"Dana Desa dan Kejahatan Terstruktur di Tingkat Akar"

Media Barak Time.com
By -
0

 

 


Pendahuluan

Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel), sebuah daerah otonom di Provinsi Sumatera Utara, terdiri dari 5 Kecamatan dan 52 Desa, dengan pusat pemerintahan di Kota Pinang. Sejak pemekarannya dari Labuhanbatu induk pada tahun 2008, kabupaten ini tumbuh sebagai wilayah agraris yang bertumpu pada sektor perkebunan dan pertanian. Namun di balik geliat pembangunan fisik dan program kemasyarakatan, mencuat persoalan mendasar: pengelolaan Dana Desa yang mulai dipertanyakan akuntabilitasnya.

 

Sejak tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Labusel telah menerima dan mengalokasikan Dana Desa dari APBN selama satu dekade penuh. Total kucuran anggaran hingga 2025 mencapai triliunan rupiah. Pada tahun anggaran 2025 saja, Labusel menerima Rp 59.972.090.000 untuk desa yang tersebar di lima kecamatan. Jika dirata-rata, setiap desa menerima lebih dari Rp 1,1 miliar per tahun—sebuah angka besar yang seharusnya mampu mengubah wajah desa secara signifikan.

 

Namun yang terjadi jauh dari harapan. Dugaan penyimpangan, laporan fiktif, hingga SPJ palsu menyeruak ke permukaan, mencederai kepercayaan publik. Penangkapan dua mantan Penjabat Kepala Desa dari Desa Rasau dan Suka Dame pada pertengahan 2025 menjadi penanda awal bahwa sesuatu yang kelam sedang bersembunyi di balik lembaran laporan keuangan desa. Sebagaimana diungkapkan Ikatan Wartawan Online (IWO) Labusel, kasus ini diyakini hanyalah “puncak gunung es”.

 

Masalah yang dihadapi Labusel mencerminkan dilema nasional dalam tata kelola Dana Desa. Kucuran dana besar yang tidak dibarengi dengan pengawasan ketat justru menjadi ladang subur bagi korupsi. Padahal, semangat awal dari UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah membangun Indonesia dari pinggiran melalui kemandirian lokal. Sayangnya, otonomi anggaran tanpa transparansi justru melahirkan desentralisasi korupsi.

 

Dengan latar ini, desakan agar penegak hukum bersikap terbuka dan investigatif menjadi bukan hanya kebutuhan hukum, tetapi juga tuntutan moral. Dana Desa bukan sekadar angka dalam APBN, melainkan darah pembangunan di lapisan paling bawah republik ini. Dan ketika darah itu mulai tercemar, maka yang terancam bukan hanya pembangunan desa, tapi masa depan demokrasi lokal itu sendiri.

 

Kasus penangkapan dua mantan Penjabat Kepala Desa di Labuhanbatu Selatan—dari Desa Rasau dan Suka Dame—bukanlah sekadar pelanggaran administratif atau kesalahan manajerial. Ini adalah wajah nyata dari korupsi yang sistemik, terstruktur, dan didiamkan terlalu lama. Pernyataan Ikatan Wartawan Online (IWO) Labusel bahwa ini hanyalah “puncak gunung es” bukan hiperbola, melainkan peringatan dini bagi negara yang tak kunjung hadir secara utuh di desa-desa.

 

Jika praktik laporan fiktif, SPJ palsu, dan mark-up anggaran menjadi hal lumrah, maka ini adalah gejala dari penyakit akut bernama toleransi terhadap korupsi kecil-kecilan. Padahal, sebagaimana dikemukakan Abdullah Hehamahua, mantan Penasihat KPK, korupsi sekecil apa pun yang dibiarkan adalah benih bagi kerusakan sistemik. “Korupsi bukan semata soal uang, tapi soal moral dan kekuasaan yang tak terkendali,” tegasnya.

 

Persoalan menjadi lebih serius ketika lembaga penegak hukum bersikap pasif dan reaktif. Masyarakat seolah harus menunggu viralitas sebelum kebenaran ditegakkan. Ini tentu bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yang proaktif dan preventif sebagaimana digariskan oleh Prof. Romli Atmasasmita, bahwa penegakan hukum tak boleh menunggu, tetapi harus menciptakan efek jera dan peringatan publik.

