang di atas kertas disebut sebagai bentuk kolaborasi strategis itu kini menghadapi ujian etis dan hukum. Publik bertanya: apakah dana hibah yang bersumber dari APBD benar-benar membawa kemanfaatan publik, atau justru menjadi instrumen transaksional di balik kemasan akademik?


Dalam praktik kekuasaan lokal, hibah bisa menjadi sarana politik pencitraan. Ia hadir dalam balutan narasi sinergi dan pembangunan, namun sering kali miskin akuntabilitas. Ketika aliran dana publik menyasar kampus—sebuah institusi yang seharusnya menjadi benteng independensi intelektual—tanpa landasan evaluatif yang jelas dan laporan pertanggungjawaban terbuka, maka keraguan publik bukanlah sikap apriori, melainkan bentuk kewaspadaan demokratis.


Isu ini semakin relevan pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kadis PUPR Provinsi Sumut, Topan Obaja Putra Ginting. Sosok yang sebelumnya menjabat sebagai Kadis PUPR dan Sekda Kota Medan ini dikenal sebagai figur kunci dalam lingkar kekuasaan Bobby Nasution. Fakta ini memperkuat urgensi untuk menelaah secara lebih tajam ekosistem relasi kekuasaan dan belanja publik di Medan, termasuk dalam urusan hibah ke lembaga akademik.


Penyaluran hibah kepada USU tak bisa dilepaskan dari konteks politik lokal. Kedekatan personal dan struktural antara elite Pemko Medan dan sivitas USU memunculkan kekhawatiran akan konflik kepentingan terselubung. Apakah universitas sebagai institusi ilmiah benar-benar memainkan peran strategis dalam pembangunan, atau justru terjebak dalam orbit kuasa eksekutif? Bila kampus mulai menggantungkan eksistensinya pada dana hibah yang tidak transparan, maka independensi akademik berada dalam bahaya.


Karena itulah audit forensik menjadi instrumen krusial. Lebih dari sekadar telaah akuntansi, audit forensik menelisik integritas proses: dari motif, aktor, hingga aliran dana. Dalam demokrasi yang sehat, hibah bukan hanya soal legalitas administratif, melainkan juga legitimasi moral. Dan ketika ranah akademik mulai kehilangan daya kritisnya terhadap kekuasaan, publiklah yang paling dirugikan.


Di Balik Seremonial dan Retorika


Beberapa tahun terakhir, Pemko Medan tercatat rutin menyalurkan dana hibah ke berbagai institusi, termasuk Universitas Sumatera Utara (USU). Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kota Medan tahun 2022 dan 2023, total nilai hibah ke sektor pendidikan dan riset mencapai lebih dari Rp20 miliar. USU menjadi salah satu penerima terbesar, dengan alokasi untuk program-program bertajuk penguatan layanan publik digital, pelatihan etika birokrasi, dan riset kebijakan daerah. Sayangnya, realisasi output dari proyek-proyek tersebut belum pernah dipublikasikan secara transparan kepada publik.


Yang muncul justru dominasi acara-acara seremonial: peluncuran program, penandatanganan MoU, seminar dengan tajuk bombastis, namun tanpa indikator keberhasilan yang terukur. Sejumlah kegiatan seperti pelatihan ASN atau forum diskusi digitalisasi pelayanan publik, menurut laporan investigatif media lokal, hanya melibatkan kelompok terbatas dan tidak memiliki kesinambungan. Pertanyaan krusialnya: sejauh mana kegiatan tersebut berdampak pada peningkatan kualitas hidup warga Medan?


Kritik tajam datang dari kalangan akademisi sendiri. Beberapa dosen USU yang enggan disebut namanya menyebut bahwa desain program kerap kali datang “dari atas”—bukan berbasis kajian kebutuhan masyarakat atau riset ilmiah. Dalam beberapa kasus, pengusulan proposal hibah dilakukan secara tertutup, hanya melibatkan aktor-aktor struktural yang memiliki kedekatan dengan birokrasi Pemko. Ini mengaburkan batas antara kemitraan institusional dan relasi patron-klien.


Lebih ironis, sebagian anggaran digunakan untuk kegiatan non-riset, seperti pengadaan alat peraga pelatihan dan pengembangan konten visualisasi program yang lebih menyerupai promosi kinerja pemerintah ketimbang evaluasi akademik. Data dari LPSE menunjukkan pengadaan jasa event organizer untuk kegiatan USU-Pemko dalam program hibah mencapai ratusan juta rupiah, tanpa rincian hasil substansial. Jika ini bukan bentuk pemborosan dan politisasi dana pendidikan, lalu apa?


