"Lahan Tanah Sekitar 40 Ha Peruntukan Kantor Gubernur Sumut di Jalan Willem Iskandar Medan Telah Sebagian Dijadikan Properti"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Pendahuluan

Pengelolaan aset daerah merupakan ujung tombak tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Namun, realitas yang terjadi di Sumatera Utara khususnya lahan seluas kurang lebih 40 hektare di Jalan Willem Iskandar yang sejak awal diperuntukkan sebagai kantor Gubernur Sumut, menunjukkan gambaran yang jauh dari ideal. Alih fungsi lahan publik menjadi properti komersial bukan hanya mencederai peraturan perundang-undangan, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Jika fenomena ini dibiarkan, maka bukan hanya aset strategis yang hilang, tetapi juga legitimasi pemerintah sebagai pelayan rakyat yang bertanggung jawab.


Latar Belakang Sejarah dan Realitas Saat Ini

Erry Nuradi, mantan pejabat tinggi di Sumut, menjelaskan bahwa areal Sumut Sport Center yang kini dikenal luas sebenarnya awalnya diperuntukkan sebagai kantor Gubernur Sumut pada masa pemerintahan Kaharuddin Nasution. Namun, pada tahun 1988 rencana tersebut batal direalisasikan. Akibatnya, lahan seluas 40 hektar yang sangat strategis itu tidak dimanfaatkan secara optimal dan justru digunakan secara sporadis oleh sejumlah kantor dan instansi seperti Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Tarukim) serta Dinas Pemuda dan Olahraga Sumut (Disporasu). Kondisi ini menunjukkan minimnya perencanaan yang berkelanjutan dan lemahnya pengelolaan aset publik di tingkat provinsi.


Penolakan BPRPI Atas Pemberian Lahan 40 Ha Peruntukan Kantor Gubernur Sumut

Penolakan Badan Perjuangan Rakyat Penungguh Indonesia (BPRPI) pada tahun 1988 terhadap rencana pemberian lahan 40 hektar di Jalan Willem Iskandar sebagai kantor Gubernur Sumatera Utara bukan sekadar formalitas birokrasi. Afnawi Muh, yang akrab dipanggil Abah Nawi dan menjabat sebagai Ketua Umum BPRPI kala itu, secara tegas menyatakan penolakannya dengan alasan yang sangat mendasar: lahan tersebut suatu saat berpotensi dialihfungsikan untuk kepentingan komersial.


Kekhawatiran Abah Mawi ini berlandaskan pengalaman dan pengamatan riil atas praktik pengelolaan aset publik yang cenderung dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu demi keuntungan ekonomi sempit, tanpa memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Dalam perspektif teori kritis, khususnya teori tata kelola publik (public governance), tindakan pengalihan fungsi aset publik menjadi milik privat atau komersial tanpa mekanisme kontrol yang ketat menimbulkan dilema keadilan sosial dan tata kelola yang buruk.


Penolakan ini juga mencerminkan sikap antikorupsi yang berakar kuat dalam kesadaran kolektif masyarakat sipil. Abah Mawi dan BPRPI memahami bahwa aset strategis sebesar 40 hektar di lokasi vital harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan sesuai dengan peruntukannya, bukan menjadi ladang bisnis segelintir pihak yang merugikan negara dan publik.


Sayangnya, prediksi dan kekhawatiran ini terbukti benar. Di masa mendatang, sebagian lahan tersebut memang dialihfungsikan untuk kepentingan properti komersial, mengabaikan fungsi awal yang telah direncanakan sebagai kantor pemerintahan. Fenomena ini menggambarkan lemahnya sistem pengawasan, ketidaktegasan aparat, dan ketidakhadiran prinsip good governance yang harusnya melindungi kepentingan publik dari eksploitasi privat.


Alih Fungsi Lahan dan Potensi Korupsi

Guru Besar Hukum Agraria USU, Prof. Dr. A. P. Parlindungan Lubis, SH, menegaskan mengenai pengalihan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang semula diperuntukkan bagi kantor Gubernur Sumatera Utara menjadi properti pengembang: 

> "Pengalihan HPL yang semula diperuntukkan bagi kepentingan publik menjadi kepentingan komersial tanpa melalui prosedur hukum yang sah merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar hukum agraria." 


Pernyataan ini menekankan bahwa HPL adalah hak yang diberikan kepada pemerintah atau badan usaha negara untuk mengelola tanah negara dalam rangka kepentingan publik.  Pengalihan fungsi HPL menjadi lahan komersial atau properti privat tanpa prosedur dan izin yang jelas melanggar prinsip dasar pengelolaan aset negara yang harus bersifat transparan dan akuntabel. 


Lebih lanjut mantan Rektor USU, Prof. Parlindungan Lubis menegaskan bahwa praktik semacam ini tidak hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap integritas pemerintah daerah.  Ia menyoroti lemahnya pengawasan dan ketidaktegasan aparat dalam menegakkan peraturan perundang-undangan, khususnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 


Dalam kerangka teori tata kelola pemerintahan (governance), tindakan ini mengindikasikan kegagalan sistem dalam menjamin prinsip good governance yang mengedepankan transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas.  Hal ini berimplikasi pada ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin melebar, serta menimbulkan konflik agraria yang merugikan masyarakat luas. 


Pandangan Prof. Parlindungan Lubis ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah dan lembaga pengawas untuk segera melakukan audit menyeluruh atas pengelolaan aset lahan tersebut serta mengambil langkah hukum yang tegas untuk mengembalikan fungsi asli lahan tersebut demi kepentingan publik. 


Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut dan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sumut tahun 2019-2039, kawasan tersebut secara jelas ditetapkan sebagai zona perkantoran pemerintahan. Pengalihan fungsi lahan tanpa revisi RTRW yang sah adalah pelanggaran hukum administrasi tata ruang sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.


Menurut data dari Dinas Tata Ruang Sumut, sampai akhir 2023, terdapat indikasi penguasaan lahan oleh pihak swasta untuk pembangunan apartemen dan perumahan elit di sekitar lokasi yang semestinya menjadi kantor pemerintahan. Hal ini mengindikasikan lemahnya pengawasan dan integritas pejabat publik dalam menjaga aset daerah.


Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menempatkan sektor pertanahan dan tata ruang sebagai titik rawan korupsi di Indonesia. Praktik pengalihan fungsi lahan tanpa prosedur resmi berpotensi menjadi modus korupsi dan kolusi.


Krisis Tata Kelola dan Etika Pemerintahan

Negara, sebagai pemegang amanah, wajib menjalankan public trust doctrine dalam pengelolaan aset publik. Namun, alih fungsi tanah ini menimbulkan kerugian nyata bagi masyarakat yang berharap adanya layanan pemerintahan yang representatif dan modern.


Selain itu, efektivitas pengelolaan aset daerah harus mengacu pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Namun dalam kasus ini, indikasi penutupan informasi oleh aparat pemerintah daerah dan kurangnya partisipasi masyarakat mencerminkan kegagalan demokrasi partisipatif.


Pertanggungjawaban Hukum Pengalihan Fungsian Peruntukan Lahan Kantor Gubernur Dari Aset Publik Menjadi Pemilikan Privat


Pengalihan fungsi lahan dari aset publik menjadi milik privat tidak hanya menimbulkan persoalan moral, tetapi juga implikasi hukum yang serius. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), lahan yang telah ditetapkan sebagai aset publik memiliki perlindungan hukum yang ketat agar tidak dapat dialihkan tanpa prosedur yang benar dan izin yang sah.


Dalam konteks lahan seluas 40 hektare di Jalan Willem Iskandar, jika pengalihan fungsi ini dilakukan tanpa persetujuan DPRD dan tanpa melalui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), maka pengalihan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum yang merugikan negara dan masyarakat. Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah mengatur bahwa pengalihan aset milik daerah harus mendapat persetujuan dan dilakukan secara transparan serta akuntabel.


Pengabaian ketentuan ini membuka ruang bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Indikasi kuat terkait hal tersebut harus menjadi perhatian aparat penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Tinggi Sumut, untuk melakukan penyelidikan dan audit secara menyeluruh.


Pertanggungjawaban hukum tidak hanya berhenti pada aspek administratif, namun harus meluas ke ranah pidana apabila ditemukan unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kegagalan pemerintah daerah dalam melindungi aset publik dan menjalankan fungsi fiduciary duty-nya terhadap rakyat adalah pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dan keadilan sosial yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.


Akhirnya, tanpa adanya tindakan hukum yang tegas dan transparan, pengalihan lahan ini akan semakin memperparah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta melemahkan supremasi hukum di Indonesia.


Penutup 

Alih fungsi lahan sekitar 40 hektare yang diperuntukkan sebagai Kantor Gubernur Sumut menjadi properti komersial adalah bentuk kegagalan tata kelola publik yang serius. Pemerintah Provinsi Sumut harus segera:


1. Melakukan audit terbuka atas status lahan tersebut.

2. Memastikan revisi RTRW jika ada perubahan fungsi lahan.

3. Menindak tegas pelanggaran hukum terkait aset publik.

4. Mengedepankan transparansi dan partisipasi publik dalam pengelolaan aset daerah.


Hanya dengan langkah tegas dan akuntabel, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan aset daerah dapat kembali berfungsi demi kesejahteraan masyarakat Sumatera Utara.


Demikian 


Penulis Aktivis Rakyat 

---


Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. (2022). Statistik Daerah Sumatera Utara 2022. Medan: BPS Provinsi Sumut.


Indonesia Corruption Watch (ICW). (2023). Laporan Tahunan Korupsi Sektor Pertanahan dan Tata Ruang. Jakarta: ICW.


Kettunen, P., & Kallio, J. (2020). Transparency and Accountability in Public Administration. Public Management Review, 22(8), 1201-1219.


Mattei, U. (1997). The Capitalization of Land: A Comparative Law and Economics Approach to Land Use and Regulation. Journal of Law and Economics, 40(1), 81-108.


Lubis, A. P. Parlindungan. (2007). Hukum Agraria Nasional: Politik, Hukum, dan Hak Atas Tanah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.


UUPA No. 5 Tahun 1960


Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 Ayat (3).


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Landasan hukum untuk penindakan korupsi terkait pengelolaan aset publik.


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.


Kurniawan, A. (2018). Tata Kelola Aset Publik dan Implementasi Prinsip Akuntabilitas. Jurnal Administrasi Publik, 5(2), 145-159.


Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. (2017). Gubsu Erry Resmikan Gedung Olahraga dan Peletakan Batu Pertama Gedung MTQ Sumut. Diakses dari: https://sumutprov.go.id/artikel/artikel/gubsu-erry-resmikan-gedung-olahraga-dan-peletakan-batu-pertama-gedung-mtq-sumut


Waspada. (1988). Penolakan BPRPI terhadap Rencana Kantor Gubernur Sumut di Lahan Eks Tanah Ulayat. Arsip Harian Waspada.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)