BENCANA AKIBAT RUSAKNYA EKOSISTEM BATANG TORU (HARANGAN TAPANULI)

Media Barak Time.com
By -
0

 



 

Bencana banjir bandang dan tanah longsor tengah melanda Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Mandailing Natal, dan Kota Sibolga, pada Selasa, 25 November 2025. Bencana di wilayah ini kerap terjadi hampir setiap tahun khususnya saat musim hujan tiba. Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut, Jaka Kelana Damanik menerangkan bahwa menurut dokumen kajian risiko bencana nasional provinsi Sumatera Utara tahun 2022-2026, wilayah yang terkena banjir bandang dan tanah longsor tersebut masuk kedalam kategori dengan risiko tinggi untuk bencana banjir bandang dan tanah longsor. Potensi bencana banjir bandang dan tanah longsor dapat terjadi di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Hanya Kabupaten Samosir yang masuk kedalam kategori kelas risiko rendah untuk bencana tersebut sedangkan sebagian besar memiliki Kelas Risiko Tinggi. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Provinsi Sumatra Utara memiliki kelas bahaya Tinggi dan kelas kerentanan Tinggi untuk bencana banjir bandang dan tanah longsor. Hal ini seharusnya menjadi acuan penting bagi pembuat kebijakan di seluruh wilayah Kabupaten/Kota, Provinsi Sumatera Utara untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat meminimalisir dampak dari bencana dan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap lingkungan.


Banjir bandang dan tanah longsor sering dinarasikan sebagai akibat dari hujan yang datang datang dari langit dan berlangsung secara terus menerus seolah-olah bencana yang datang murni dari alam tanpa campur tangan manusia. Padahal saat banjir tiba terlihat banyak kayu-kayu terbawa air dan jika melihat dari teknologi misalnya citra satelit, dapat dilihat kondisi hutan yang gundul di sekitar lokasi bencana. Hal ini menunjukan bahwa campur tangan manusia turut menyumbang terjadinya bencana. Jaka menilai campur tangan tersebut dapat terjadi karena adanya keputusan politik maupun kebijakan yang dikeluarkan atas nama pembangunan dan ekonomi. Dalam kondisi inilah bencana tidak hanya dikaitkan dengan keadaan alam secara murni, akan tetapi menjelma menjadi bencana ekologis. Kegagalan negara dalam mengurus lingkungan menyebabkan krisis ekologis yang berujung pada bencana ekologis, artinya bahwa negara dalam hal ini pemerintah atau pengambil kebijakan berperan besar atas bencana ekologis yang terjadi saat ini.


Walhi Sumut selama ini terus menyuarakan agar pemerintah memberi perhatian penuh atas kondisi ekosistem batang toru (harangan tapanuli) sebagai hutan tropis terakhir yang dimiliki Sumatera Utara yang wilayahnya meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Utara. Ekosistem ini harus dijaga, karena selain kaya flora dan fauna khususnya orangutan tapanuli yang paling langkah di dunia, kerusakan ekosistem ini tentu akan berdampak pada daerah sekitarnya termasuk bencana banjir bandang dan tanah longsor.


Walhi Sumut berpendapat bahwa bencana yang terjadi saat ini merupakan bencana ekologis mengingat adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan di ekosistem batang toru (harangan tapanuli) yang dinilai memperparah rusaknya hutan di wilayah tersebut, apalagi dari video-video yang beredar, dapat dilihat secara jelas bahwasannya banjir yang terjadi membawa material kayu-kayu yang tidak sedikit yang menunjukan pula adanya aktivitas penebangan hutan di wilayah sekitar bencana yang juga merupakan bagian dari ekosistem batang toru (harangan tapanuli). Laju deforestasi di wilayah ini sulit dibendung karena perusahaan-perusahaan yang beraktivitas di ekosistem batang toru (harangan tapanuli) melakukan penebangan pohon dengan berlindung dibalik izin yang dikeluarkan pemerintah.


Salah satu perusahaan yang selama ini dinilai menjadi penyumbang terbesar kerusakan hutan di ekosistem batang toru (harangan tapanuli) yakni perusahaan tambang emas martabe, PT Agincourt Resources. Tambang Emas Martabe melakukan kegiatan operasional berdasarkan Kontrak Karya (KK) selama 30 tahun dengan Pemerintah Indonesia. Awalnya pada tahun 1997, wilayah pertambangan mencakup 6.560 km², kemudian area konsesi mengalami perkembangan menjadi 130.252 hektar (1.303 km²), meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Mandailing Natal.


Berdasarkan dokumen AMDALnya, perusahaan ini menghasilkan 6 juta ton emas pertahun. Tak puas dengan hasil emas yang ada saat ini, PT AR berencana akan meningkatkan jumlah produksi emas dari 6 jutan ton/tahun menjadi 7 juta ton/tahun dengan dalih perlu membuat fasilitas tailing, utilitas pendukung, dan beberapa perubahan kegiatan operasional PT AR. Hal ini tercantum dalam dokumen addendum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT AR tahun 2020. Dalam hal ini, PT AR membutuhkan pembukaan lahan seluas 583 Hektar untuk tailing management facilities (TMF) dan tercantum bahwasannya dalam membuka lahan tersebut akan dilakukan penebangan pohon sebanyak 185.884 pohon.


Secara tegas dokumen AMDAL juga menerangkan dampak hipotetik terpilih atas rencana perluasan lahan tersebut yakni perubahan pola aliran sungai, peningkatan limpasan air permukaan (run off), penurunan kualitas air permukaan, penurunan kualitas air tanah, hilangnya tutupan vegetasi dan perubahan struktur komposisi spesies flora terrestrial, hilangnya habitat dan perubahan habitat fauna. Hasil investigasi terbaru Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara, PT AR sedang melakukan proyek tersebut dan telah melakukan pembukaan lahan sekitar 120 hektar.


Negara dalam hal ini pemerintah harus bertindak nyata untuk mencegah perusahaan-perusahaan seperti PT AR melakukan perluasan wilayah eksploitasi dengan mengorbankan hutan di ekosistem batang toru (harangan tapanuli). Bencana akan sulit dihindari apabila para pelaku perusakan hutan masih tetap melakukan aktivitasnya dengan berlindung di balik izin yang diterbitkan oleh pemerintah.


Rilis resmi WALHI Sumut terkait banjir bandang dan tanah longsor, 3 Desember 2025

Tags:

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)