Dalam konteks ini, publik berhak menuntut klarifikasi: apakah kerjasama ini betul-betul berbasis semangat pengabdian masyarakat, atau justru bentuk baru dari praktik kolusi terselubung? Di balik jargon inovasi dan digitalisasi, ada pola lama yang mulai terbaca—bahwa dana publik kerap dijadikan alat untuk membangun panggung, bukan menyelesaikan persoalan riil warga kota. Maka, transparansi bukan sekadar tuntutan etika, tapi juga syarat demokrasi yang sehat.


Audit Forensik: Jalan Menuju Terangnya Transparansi


Audit reguler yang dilakukan oleh Inspektorat Daerah maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sering kali bersifat administratif dan terbatas pada kelengkapan dokumen. Dalam banyak kasus, audit jenis ini gagal mendeteksi praktik penyimpangan yang dilakukan secara sistematis dan terselubung. Karena itu, ketika mencuat dugaan konflik kepentingan, tumpang tindih kepentingan pejabat publik dan akademisi, serta penggunaan dana hibah untuk kegiatan seremonial, maka audit forensik menjadi langkah tak terelakkan untuk membongkar seluruh rantai alur dana dan motif di baliknya.


Audit forensik tak hanya bicara angka, tetapi juga konteks, relasi kekuasaan, dan motif aktor. Ia menyelidiki why and how, bukan sekadar how much. Dalam kasus hibah Pemko Medan ke USU, pertanyaan krusial tidak bisa dijawab dengan laporan pertanggungjawaban belaka. Harus dibongkar siapa penginisiasi, bagaimana proses MoU dilakukan, sejauh mana kontrol publik dilibatkan, dan apakah ada indikasi pemanfaatan celah hukum demi kepentingan politik atau personal.


Mengacu pada teori integratif dalam penegakan hukum yang dikembangkan Prof. Barda Nawawi Arief, penegakan hukum tak boleh hanya legalistik, tetapi juga memperhatikan keadilan substantif dan nilai kemanfaatan. Dalam konteks ini, jika dana hibah ternyata hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan pelayanan publik, maka secara moral sudah menyimpang. Bahkan jika seluruh prosedur formal dipenuhi, pelanggaran terhadap prinsip pro justicia tetap dapat terjadi.


Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara dapat dikenakan pidana, meskipun pelakunya mengklaim telah menjalankan prosedur. Dalam logika hukum pidana, bentuk abuse of power yang terselubung melalui kerja sama formal, tetapi penuh konflik kepentingan, dapat menjadi objek penyelidikan pidana korupsi. Audit forensik di sini berperan sebagai alat pendukung pembuktian — mengungkap niat tersembunyi di balik kebijakan formal.


Apakah hibah Pemko Medan ke USU telah sesuai dengan Permendagri No. 77 Tahun 2020? Apakah MoU disusun berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat atau hanya akal-akalan prosedural? Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan TOR, penunjukan kegiatan, dan realisasi anggaran? Bila seluruh proses dikuasai oleh sekelompok elite birokrasi dan akademisi yang saling beririsan, maka objektivitas dan akuntabilitas program patut dipertanyakan secara serius.


Dalam audit forensik, penting pula dianalisis seberapa besar dampak program terhadap masyarakat Kota Medan. Program pelatihan ASN, seminar digitalisasi, dan proyek riset kebijakan yang dibiayai dengan dana miliaran rupiah harus diuji: apakah mereka meningkatkan layanan publik? Atau sekadar menghasilkan laporan naratif tanpa keberlanjutan? Tanpa evaluasi berbasis indikator sosial, hibah tersebut berpotensi menjadi proyek sia-sia yang hanya menguntungkan segelintir pihak.


Audit forensik bukan sekadar proses teknokratis, tapi juga bentuk moral inquiry terhadap penggunaan uang rakyat. Jika dana publik digunakan bukan untuk rakyat, maka ada pengkhianatan terhadap konstitusi dan keadilan distributif. Prof. Barda menekankan pentingnya hukum pidana sebagai sarana perlindungan kepentingan publik. Maka audit ini bukan hanya soal tata kelola, tapi juga pembuktian bahwa negara tidak sedang berselingkuh dengan elite, melainkan berpihak pada keadilan sosial.


