Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)
Pendahuluan
Ketika PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI memutuskan untuk menyalurkan kredit sebesar Rp 228 miliar kepada unit kebun sawit Universitas Sumatera Utara (USU) pada 21 Agustus 2011, publik mungkin belum banyak tahu bahwa kebun itu telah menderita kerugian sejak tahun 2002. Artinya, suntikan dana jumbo itu justru dilakukan di tengah fase kegagalan usaha selama hampir satu dekade sebelumnya. Ini bukan kesalahan teknis, tapi blunder manajerial yang secara langsung melanggar prinsip kehati-hatian perbankan negara dan logika investasi sehat.
Dalam teori manajemen risiko perbankan, prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Condition) menjadi standar utama dalam menilai kelayakan kredit. Jika mengacu pada indikator ini, kebun sawit USU di Desa Tabuyung sama sekali tidak layak menerima pinjaman. Tidak ada kapasitas usaha yang terbukti menguntungkan, kondisi keuangan mencatatkan tren defisit selama hampir 10 tahun sebelum pencairan kredit, dan karakter pengelolaan yang tidak akuntabel. Maka, pertanyaan besarnya adalah: mengapa dan atas dasar apa BNI tetap menyetujui pinjaman ini?
Kasus ini patut dianalisis dari pendekatan teori agency problem, di mana pihak pengelola BNI atau elite kampus bertindak bukan untuk kepentingan institusi, melainkan untuk kepentingan kelompok atau individu tertentu. Ini juga menunjukkan gejala moral hazard akut dalam sistem keuangan negara, di mana pejabat pengelola dana publik merasa aman mengambil risiko tinggi karena tidak akan menanggung kerugian secara pribadi. Jika tindakan seperti ini dibiarkan, kerusakan sistemik terhadap kepercayaan publik pada BUMN dan institusi pendidikan akan semakin dalam.
Data kerugian kebun sawit USU bukanlah informasi rahasia. Laporan-laporan internal maupun eksternal telah menyebutkan secara jelas bagaimana unit ini terus mencatatkan defisit sejak 2002. Dengan latar belakang ini, justru pemberian pinjaman sebesar itu harus dianggap sebagai indikasi awal adanya fraudulent lending—yakni pemberian kredit yang dilakukan secara tidak wajar, sarat manipulasi, dan berpotensi melibatkan kolusi antara pejabat bank dan pengelola usaha.
Secara hukum, tindakan ini dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal mengenai penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara. Potensi pidana bukan hanya melekat pada oknum BNI, tetapi juga pada pihak USU yang mengajukan kredit dengan latar belakang usaha yang telah diketahui rugi. Di sini, terdapat kemungkinan pemufakatan jahat yang harus diusut oleh KPK, Kejaksaan Agung, maupun BPK.
Lebih dari sekadar kerugian finansial, skandal ini menunjukkan bahwa ketika institusi pendidikan tinggi negeri dikomersialisasi tanpa kontrol, dan perbankan negara disusupi kepentingan kekuasaan, maka persekongkolan elite akan menjadi pintu masuk kebangkrutan moral negara. Kini saatnya publik menuntut audit menyeluruh, transparansi proses persetujuan kredit, dan pertanggungjawaban pidana dari semua pihak yang terlibat.
Kredit Berisiko Tinggi: Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian Perbankan
Pemberian kredit sebesar Rp 228 miliar oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk kepada kebun sawit Universitas Sumatera Utara (USU) di Tabuyung bukan hanya mencederai nalar publik, tetapi secara terang-terangan melanggar prinsip fundamental dalam praktik perbankan: prinsip kehati-hatian (prudential principle).
Salah satu asas utama dalam penyaluran kredit perbankan adalah know your customer (KYC) dan know your business (KYB), yang menjadi bagian dari uji kelayakan kredit (creditworthiness). Jika sebuah entitas usaha telah menunjukkan performa merugi selama lebih dari satu dekade—dari 2012 hingga sekarang—maka secara teknis, entitas tersebut tidak bankable. Memberi kredit dalam situasi ini sama saja dengan menanam modal di tanah retak.
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 42/POJK.03/2017 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, jelas disebutkan bahwa bank wajib menilai kualitas debitur berdasarkan prospek usaha, kinerja keuangan, dan kemampuan membayar. Maka, pertanyaannya: apakah prospek kebun sawit USU yang terus merugi ini pernah dikaji secara objektif oleh manajemen risiko BNI?
