Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
(Ketua Forum Penyelamat USU)
Pendahuluan
"Korupsi di dunia pendidikan bukan hanya mencuri uang negara, tapi merampas masa depan bangsa." — Abdullah Hehamahua.
Sungguh ironis, ketika dunia pendidikan yang sejatinya menjadi benteng moral dan sumber intelektualitas, justru dikhianati oleh mereka yang duduk di puncak kekuasaan pendidikan itu sendiri. Dua nama muncul sebagai simbol kegagalan sistemik dan pembusukan struktural: Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; dan Maryanto Amin, Rektor Universitas Sumatera Utara (USU). Keduanya, meski dalam ruang lingkup dan peran berbeda, sama-sama menjadi cerminan bagaimana predator intelektual dan predator anggaran menjelma di institusi pendidikan.
Abdullah Hehamahua, mantan Penasihat KPK, kerap mengingatkan bahwa korupsi di Indonesia tidak bisa dilihat sekadar sebagai pelanggaran hukum. Dalam banyak kesempatan, ia menyatakan:
“Korupsi di negeri ini adalah dosa kolektif, karena dilakukan oleh elite, disaksikan rakyat, dan dibiarkan oleh banyak pihak, termasuk lembaga pendidikan.”
Apa yang terjadi sesungguhnya dunia pendidikan Indonesia sedang disandera predator: elit birokrat berjas mentereng dengan tas Hermes 250 juta penampilan yang parlente bak selebritis di 'semaine de la mode de Paris', tapi bermental 'rente' dan 'garong uang rakyat'. Mereka bukan sekadar gagal mencerdaskan bangsa, tapi aktif memiskinkan akal, mengkerdilkan integritas, dan memperjualbelikan martabat kampus. Dua nama yang kini jadi sorotan publik—Nadiem Makarim (Mendikbudristek) dan Maryanto Amin (Rektor USU)—adalah simbol dari krisis integritas dalam pendidikan tinggi kita.
Kampus sebagai Korporasi: Warisan Nadiem Makarim
Sejak menjabat Mendikbudristek, Nadiem Makarim membawa doktrin korporatisme ke dunia pendidikan. Merdeka Belajar yang semestinya membebaskan justru dikritik menjadi "Merdeka dari Tanggung Jawab". Dengan pendekatan startup-istik, kampus diubah menjadi ruang kompetisi kapitalistik.
Melalui kebijakan Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Kampus Merdeka, orientasi pendidikan menjadi industri gelar. Menurut data Kemdikbudristek (2024), lebih dari 70% perguruan tinggi swasta kini berorientasi profit, bukan pembinaan karakter dan keilmuan. Celakanya, model ini juga menyusup ke kampus negeri.
Alih-alih memperkuat pengawasan, Nadiem justru membuka celah: dugaan telah terjadi pembiaran jual beli jabatan di rektorat, kontrak kerja tanpa akuntabilitas, anggaran tidak transparan hingga pembiayaan riset yang penuh kepentingan.
Skandal Chromebook Rp9,9 Triliun: Bayang-Bayang di Balik Nadiem
Pada Mei 2025, Kejaksaan Agung mengusut dugaan korupsi dalam pengadaan laptop Chromebook senilai Rp9,9 triliun oleh Kemendikbudristek. Proyek ini awalnya dirancang untuk mendukung Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), namun terdapat perubahan spesifikasi dari sistem operasi Windows ke Chromebook, meskipun uji coba sebelumnya menunjukkan ketidaksesuaian karena keterbatasan akses internet di berbagai daerah .
Meskipun beredar informasi bahwa Nadiem Makarim masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) terkait kasus ini, Kejaksaan Agung menepis kabar tersebut. Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa tidak ada pernyataan resmi yang menyatakan Nadiem sebagai DPO, dan penggeledahan yang dilakukan terkait kasus ini bukan di apartemen milik Nadiem, melainkan milik mantan staf khususnya .
USU dan Maryanto Amin: Skandal Anggaran Puluhan Miliar.