Dugaan Relasi Patron-Klien Akademik


Hubungan antara pemerintah daerah dan universitas, jika dijalankan secara sehat, dapat melahirkan kolaborasi strategis yang mencerdaskan bangsa. Namun, jika relasi ini dibangun di atas fondasi kedekatan politis dan kepentingan jangka pendek, ia mudah berubah menjadi patronase akademik — sebuah model relasi kekuasaan yang tidak sehat, yang mengikis independensi ilmiah dan merusak integritas institusi pendidikan tinggi. Dugaan ini kini mengemuka dalam hubungan antara Pemko Medan dan Universitas Sumatera Utara (USU), khususnya terkait penyaluran dana hibah yang mengalir secara signifikan sejak Bobby Nasution menjabat sebagai Wali Kota.


Beberapa proyek kerja sama antara Pemko Medan dan USU justru menunjukkan gejala ketimpangan. Banyak kegiatan yang bersifat seremonial — pelatihan ASN, seminar digitalisasi, atau lokakarya birokrasi — namun tidak disertai indikator dampak sosial yang nyata. Sejumlah laporan internal menyebut kegiatan tersebut cenderung eksklusif, bersifat top-down, dan minim pelibatan komunitas akademik yang lebih luas. Di sinilah muncul pertanyaan: apakah kampus hanya difungsikan sebagai eksekutor agenda politik lokal, atau masih memegang peran sebagai mitra kritis yang otonom?


Karya klasik James C. Scott dalam Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia menjelaskan bahwa hubungan patron-klien ditandai oleh pertukaran sumber daya yang tidak setara antara pihak yang dominan (patron) dan pihak yang bergantung (klien). Dalam konteks ini, pemerintah daerah sebagai pemilik otoritas anggaran berperan sebagai patron, sementara universitas menjadi klien yang menerima dana, namun kehilangan daya kritisnya karena ketergantungan itu. Bentuk timbal baliknya bisa dalam bentuk legitimasi akademik, penggiringan opini publik, atau bahkan pembungkaman kritik internal.


Gejala ini diperparah oleh adanya irisan personal dalam struktur kepemimpinan kampus dan jejaring elite Pemko Medan. Beberapa nama akademisi diketahui memiliki kedekatan struktural dengan lingkungan Pemko, bahkan terlibat dalam tim teknis kebijakan daerah. Tanpa sistem pengawasan independen dan mekanisme audit yang transparan, kolaborasi semacam ini berisiko menjadikan kampus sebagai “rekan diam” dari kekuasaan — tidak lagi menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, tetapi sekadar pelengkap administratif bagi kebijakan yang bisa jadi bermasalah.


Dalam situasi semacam ini, audit forensik tidak hanya penting untuk menelusuri penggunaan anggaran, tetapi juga menjadi instrumen untuk memutus rantai patronase. Kampus harus kembali pada marwahnya: menjadi benteng moral dan nalar kritis, bukan perpanjangan tangan kekuasaan. Ketika universitas kehilangan otonominya demi kenyamanan anggaran, maka yang dikorbankan bukan hanya akuntabilitas publik, tetapi masa depan keilmuan dan demokrasi lokal itu sendiri.


Tabir Transparansi Harus Dibuka


Dalam demokrasi yang sehat, tak ada ruang gelap dalam pengelolaan keuangan negara. Setiap rupiah dana publik—baik dalam bentuk anggaran langsung, hibah, maupun kemitraan institusional—harus dapat ditelusuri asal-usul, peruntukan, dan dampaknya. Universitas Sumatera Utara (USU), sebagai perguruan tinggi negeri yang dibiayai oleh uang rakyat dan dipercaya sebagai otoritas ilmiah, tidak boleh menutup diri dari pemeriksaan publik. Begitu pula Pemko Medan, yang bertanggung jawab atas kebijakan alokasi hibah, wajib menunjukkan bahwa kerja samanya bukan bagian dari praktik “bagi-bagi” anggaran menjelang siklus elektoral.


Transparansi bukan sekadar membuka tabel anggaran atau jumlah rupiah yang disalurkan. Ia juga menyangkut kejelasan tujuan program, proses pengambilan keputusan, partisipasi publik, dan yang terpenting: hasil riil dari kerja sama tersebut. Jika dana hibah hanya menghasilkan laporan kegiatan, bukan perubahan sosial, maka publik berhak mencurigai bahwa yang terjadi bukan kolaborasi pembangunan, melainkan kontrak diam-diam antara kekuasaan dan lembaga.


Pernyataan tegas datang dari Abdullah Hehamahua, mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang mengingatkan bahwa institusi seperti pemerintah daerah, lembaga politik, bahkan perguruan tinggi sangat patut diduga melakukan korupsi jika tidak transparan dalam pengelolaan dana dan aset. Ketertutupan, menurutnya, adalah awal dari praktik korupsi berjemaah. Dalam konteks Pemko Medan dan USU, ungkapan ini bukan tuduhan, melainkan pengingat keras agar dua institusi publik ini tidak terjebak dalam lubang gelap kekuasaan yang saling melindungi.