Moral Hazard dan Ketidakadilan Struktural
Pemberian kredit kepada pihak yang tak layak kredit bukan hanya tindakan sembrono, tetapi juga menciptakan moral hazard. Sementara ribuan UMKM, koperasi petani, dan pelaku agribisnis rakyat kesulitan mendapat akses kredit karena dianggap “berisiko tinggi”, justru entitas dengan rekam jejak gagal seperti kebun sawit USU yang memperoleh kepercayaan perbankan. Ini bentuk ketimpangan struktural yang melecehkan prinsip keadilan finansial.
Apakah karena USU adalah institusi negara lantas diberi keistimewaan? Lantas di mana prinsip equal treatment dalam kebijakan kredit nasional? Keberpihakan yang tidak adil ini membuka ruang politisasi perbankan dan potensi konflik kepentingan antara elite kampus dan elite perbankan.
Skandal yang Layak Diaudit dan Dimintai Pertanggungjawaban Pidananya
Penyaluran kredit sebesar Rp 228 Miliar kepada kebun sawit USU Di Tabuyung Mandailing Natal yang secara terang-terangan mencatatkan kerugian sejak 2012 sejatinya bukan hanya soal kelalaian administratif, tetapi mengandung potensi pelanggaran pidana. Jika proses persetujuan kredit dilakukan tanpa uji kelayakan yang memadai, dengan pembiaran terhadap rekam jejak kerugian selama lebih dari satu dekade, maka patut diduga terjadi abuse of power dan moral hazard tingkat tinggi di tubuh BNI.
Audit investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pemanggilan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya segera dilakukan. Apakah terdapat permainan data laporan keuangan? Apakah terdapat tekanan atau intervensi politik dari pihak luar terhadap BNI? Apakah unsur pidana seperti penyalahgunaan wewenang, pemufakatan jahat, atau suap tersembunyi menjadi bagian dari keputusan ini?
Prinsip hukum pidana ekonomi modern, seperti diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jelas menyasar pada perbuatan yang merugikan keuangan negara, termasuk dalam bentuk penyalahgunaan kebijakan kredit di BUMN. Maka pihak-pihak di BNI maupun USU yang terlibat dalam persetujuan dan pencairan kredit ini harus bersiap dimintai pertanggungjawaban pidananya.
Kebijakan BNI ini layak menjadi perhatian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika ditemukan adanya kolusi, konflik kepentingan, atau tekanan politis dalam proses penyaluran kredit, maka tindakan ini bukan sekadar kesalahan manajerial, tetapi masuk ranah tindak pidana korupsi.
Penutup
Kebijakan perbankan publik harus dijaga dengan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas. Memberi kredit jumbo kepada usaha gagal selama puluhan tahun bukan saja tidak masuk akal sehat, tetapi juga potensi skandal keuangan yang bisa menodai integritas lembaga pendidikan dan perbankan negara. Sudah saatnya publik bersuara.
Demikian
Penulis Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Kordinator Serikat Alumni USU
__________
Daftar Pustaka
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2020). Pedoman Penilaian Kualitas Kredit dan Manajemen Risiko. Jakarta: OJK.
4. Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305–360.
5. Rose, P. S., & Hudgins, S. C. (2013). Bank Management and Financial Services. McGraw-Hill Education.
6. Kompas.com. (2024). Laporan Keuangan dan Unit Usaha Pendidikan yang Bermasalah. https://www.kompas.com
7. Tirto.id. (2023). Jejak Masalah Unit Perkebunan Sawit Kampus Negeri.
8. Tempo.co. (2023). BNI dan Kredit Bermasalah: Pemeriksaan Belum Menyentuh Akar.
9. Bisnis.com. (2022). Kinerja Perbankan dan Masalah Moral Hazard dalam Kredit Bermasalah.
10. Laporan Keuangan dan Audit Internal Universitas Sumatera Utara (USU), 2011–2023. (tidak dipublikasikan secara terbuka).
11. BPK RI. (2023). Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
12. World Bank. (2019). Strengthening Bank Risk Governance in Indonesia. Washington, DC.
Posting Komentar
0Komentar