 

Lebih dalam, Prof. Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa pidana dalam konteks korupsi bukan hanya pembalasan, tetapi restorasi moral publik. Korupsi Dana Desa adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan sosial dan amanah konstitusi yang menghendaki pembangunan dari pinggiran. Ketika dana untuk membangun jembatan, jalan, dan irigasi malah dibelanjakan untuk kepentingan pribadi, maka yang rusak bukan hanya infrastruktur, tetapi kepercayaan publik.

 

Menuntut Transparansi sebagai Hak Konstitusional

Desakan Ikatan Wartawan Online (IWO) Labusel agar Kejaksaan Negeri dan Polres menggelar konferensi pers terbuka terkait dugaan penyimpangan Dana Desa di 52 desa adalah langkah tepat dan konstitusional. Dalam sistem demokrasi, akses terhadap informasi publik bukan sekadar hak moral, tetapi hak hukum yang diatur tegas dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Negara, dalam hal ini aparat penegak hukum, berkewajiban menjamin hak warga untuk tahu ke mana dan bagaimana uang negara digunakan.

 

Fakta bahwa dana desa tahun 2025 untuk Labuhanbatu Selatan mencapai hampir Rp 60 miliar menunjukkan bahwa ini bukan isu kecil. Setiap desa menerima rata-rata lebih dari Rp 1 miliar, dan jika tidak diawasi dengan seksama, potensi penyalahgunaan sangat besar. Maka tidak berlebihan jika publik mendesak transparansi: mereka bukan sedang mengusik kinerja penegak hukum, melainkan sedang menjaga amanah konstitusi dan mencegah kejahatan anggaran yang berulang.

 

Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan Korupsi mempertegas perlunya partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran. Begitu pula dengan UU No. 28 Tahun 1999, yang menekankan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi sebagai pilar utama dalam penyelenggaraan negara yang bersih. Tanpa transparansi, keadilan hanya akan menjadi jargon kosong, dan supremasi hukum tak lebih dari ilusi prosedural.

 

Penegak hukum yang bekerja diam-diam, hanya merespons saat isu viral, justru menunjukkan lemahnya komitmen terhadap prinsip rechtstaat—negara hukum yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Dalam tatanan itu, rakyat bukan objek pembangunan, tetapi subjek yang punya hak untuk mengawasi, menuntut penjelasan, bahkan mempertanyakan diamnya institusi jika mencium aroma pelanggaran. Sebab dalam demokrasi, tidak ada kekuasaan yang kebal dari pertanyaan publik.

 

Maka yang dituntut dari Kejari dan Polres Labusel bukan sekadar konferensi pers formal, melainkan keterbukaan substansial: pemaparan data, rencana tindak lanjut, dan komitmen untuk memproses setiap laporan dugaan penyimpangan. Jika hal ini ditanggapi dengan sikap defensif, maka publik punya alasan kuat untuk meragukan integritas lembaga yang sejatinya menjadi garda depan pemberantasan korupsi di daerah.

 

Saatnya Membongkar, Bukan Menutupi

Labuhanbatu Selatan bukanlah anomali. Ia hanyalah salah satu dari ratusan kabupaten yang mencerminkan wajah buram tata kelola Dana Desa di Indonesia. Dalam laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak Dana Desa digulirkan pada 2015, lebih dari 900 kepala desa telah tersangkut kasus korupsi. Fenomena ini membuktikan bahwa korupsi di desa bukan kecelakaan administratif, tetapi pola yang terstruktur dan berulang.

 

Desa yang seharusnya menjadi basis kemandirian justru berubah menjadi ruang gelap, tempat praktik manipulatif tumbuh subur karena lemahnya pengawasan. Anggaran miliaran rupiah yang masuk setiap tahun, tanpa sistem transparansi digital dan partisipasi publik yang kuat, hanya memperluas celah penyelewengan. Di Labusel, dengan alokasi Rp 59,9 miliar untuk 52 desa pada tahun 2025, risiko korupsi ibarat bara dalam sekam: tak terlihat, tapi membakar dari dalam.