Audit forensik bukan bentuk tudingan, tetapi instrumen pembuktian. Jika Pemko dan USU yakin berada di jalur yang benar, maka membuka seluruh dokumen MoU, rincian anggaran, pelaporan program, hingga hasil evaluasi kegiatan kepada publik semestinya bukan masalah. Justru itu menjadi bukti integritas dan komitmen terhadap akuntabilitas sosial. Sebab kepercayaan masyarakat bukan dibangun dari kemasan acara, melainkan dari kejujuran dan keterbukaan atas proses dan hasil.


Ketika kampus dan pemerintah daerah berdiri di hadapan publik, pertanyaannya sederhana: apakah mereka berani diaudit secara forensik? Apakah kerja sama mereka menghasilkan manfaat langsung bagi warga Kota Medan, atau hanya menguntungkan segelintir elite akademik dan birokrat? Tabir transparansi harus dibuka, bukan demi kepentingan oposisi atau media, tetapi demi menjaga nurani keadilan dan cita-cita demokrasi yang makin tergerus oleh kolusi yang dibungkus seremonial.


Penutup


Universitas tidak boleh berubah fungsi menjadi kantor cabang kekuasaan daerah. Ia bukan biro layanan kebijakan, apalagi perpanjangan tangan legitimasi politik. Kampus adalah tempat akal sehat dirawat dan nurani publik dijaga. Jika dana hibah dijadikan pintu masuk kooptasi, lalu direspons kampus dengan keheningan atau pembelaan struktural, maka pengkhianatan terhadap nilai akademik telah terjadi secara terang-terangan.


Dalam konteks USU dan Pemko Medan, audit forensik atas dana hibah bukanlah alat untuk mempermalukan institusi, tetapi upaya menjernihkan ruang publik dari kabut kepentingan. Ketika kerja sama berbasis uang rakyat tak lagi bisa diuji manfaat dan akuntabilitasnya, maka wajar bila publik menaruh curiga. Keterbukaan dan kesediaan diaudit menjadi tolok ukur utama apakah kampus masih setia pada mandat intelektual, atau justru mulai terseret arus pragmatisme birokrasi.


Masyarakat sipil, jurnalis investigatif, akademisi independen, hingga lembaga pengawasan negara harus bersinergi mendorong penyingkapan ini. Sebab dalam demokrasi yang sehat, uang publik tidak boleh bersembunyi, dan ilmu pengetahuan tidak boleh tunduk. Kampus harus kembali menjadi menara moral, bukan ruang kompromi bagi kekuasaan yang ingin cuci tangan dengan seremonial keilmuan. Perlu diingatkan, kampus USU bukan kantor cabang kekuasaan.


Demikian.


Penulis Advokat dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

___________


Daftar Pustaka


1. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Medan Tahun Anggaran 2022 dan 2023. Jakarta: BPK RI, 2023.


2. Pemerintah Kota Medan. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kota Medan Tahun Anggaran 2022–2023. Medan: BPKAD Kota Medan, 2023.


3. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta: Kemendagri, 2020.


4. Universitas Sumatera Utara. Laporan Kerjasama Kelembagaan dengan Pemerintah Kota Medan Tahun 2022–2023. Medan: Biro Rencana dan Kerja Sama USU, 2023.


5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Rilis OTT Kadis PUPR Sumut, Topan Obaja Ginting.” Siaran Pers KPK, April 2024.


6. Hehamahua, Abdullah. Etika Pejabat Publik dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Gema Insani, 2015.


7. Scott, James C. Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia. American Political Science Review, Vol. 66, No. 1 (1972): 91–113.


8. Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Kencana, 2010.


9. LPSE Kota Medan. Data Tender dan Pengadaan Kegiatan Kerjasama Pemerintah Daerah dan Perguruan Tinggi Tahun 2022–2023. Diakses via https://lpse.pemkomedan.go.id


10. MedanBisnisDaily. “Hibah Miliaran Rupiah ke USU, Dampaknya Belum Terlihat.” MedanBisnisDaily.com, 10 Februari 2024. https://medanbisnisdaily.com


11. Tribun Medan. “Pemko Medan Salurkan Dana Hibah Rp7 Miliar ke USU untuk Digitalisasi ASN.” Tribun Medan, 13 Oktober 2023. https://medan.tribunnews.com

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)