Senat Akademik USU Bungkam Skandal Korupsi Muryanto: Sivitas Akademika Geram, Masa Depan Universitas Terancam.

Media Barak Time.com
By -
0

 



*Pendahuluan*

Pemilihan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) periode 2026–2031 berlangsung dalam suasana penuh kecurigaan. Skandal korupsi yang menyeret nama Rektor petahana, Prof. Dr. Muryanto Amin, semestinya menjadi momentum refleksi moral Senat Akademik. Namun, rapat pada Jumat (12/9/2025) justru menghasilkan keputusan yang mengejutkan: isu korupsi tidak dianggap relevan dengan proses pemilihan. Senat seakan mengesampingkan keresahan publik yang terus menguat.


Pernyataan Ketua Senat Akademik, Prof. Budi Agustono, yang meminta agar anggota senat “tidak terpengaruh isu korupsi” menunjukkan sikap mengkhawatirkan. Sebagai lembaga akademik, senat semestinya menjunjung etika dan integritas, bukan menormalisasi praktik yang merusak. Ketika suara moral berubah menjadi tameng bagi kepentingan politik, universitas kehilangan keunggulan paling berharga: legitimasi moral dan kepercayaan publik.


Lebih jauh, posisi guru besar sebagai pilar keilmuan menuntut jarak dari segala bentuk penyimpangan. Guru dan guru besar dilarang mendekati kejahatan, apalagi menjadi bagian dari lingkar korupsi. Fakta bahwa KPK telah menyinggung nama Muryanto dalam kasus OTT Topan Ginting pada proyek jalan di Sumatera Utara seharusnya cukup menjadi alasan kehati-hatian. Namun, senat justru memilih diam.


Sikap bungkam ini menimbulkan kesan bahwa Senat Akademik tidak lagi bertindak sebagai penjaga marwah universitas, melainkan bagian dari jejaring kekuasaan. Alih-alih meluruskan arah, senat justru memperdalam jurang ketidakpercayaan. Bila pola ini dibiarkan, bukan hanya masa depan kepemimpinan USU yang terancam, melainkan juga masa depan pendidikan tinggi di Sumatera Utara.


*Jaringan Kepentingan dan Politik Kekuasaan*


Muryanto Amin bukan sekadar rektor yang sedang berkompetisi dalam pemilihan di kampusnya. Ia diduga menjadi simpul dari jejaring politik yang lebih luas, menghubungkan Bobby Nasution, Jenderal (Purn) Agus Andrianto, hingga Luhut Binsar Pandjaitan. Keterlibatannya sebagai konsultan politik Bobby dalam dua pilkada di Sumatera Utara memperlihatkan bagaimana seorang akademisi sekaligus pejabat negara melangkah terlalu jauh ke ranah politik praktis. Sebagai ASN, posisinya jelas menabrak batas etik dan aturan hukum.


Kasus dugaan aliran dana korupsi proyek jalan hanya menambah daftar persoalan. Namun, alih-alih terguncang, Muryanto menunjukkan kelihaian mengendalikan situasi. Senat Akademik, yang semestinya menjadi ruang independen, justru diduga telah diamankan. Dari 112 anggota, mayoritas berada dalam orbit loyalitas, sebagian karena kedekatan personal, sebagian lagi karena iming-iming finansial. Universitas pun terjebak dalam skema patronase yang merusak integritas akademik.


Keuntungan politik itu semakin nyata dengan hadirnya Agus Andrianto sebagai Ketua Majelis Wali Amanat USU. Mantan Wakapolri yang kini Menteri Imigrasi dan Lapas itu diyakini memainkan peran strategis dalam mobilisasi “Partai Coklat” untuk memenangkan Bobby Nasution di Medan (2020) dan Sumut (2024) sebagai menantu Jokowi. Dengan posisi kunci di MWA, Agus membuka jalan lebih lapang bagi Muryanto dalam proses pemilihan rektor. Perguruan tinggi pun tergiring menjadi bagian dari percaturan politik nasional.


Di balik semua itu, terdapat agenda lebih besar: penguasaan perguruan tinggi negeri di Sumatera Utara, yang jumlah pemilihnya menempati posisi keempat terbesar setelah Jawa Tengah. Basis ini kini diproyeksikan sebagai lumbung suara penting bagi pemenangan Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2029. Dengan demikian, pemilihan rektor USU bukan lagi sekadar urusan akademik, melainkan bagian dari desain politik nasional yang dipenuhi intrik kekuasaan.


*Skema Politik di Balik Pemilihan Rektor*


Proses pemilihan rektor USU terbagi dua tahap. Pertama, Senat Akademik memilih tiga besar kandidat. Kedua, MWA menentukan satu nama rektor terpilih, dengan tambahan suara khusus dari Gubernur Sumut, Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi, serta rektor petahana.


Dengan mayoritas anggota senat berada di barisan Muryanto, peluang masuk tiga besar hampir pasti. Pada tahap kedua, kekuatan Agus Andrianto di MWA akan memainkan peran kunci. Apalagi, kelompok ini mendapat dukungan politik dari lingkar Jokowi, yang sedang menyiapkan skenario besar: meneguhkan basis kekuasaan di Sumut, sekaligus membuka jalan bagi Gibran Rakabuming menuju Pilpres 2029.


Di titik inilah, USU bukan lagi semata panggung akademik, melainkan bagian dari percaturan politik nasional. Senat Akademik dan MWA dipaksa menjadi instrumen kelompok pro-Jokowi yang sekaligus diarahkan untuk melawan barisan pendukung Prabowo Subianto.


