“Rektor universitas bukan makelar anggaran. Rektor bukan alat kekuasaan. Rektor adalah benteng moral, benteng ilmu pengetahuan. Ketika seorang rektor justru duduk di meja politik anggaran, ia telah menjual independensi universitas demi kepentingan kekuasaan,” tegas Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, Ketua Forum Penyelamat USU, dalam keterangannya kepada media.
Taufik menjelaskan bahwa, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang onrechtmatige overheidsdaad (OOD) sesungguhnya menjadi landasan penting dalam kasus ini. Regulasi tersebut membuka pintu agar tindakan pemerintah, baik berupa keputusan tertulis maupun perbuatan nyata, bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara bila merugikan masyarakat.
menurutnya, Prinsip ini menegaskan satu hal mendasar: pejabat publik tidak kebal hukum. Semua tindakan yang menyimpang dari asas legalitas, termasuk perbuatan yang dilakukan tanpa SK resmi sekalipun, tetap bisa diuji di hadapan hukum.
Di tengah konteks itu, keterlibatan Rektor USU, Prof. Muryanto Amin, dalam tim bayangan efisiensi APBD 2025 bentukan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menjadi skandal serius. Fakta ini telah dikonfirmasi oleh pegiat transparansi anggaran dan pejabat Pemprov (tempo.co, 26/9/2025). Menurut Taufik, ini bukan isu remeh atau gosip kampus, melainkan pelanggaran terang-terangan terhadap Statuta USU Pasal 34 yang secara tegas melarang rektor merangkap jabatan di lembaga lain yang menimbulkan konflik kepentingan.
“Dalih bahwa tim bayangan itu tidak resmi, tidak ada SK, hanyalah omong kosong,” ujar Taufik dengan nada keras. “Dalam hukum administrasi, yang diuji bukan kertasnya, tetapi substansi perbuatannya. Kalau rektor hadir, bicara, memberi masukan soal relokasi anggaran, itu artinya ia sedang menjalankan fungsi pemerintahan. Jangan membodohi publik dengan dalih formalitas. Substansinya tetap perbuatan jabatan, dan itu bisa digugat.” Tegas Taufik
Keterlibatan seorang rektor dalam relokasi anggaran bukan sekadar salah langkah administratif, melainkan pengkhianatan terhadap independensi universitas. Kampus yang seharusnya menjadi benteng etika dan moral bangsa justru terseret ke dalam lumpur kepentingan politik.
Taufik menegaskan, “Bayangkan, mahasiswa kita dipaksa hormat pada rektor yang sibuk main anggaran. Universitas bukan kantor politik. Kalau ini dibiarkan, integritas akademik hancur, dan USU kehilangan jati dirinya.”
Dari perspektif hukum, keterlibatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai rangkap jabatan terlarang sekaligus penyalahgunaan wewenang. Jika terbukti bahwa pembahasan realokasi anggaran dalam tim bayangan memberi keuntungan kepada pihak tertentu, maka unsur tindak pidana korupsi terpenuhi: ada penyalahgunaan jabatan, benturan kepentingan, dan potensi kerugian negara.
“Jangan lupa, setiap rupiah APBD adalah uang rakyat. Kalau rektor ikut bermain, itu berarti rektor patut diduga ikut mencuri hak rakyat. KPK tidak boleh tinggal diam,” Tambah Taufik.
Ia juga menyoroti sikap pasif Majelis Wali Amanat (MWA) USU. Menurutnya, jika MWA memilih diam, maka publik akan menilai MWA hanyalah boneka kekuasaan yang rela mengorbankan statuta universitas demi kepentingan politik. Padahal MWA sejatinya adalah penjaga konstitusi kampus.
“Kalau MWA membiarkan hal ini, sejarah akan mencatat mereka sebagai pengkhianat integritas universitas,” ujarnya.
Kasus ini, lanjut Taufik, lebih besar daripada persoalan pribadi seorang rektor. Ini soal kredibilitas universitas dan marwah pendidikan tinggi di Indonesia. Ketika universitas tunduk pada politik anggaran, maka ia kehilangan makna sejatinya: sebagai penjaga nalar kritis, benteng keadilan, dan penerang moral bangsa.
“Universitas Sumatera Utara bukan milik satu orang, bukan milik rektor, bukan pula milik kelompok politik tertentu. USU adalah milik rakyat, didirikan memakai uang kumpulan rakyat Aceh- Sumut dan rakyat tidak rela universitasnya digadai demi kekuasaan yang brengsek,” tutupnya dengan lantang.
Demikian.
Siaran Pers Forum Penyelamat USU (FP-USU)
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, S.H.
Ketua FP-USU
Posting Komentar
0Komentar