Forum Penyelamat USU (FP-USU) — Polemik pemilihan rektor Universitas Sumatera Utara (USU) kembali memanas. Surat pengaduan yang dilayangkan Prof. Mohammad Basyuni justru menimbulkan keheranan publik. Alih-alih tampil sebagai akademisi negarawan, surat tersebut mencerminkan kontradiksi sikap, bahkan memperlihatkan hilangnya budaya malu seorang guru besar.
Publik masih mengingat jelas, Prof. Basyuni sendiri tertangkap kamera memotret surat suara dalam ajang pemilihan rektor. Fakta visual itu berbicara lantang: ia melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) yang menjadi pilar demokrasi kampus. Tuduhannya bahwa dirinya korban pelanggaran privasi menjadi terbalik dari kenyataan.
Memotret surat suara bukan pelanggaran sepele. Tindakan ini menabrak prinsip kerahasiaan pemilih dan membuka ruang intervensi terhadap integritas pemilihan. Bagaimana mungkin seorang calon rektor, yang mestinya menjadi simbol kejujuran dan moral, justru memberi teladan buruk dengan merusak sendi dasar demokrasi?
Lebih jauh, tudingan Basyuni terhadap Prof. Muhammad Yamin—pakar hukum yang disebutnya mengambil foto tanpa izin—terkesan mengada-ada. Publik sulit menerima logika yang menutupi pelanggaran nyata dengan memainkan narasi “saya korban.” Sebaliknya, foto surat suara menjadi bukti otentik yang menegaskan adanya pelanggaran.
Publik Sumatera Utara tentu tidak mudah dikelabui. Foto itu hadir bukan sebagai fitnah, melainkan pesan etika dan moral agar demokrasi kampus tidak dipermainkan. Mengaitkan bukti pelanggaran dengan isu politik uang hanyalah pengalihan isu, yang semakin memperkuat kesan ada sesuatu yang ingin ditutupi.
Pertanyaan mendasar muncul: siapa yang seharusnya diselidiki? Pihak yang mengungkap pelanggaran, atau pelaku yang secara terang-terangan memfoto surat suara? Membalik logika etika dan hukum demi menyelamatkan diri jelas berbahaya bagi tata nilai akademik, jelas Taufik.
USU bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan rumah besar ilmu pengetahuan di Sumatera Utara. Integritas pemilihan rektor adalah marwah lembaga. Jika seorang calon rektor tega melanggar asas pemilihan, bagaimana publik bisa percaya ia akan memimpin universitas dengan jujur dan adil?
Surat Basyuni terlihat sebagai manuver defensif yang miskin argumentasi. Dengan membangun narasi sebagai korban, ia melupakan bahwa publik telah menilai berdasarkan fakta visual. Manipulasi persepsi tak akan menutupi kenyataan ketika bukti telah berbicara, terang Taufik.
Dalam dunia akademik, integritas adalah harga mati. Rektor bukan sekadar jabatan administratif, tetapi simbol etika, moral dan keilmuan. Seorang calon yang melanggar asas luber-jurdil dalam demokrasi seharusnya mengundurkan diri secara terhormat, bukan melawan dengan surat pengaduan yang justru memperburuk citra.
Budaya malu memegang peranan penting dalam menjaga etika dan moral akademik. Ketika seorang akademisi apalagi guru besar kehilangan rasa malu, runtuhlah sendi moral pendidikan. Surat terbuka Basyuni menjadi potret bagaimana ambisi pribadi dapat mengorbankan kehormatan akademik, ungkap Taufik.
Ironisnya, upaya membersihkan nama justru memperkuat citra negatif. Alih-alih mengakui kesalahan, Basyuni memilih jalan menyalahkan pihak lain. Padahal, dalam tradisi akademik, keberanian mengakui kesalahan jauh lebih mulia ketimbang menyembunyikannya dengan tuduhan balik.
Publik Sumatera Utara menuntut kejujuran, bukan permainan retoris. Pemimpin akademik harus berdiri tegak di atas kebenaran, bukan menutupi jejak pelanggaran. Keengganan mengakui kesalahan hanya menambah bukti ketidaklayakan moral untuk memimpin universitas.
Karena itu bagi FP-USU, Senat Akademik, Kemendiktusaintek, alumni, dan publik mesti bersikap jernih. Fokus utama penyelidikan bukan pada siapa yang memotret, melainkan pada pelaku pelanggaran. Fakta adanya surat suara yang difoto sudah cukup menjadi dasar tindakan tegas.
USU tidak boleh dibiarkan masuk ke jurang degradasi moral akibat satu kasus. Pemilihan rektor seharusnya menjadi teladan demokrasi kampus. Jika pelanggaran serius dibiarkan, mahasiswa dan publik akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi.
Pasal 13 huruf b PP No. 16 Tahun 2014 tentang Statuta USU menegaskan, penyelenggaraan USU harus “demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif.” Prinsip ini adalah kompas etika, moral dan hukum. Jika dilanggar, demokrasi kampus hanya menjadi slogan kosong dengan pemimpin kampus yang catat secara legal dan legitimasi, tegas Taufik.
Pada akhirnya, surat Prof. Basyuni hanyalah manuver sia-sia belaka saja. Demokrasi kampus menuntut integritas, kejujuran, dan budaya malu. Tanpa itu, tidak ada legitimasi moral bagi siapa pun untuk memimpin universitas sebesar USU. Pada kesempatan ini FP-USU menyiapkan Advokat dan paralegal untuk mendampingi, membela dan mengadvokasi kepentingan hukum Prof. M.Yamin Lubis, ujar Taufik di Sekretariat FP-USU Jalan Sutomo Medan.
Demikian
Siaran Pers.
Forum Penyelamat USU
(FP-USU)
Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH. Ketua
Posting Komentar
0Komentar