Skandal yang mengguncang Universitas Sumatera Utara (USU) dengan terseretnya Rektor Maryanto Amin dalam dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa senilai miliaran rupiah hanyalah satu dari sekian puncak gunung es. Dugaan gratifikasi, nepotisme dalam pengangkatan pejabat kampus, serta intimidasi terhadap dosen kritis mempertegas tesis: USU telah dikuasai elite predatoris.
Kampus yang dulu melahirkan tokoh-tokoh hukum seperti Yahya Harahap Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Umum Bidang Hukum Pidana Umum dan seterusnya, kini menjadi contoh buram dari deviasi nilai akademik. Menurut hasil audit BPK (2023), terdapat penyimpangan anggaran sebesar Rp 23,4 miliar di lingkungan kampus USU, sebagian besar berkaitan dengan proyek digitalisasi dan pengadaan peralatan.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyatakan tengah mendalami laporan masyarakat atas beberapa universitas negeri besar, termasuk USU, yang diduga mengatur tender dengan modus "vendor binaan".
Korupsi Akademik: Teori dan Praktik
Dalam perspektif Pierre Bourdieu, kampus seharusnya menjadi "arena produksi simbolik"—ruang di mana ilmu dan integritas disemai. Namun dalam realitas Indonesia, kampus justru menjadi arena akumulasi modal sosial dan ekonomi, tempat elit bertransaksi kekuasaan.
Istilah “korupsi akademik” mencakup plagiat, jual beli nilai, rekayasa jabatan guru besar, hingga gratifikasi dalam penerimaan mahasiswa. Menurut studi Transparency International (2022), 39% responden di Indonesia percaya bahwa kampus adalah salah satu institusi yang rentan korupsi—angka yang melampaui lembaga keagamaan dan militer.
Dalam teori Michel Foucault, kekuasaan yang tidak diawasi akan membentuk disiplin represif. Ini yang terjadi: kampus kini tak lagi menjadi rumah kebebasan akademik, melainkan penjara berpagar feodalisme dan kapitalisme.
Menggugat Negara dan Masa Depan Pendidikan
Predatorisme dalam pendidikan bukan sekadar persoalan individu, tapi sistemik. Negara yang membiarkan Nadiem Makarim mengubah kampus jadi korporasi, dan membiarkan rektor seperti Maryanto Amin mengangkangi nilai kejujuran, sedang membuka jalan kehancuran bangsa.
Tanpa revolusi etika di sektor pendidikan, kita hanya akan melahirkan generasi berilmu tapi tanpa nurani. Bangsa yang cerdas secara kognitif, namun korup secara moral.
Maka pertanyaannya: apakah Nadiem dan Maryanto hanya simbol, atau memang representasi dari predatorisme sistemik?
Nadiem dan Mury: “Podoae” di Dunia Pendidikan
Pepatah Jawa mengatakan, “Podoae”, artinya: sama saja. Dalam jagat pendidikan nasional, ungkapan ini menggambarkan betapa birokrasi pusat dan daerah sama-sama terjerembab dalam kubangan pengkhianatan moral. Menteri Nadiem Makarim di pusat, dan Rektor USU Maryanto Amin di daerah, kini menjadi simbol kegagalan kepemimpinan akademik. Keduanya menyuguhkan contoh buruk bagaimana kekuasaan di sektor pendidikan tidak dimanfaatkan untuk mencerdaskan, melainkan untuk memperkaya diri dan kroninya.
Kisah skandal pengadaan laptop Rp 9,9 triliun yang menyeret Kementerian Pendidikan, meski dibantah jaksa soal keterlibatan langsung Nadiem, tetap menyisakan luka kolektif di benak publik. Digitalisasi pendidikan semestinya menjembatani ketertinggalan sekolah negeri di pelosok, bukan malah memperkaya vendor-vendor rakus yang diduga bermain di balik meja. Di Sumatera Utara, kampus besar seperti USU justru memproduksi laporan keuangan koruptif senilai Rp 28 miliar—bukan inovasi keilmuan.
Apa yang membedakan Nadiem dan Maryanto? Tidak banyak. Satu bertopeng jargon “Merdeka Belajar”, satunya lagi menyandang gelar akademik tinggi. Namun ketika keduanya tidak menunaikan tanggung jawab moral sebagai pengelola pendidikan, maka perbedaan itu hanya sebatas kosmetik birokrasi. Pendidikan menjadi panggung manipulasi anggaran dan citra, bukan ladang pengabdian intelektual.