 

Kebiasaan menyebut korupsi di level desa sebagai “kesalahan kecil” adalah bentuk permisivisme yang merusak. Sebab korupsi tidak diukur dari jumlah, tapi dari dampak. Di desa, satu rupiah yang diselewengkan bisa berarti jalan tak jadi dibangun, air bersih tak mengalir, atau anak-anak tetap belajar di ruang kelas yang roboh. Sebagaimana dikatakan Abdullah Hehamahua, “tak ada korupsi kecil, karena setiap korupsi adalah pengkhianatan terhadap rakyat.”

 

Pemerintah pusat sejatinya telah menyediakan berbagai mekanisme pencegahan, mulai dari sistem Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OM-SPAN) hingga instrumen pengawasan oleh Inspektorat Daerah. Namun semua itu akan sia-sia jika aparat penegak hukum di daerah lebih sibuk menunggu viral daripada bergerak cepat. Ketika kebenaran hanya diungkap karena tekanan publik, bukan karena inisiatif moral, maka hukum telah kehilangan ruhnya.

 

Kini, bukan saatnya membela citra lembaga, tapi menyelamatkan kepercayaan publik. Warga desa berhak atas pembangunan yang jujur dan berkeadilan. Dan negara wajib menjamin bahwa uang negara bukan dijaga dengan tembok diam, tapi dengan pagar transparansi. Saat ruang gelap terus dibiarkan, maka yang kita pupuk bukan demokrasi desa, melainkan distopia lokal yang dirancang dari korupsi berjamaah.

 

Penutup

Membongkar dugaan korupsi Dana Desa di Labusel tidak cukup dengan penangkapan sporadis. Diperlukan audit menyeluruh berbasis akuntansi forensik, sebagaimana dikemukakan Prof. Moenaf H. Regar dalam bukunya Peran Akuntansi dalam Korupsi (USU Press, 2022). Ia menegaskan bahwa akuntansi bukan hanya alat pencatatan, tetapi instrumen pembongkar kebohongan sistemik. Dengan pendekatan audit berbasis risiko (risk-based audit), penyimpangan seperti mark-up, SPJ fiktif, dan pengeluaran siluman dapat diidentifikasi dengan presisi ilmiah.

 

Namun, ilmu akuntansi saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan ketegasan hukum. Oleh karena itu, Kejaksaan Negeri Labusel harus mengambil inisiatif hukum progresif dengan membentuk tim khusus pemeriksa Dana Desa lintas kecamatan. Penanganan kasus tidak boleh lagi bergantung pada laporan insidental atau tekanan viralitas. Harus ada pemetaan pola korupsi berbasis data lintas tahun, dan tindak lanjut hukum terhadap aktor—baik di tingkat kepala desa, perangkat, maupun pihak eksternal yang terlibat dalam jejaring anggaran.

 

Transparansi, akuntabilitas, dan integritas bukan sekadar jargon administratif. Ia harus diterjemahkan dalam tindakan: audit terbuka, penyidikan yang profesional, dan keterlibatan aktif publik. Dana desa adalah nyawa pembangunan lokal. Dan jika nyawa itu diracuni oleh korupsi, maka negara tak lagi hadir di pelosok—melainkan sekadar menjadi penonton dari runtuhnya keadilan di tingkat akar.

 

Demikian.

 

Penulis Habiburrahman, Aktivis Rakyat, Mantan Aktivis HMI Cab. Labuhanbatu

______________

 

Daftar Pustaka

Hehamahua, Abdullah. Korupsi dan Hati Nurani. Jakarta: Kompas, 2012.

Romli Atmasasmita. Rekonstruksi Teori Integratif dalam Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2011.

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta: Prenada Media, 2015.

Regar, Moenaf H. Peran Akuntansi dalam Korupsi. Medan: USU Press, 2022. ISBN: 978-623-1234-XX-X.

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Republik Indonesia. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Rekapitulasi Dana Desa Tahun 2015–2025. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, 2025.

Republik Indonesia. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7.

Wikipedia. "Daftar kecamatan dan kelurahan di Kabupaten Labuhanbatu Selatan." Wikipedia Bahasa Indonesia. Diakses 6 Juli 2025. https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kecamatan_dan_kelurahan_di_Kabupaten_Labuhanbatu_Selatan.

Indonesia Corruption Watch (ICW). Laporan Tren Penindakan Korupsi Dana Desa 2015–2023. Jakarta: ICW, 2024.

 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)