Menjelang Hari HAM, Hari Ironi: Tapol Masih Mendekam di Rezim yang Mengklaim Demokratis"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh : Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap,SH


Dalam lanskap politik yang mengaku rezim demokratis, ironi justru berpendar paling terang pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab di saat negara memamerkan retorika penegakan HAM, ratusan warga masih menjadi tahanan politik—sebuah kenyataan yang menghadirkan gema panjang sejarah kelam penahanan massal pasca G30S 1965. Data resmi ABRI tahun 1995 mencatat 1.887 tahanan kategori A, dengan 1.009 yang diadili dan 878 lainnya sekadar dipindahkan ke kategori B tanpa proses hukum, bahkan dikirim kerja paksa ke Pulau Buru. Dari 600.000 orang yang ditangkap sepanjang 1965–1966, hanya 800 yang diadili menurut Amnesty International. Negara, pada masa itu, sibuk menahan tanpa sibuk mengadili.


Ironi itu kini muncul kembali. Dalam rentang Agustus–September 2025, ketika unjuk rasa berubah jadi kerusuhan, Polri menciduk 6.719 warga—angka terbesar penangkapan politik sejak tumbangnya Orde Baru. Pemerintah kemudian membebaskan 5.858 orang, menyisakan 959 tersangka, termasuk 295 anak. Angka ini melampaui jumlah kasus G30S yang diadili negara pada 1966. Menteri Koordinator Hukum, HAM, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, memastikan tak ada satupun yang disangka makar atau terorisme. Namun penegasan itu tidak mengurangi fakta bahwa hampir seribu orang kini terjerat menjadi tapol baru, sekalipun konteks politiknya berbeda: pada era Soeharto penahanan dilandaskan ideologi, sementara pada era Prabowo mayoritas tapol diciduk dengan tuduhan penghasutan dan kerusuhan yang aktor intelektualnya hingga kini masih remang-remang.


Di tengah kerancuan itu, enam lembaga negara—Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, LPSK, KND, dan Ombudsman RI—membentuk Tim Independen Pencari Fakta. Pembentukan tim ini mencerminkan pengakuan negara bahwa ada dugaan pelanggaran HAM serius: penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, hingga perlakuan tidak manusiawi. Semua ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, KUHAP yang menjamin prinsip due process of law, serta Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 5/1998. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi juga berulang kali menegaskan bahwa negara tidak boleh menggunakan alasan keamanan publik untuk merampas kebebasan warga tanpa dasar hukum yang ketat, proporsional, dan dapat diuji.


Masalahnya, penahanan massal Agustus–September 2025 justru berlangsung dalam logika “tangkap dulu—buktikan nanti,” sebuah pola yang dalam hukum HAM internasional dikategorikan sebagai arbitrary detention. Padahal ICCPR—yang juga telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005—secara tegas melarang penahanan sewenang-wenang dan mewajibkan negara membuktikan urgensi, legalitas, serta akuntabilitas setiap tindakan pembatasan kebebasan. Ketika mekanisme peradilan tidak berjalan cepat, transparan, dan dapat diuji publik, maka negara bukan sedang melindungi ketertiban, melainkan sedang memproduksi ketakutan.


Pertanyaan paling mendasar kini bergema: bagaimana mungkin sebuah rezim yang mengklaim demokratis justru melahirkan jumlah tahanan politik terbesar pasca Orde Baru? Demokrasi tidak hanya diukur dari pemilu lima tahunan, tetapi dari caranya memperlakukan warganya yang berbeda pendapat, marah, atau bahkan tersesat dalam pusaran provokasi. Negara seharusnya menahan diri, bukan warganya; lebih sibuk mencari dalang kerusuhan, bukan sibuk memperbanyak tapol. Sebab tanpa akuntabilitas, demokrasi hanya akan menjadi etalase kosong yang tidak mampu menjawab luka-luka kemanusiaan yang ditinggalkannya.


Pada Hari HAM ini, publik tidak meminta pidato yang berapi-api, namun yang diminta adalah kepastian hukum, keadilan, dan keberanian negara untuk melihat cermin sejarah: bahwa bangsa ini pernah gagal melindungi warganya dari penahanan sewenang-wenang. Dan hari ini, sejarah itu tampaknya belum selesai.


Demikian.


Penulis  Merupakan Praktisi Hukum, Mantan Demonstran Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)