*Resistensi dan Harapan Baru*


Namun, tidak semua pihak diam. Di kalangan sivitas akademika, mulai muncul perlawanan moral. Dosen, mahasiswa, hingga alumni menyuarakan keprihatinan: USU sedang dipertaruhkan. Mereka menilai universitas bukan sekadar mesin pencetak gelar, melainkan benteng etika dan nurani bangsa.


Kabar terbaru dari Kemendikti Saintek juga memberi sinyal lain. Menteri Brian Yuliarto disebut tidak lagi nyaman mendukung Muryanto. Ia berharap ada kandidat progresif yang bersih, independen, dan visioner masuk ke tiga besar. Namun, skenario ini terancam kandas bila senat tetap dikendalikan kelompok pro-Muryanto.


Jika ada calon alternatif dengan rekam jejak akademik mumpuni dan integritas terjaga mampu menembus tiga besar, peluang terbuka. Sebab, dalam pemilihan di MWA, suara Mendikti memiliki bobot 35 persen—cukup signifikan untuk menggoyang dominasi Muryanto.


*Masa Depan yang Dipertaruhkan*


Pertaruhan pemilihan rektor USU tidak bisa dipandang sebatas siapa yang kelak duduk di kursi tertinggi universitas. Ia adalah barometer arah perguruan tinggi negeri: apakah sanggup menjaga jarak dari intervensi oligarki politik atau justru larut menjadi bagian darinya. Di titik ini, USU sedang diuji, apakah tetap berdiri sebagai lembaga pencetak ilmu pengetahuan atau berubah menjadi arena kompromi kepentingan kekuasaan.


Risikonya nyata. Bila praktik korupsi, politik uang, dan patronase politik dibiarkan bersemayam di kampus, USU kehilangan legitimasi moral. Mahasiswa akan dibesarkan dalam iklim sinis, dosen dipaksa berhadapan dengan dilema integritas, dan publik akhirnya menilai universitas tak lebih dari perpanjangan tangan elite. Bagi sebuah institusi yang mengklaim diri sebagai menara gading, keruntuhan etika ini adalah bencana.


Pilihan itu kini berada di tangan Senat Akademik dan Majelis Wali Amanat. Mereka bisa menorehkan sejarah baru dengan menegakkan integritas, atau justru tercatat sebagai aktor yang meruntuhkan marwah akademik. Ketika rektor dipilih bukan karena visi dan prestasi, melainkan karena jejaring politik, USU bukan lagi mercusuar pengetahuan, melainkan cermin kusam dari kompromi kekuasaan.


Apalagi, pemilihan rektor kali ini tidak bisa dilepaskan dari desain politik nasional. USU, dengan basis pemilih strategis di Sumatera Utara, tengah digiring menjadi markas politik untuk skenario “come back gank Solo” pada Pilpres 2029. Jika hal itu dibiarkan, maka universitas bukan hanya kehilangan jati diri, tetapi juga dipaksa tunduk pada proyek kekuasaan yang jauh dari nilai keilmuan dan etika akademik.


*Penutup* 


Pernyataan Senat Akademik USU yang mengesampingkan isu korupsi jelas mencederai etika akademik. Alih-alih menjadi benteng moral, lembaga ini justru tampak membenarkan lingkar kekuasaan yang sarat praktik kotor. Dengan begitu, senat kehilangan marwahnya sebagai penjaga nilai, dan kampus terancam terjerumus menjadi instrumen politik jangka pendek, termasuk dalam agenda besar Pilpres 2029 yang digerakkan kelompok pro-jokowi.


Kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, harus turun tangan mengoreksi arah. Intervensi diperlukan bukan untuk mengatur pilihan, melainkan untuk memastikan proses berjalan dengan etika, transparansi, dan integritas. Sebab, masa depan USU bukan hanya milik segelintir elite, melainkan aset bangsa yang harus dijaga dari rongrongan politik dan korupsi.


Demikian.


Penulis Adv. Rifki Adriansyah, S.H, M.H. Praktisi Hukum, Pemerhati Pendidik Pada Kurama Fondation dan Alumni USU

________


Referensi


1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.


2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.


3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 24 Tahun 2020 tentang Statuta Universitas Sumatera Utara.


4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2025). Laporan Penindakan Kasus OTT Proyek Jalan di Sumatera Utara. Jakarta: KPK RI.


5. Media Indonesia. (2025, 13 September). “Senat Akademik USU Bungkam Isu Korupsi dalam Pemilihan Rektor.”


6. Kompas. (2024, 15 Oktober). “Kampus dan Oligarki: Antara Akademik dan Politik Kekuasaan.”


7. Harian Analisa Medan. (2025, 10 September). “Kasus Korupsi Muryanto Amin: Desakan Diskualifikasi di Pemilihan Rektor USU.”


8. The Jakarta Post. (2024, 28 Desember). University Governance and Political Intervention in Indonesia.


9. Transparency International Indonesia (TII). (2025). Corruption Perception Index 2024. Jakarta: TII.


10. Tempo. (2025, 9 September). “Relasi Bobby Nasution, Muryanto Amin, dan Jaringan Politik Sumut.”


11. Senat Akademik USU Tolak Bahas Korupsi Muryanto, Pusat Berharap Ada Calon Rektor Progresif,https://www.kajianberita.com/2025/09/senat-akademik-usu-tolak-bahas-korupsi.html?m=1

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)