Kondisi ini makin mencemaskan jika dibiarkan terus berulang. Jika predator birokrasi pendidikan tak diberi sanksi tegas, maka setiap anak muda yang masuk kampus bukan lagi bermimpi jadi cendekiawan, melainkan belajar menjadi bagian dari sistem pemangsa itu sendiri. Kampus tidak lagi menjadi tempat menimba ilmu dan menanam nilai, tapi jadi tempat menyusun strategi kekuasaan dan korupsi yang lebih lihai.
Pendidikan yang kehilangan integritas adalah awal dari kehancuran sebuah bangsa. Ketika Nadiem dan Muryanto—panggilan populer Mary—berkeliaran tanpa koreksi keras dari negara dan masyarakat sipil, maka jangan salahkan generasi mendatang jika mereka tumbuh dalam sinisme, apatisme, dan hasrat menjadi predator baru. Karena pada akhirnya, jika tidak ada yang membersihkan dunia pendidikan dari perampok berjubah akademisi, maka pepatah 'podoae' bukan lagi sindiran, tapi vonis.
Penutup
Sudah saatnya kita berhenti memuja gelar, jabatan, dan narasi besar di dunia pendidikan jika di baliknya tersembunyi kerakusan yang menggerogoti masa depan bangsa. Nadiem dan Maryanto bukan sekadar individu, mereka adalah representasi kegagalan sistemik: ketika kekuasaan dijalankan tanpa nilai, dan ketika intelektualitas tak lagi berpijak pada moralitas.
Dalam pendidikan, kejujuran adalah kurikulum paling fundamental. Bila para pemimpin institusinya sendiri tak mampu menjunjungnya, maka yang lahir dari sistem itu hanyalah generasi yang cerdas menipu, bukan cerdas membangun. Kita butuh keberanian untuk menyatakan: korupsi di dunia pendidikan bukan saja kejahatan hukum, tapi pengkhianatan terhadap nasib anak bangsa.
Lebih tragis lagi, "sesungguhnya mereka telah menari-nari di atas penderitaan rakyat". Di saat anak-anak belajar dengan keterbatasan pembiayaan, PHK yang menghimpit orang tua mahasiswa/i, dan kemiskinan yang menerpa rakyat Indonesia diatas Zimbabwe berdasarkan laporan bank dunia, serta para elite birokrasi pendidikan justru sibuk menyusun laporan keuangan fiktif dan proyek pengadaan penuh manipulasi dan menggerogoti uang rakyat.
Jika kita diam, maka kita ikut mewariskan sistem rusak kepada generasi berikutnya. Maka, sebelum kampus benar-benar menjadi "tempat melatih predator", mari kita lawan mereka yang menista pendidikan dengan kuasa dan kepura-puraan. Karena masa depan bangsa tak akan pernah dibangun di atas bangkai nilai yang dikorbankan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi teladan.
Demikian
Penulis Advokat dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
_____________
Daftar Pustaka
1. Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education.
2. Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison.
3. Abdullah Hehamahua. (2013). Korupsi dan Solusi Spiritualitas Bangsa. Jakarta: Rumah Hikmah.
4. Kemdikbudristek. (2024). Laporan Evaluasi Program Merdeka Belajar.
5. BPK RI. (2023). Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Perguruan Tinggi Negeri.
6. Transparency International. (2022). Global Corruption Barometer: Asia 2022 – Indonesia Report.
7. Detik.com. (2025). "Kejagung Tepis Info Liar Nadiem Makarim Masuk DPO Kasus Laptop Rp 9,9 T".
8. Poros Jakarta. (2025). "USU dan 10 Tahun Korupsi 'Dimaafkan': Laporan BPK Ungkap Penyimpangan Rp28 Miliar".
8. Tempo, https://www.tempo.co/ekonomi/10-negara-dengan-persentase-penduduk-miskin-terbanyak-versi-bank-dunia-1362202
Posting Komentar
0Komentar