Setiap 24 September, bangsa ini diingatkan pada sejarah panjang perjuangan kaum tani. Penetapan Hari Tani Nasional merujuk pada lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 yang digagas sebagai tonggak reforma agraria. Namun, setelah 65 tahun merdeka dan lebih dari enam dekade UUPA berlaku, realitasnya, petani Indonesia justru terus diminggirkan oleh kebijakan negara yang cenderung pro-kapital besar.
Gunawan Wiradi, pakar agraria dalam kajian agraria, pernah mengingatkan bahwa masalah tanah di Indonesia bukan sekadar teknis distribusi, melainkan soal struktur sosial dan relasi kuasa. Tanah adalah sumber hidup petani, tetapi ia juga sumber akumulasi kapital bagi korporasi. Ketika negara lebih berpihak pada kepentingan investasi ketimbang petani, maka konflik agraria menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, sepanjang 2004–2023 terjadi lebih dari 6.000 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan mencapai lebih dari 4 juta hektare. Korbannya mencapai ratusan ribu keluarga petani, nelayan, dan masyarakat adat. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata kegagalan negara menjalankan amanat reforma agraria yang tertuang dalam UUPA 1960.
Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah, Pertanahan, hingga Hortikultura, kerap dipandang sebagai instrumen legal untuk mempercepat investasi. Namun, di balik jargon pembangunan, RUU ini berpotensi melucuti hak-hak petani. A.P. Parlindungan dalam Komentar atas UUPA 1960 menegaskan, setiap peraturan turunan agraria yang tidak sesuai dengan prinsip social function of land rights adalah bentuk pengingkaran konstitusi.
RUU Pengadaan Tanah misalnya, mengedepankan logika percepatan infrastruktur yang kerap mengorbankan tanah rakyat dengan kompensasi yang tidak adil. Sementara RUU Hortikultura membatasi akses benih lokal dan mengutamakan industri benih korporasi. Petani pun makin terjepit: tanah semakin sempit, benih dan pupuk dikuasai pasar global, harga panen ditentukan tengkulak.
Kondisi ini kian ironis jika melihat data BPS: rata-rata kepemilikan lahan petani Indonesia kini hanya 0,3 hektare per keluarga. Padahal, di sisi lain, satu korporasi sawit bisa menguasai ratusan ribu hektare. Jurang ketimpangan struktural agraria ini menjadi pangkal segala problem pedesaan: kemiskinan, urbanisasi paksa, hingga hilangnya generasi muda petani.
Maka, tidak berlebihan jika Panitia Bersama Peringatan Hari Tani Nasional ke-50 menuntut dibentuknya Komisi Ad hoc Penyelesaian Konflik Agraria. Selama ini, penyelesaian konflik agraria hanya diserahkan kepada mekanisme sektoral yang terbukti gagal. Komisi ini diperlukan untuk menjadi instrumen lintas sektor yang memiliki mandat kuat dalam menuntaskan konflik struktural.
Namun, pembentukan komisi saja tidak cukup. Ia harus ditempatkan dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria sejati. Gunawan Wiradi berulang kali menekankan: reforma agraria bukan sekadar bagi-bagi tanah, melainkan proses transformasi struktur agraria secara menyeluruh. Artinya, petani harus dijamin aksesnya pada tanah, benih, pupuk, teknologi, modal, hingga kepastian harga.
Jika tidak, reforma agraria hanya menjadi kosmetik politik. Program redistribusi tanah yang pernah dicanangkan, misalnya, justru sering berhenti pada sertifikasi tanpa menyelesaikan akar konflik. Bahkan, ada kasus di mana tanah hasil reforma justru berakhir kembali ke pasar tanah dan dikuasai elite lokal. Inilah bentuk pseudo-agrarian reform yang dikritik keras oleh para ahli.
Dalam konteks pembangunan ekonomi nasional, keberpihakan pada petani adalah kunci. Pertanian masih menyerap lebih dari 29% tenaga kerja Indonesia, tetapi kontribusinya terhadap PDB hanya sekitar 12%. Rendahnya produktivitas bukan karena petani malas, melainkan karena mereka tidak diberi dukungan struktural. Akses modal sulit, harga produksi tidak stabil, teknologi mahal, sementara impor pangan terus dibuka lebar.
Kebijakan pangan yang pro-impor makin memperlemah posisi petani. Setiap kali panen raya, harga gabah anjlok karena impor beras tetap masuk. Hal ini menimbulkan price squeeze yang mematikan motivasi petani. Di sisi lain, subsidi pupuk yang kerap digembar-gemborkan justru bocor dan tidak tepat sasaran. Petani kecil yang seharusnya dilindungi justru dikepung kebijakan yang kontradiktif.
Oleh karena itu, pengakuan negara atas 24 September sebagai Hari Tani Nasional bukan sekadar simbol. Ia harus dimaknai sebagai komitmen politik untuk menjalankan amanat UUPA 1960. Tanpa itu, Hari Tani hanya menjadi seremoni tanpa substansi, yang mengulang ironi sejarah di mana kaum tani selalu dijanjikan tetapi jarang dipenuhi.
Peringatan Hari Tani Nasional ke-50 pada 2010, yang mengerahkan 10.000 petani di Jakarta dan ribuan di daerah, adalah momentum penting. Ia menandai bahwa petani tidak lagi sekadar objek pembangunan, melainkan subjek politik yang sadar haknya. Mobilisasi masif itu bukan sekadar aksi, melainkan ekspresi dari luka sejarah panjang pengabaian negara terhadap kaum tani.
Kini, tantangannya adalah bagaimana menyalurkan energi politik petani menjadi kekuatan transformasi. Teori agrarian question yang dikembangkan para pemikir kritis menunjukkan bahwa tanpa reforma agraria sejati, pembangunan hanya akan melanggengkan ketimpangan. Petani harus ditempatkan sebagai garda depan ketahanan pangan, bukan sekadar buruh murah di ladangnya sendiri.
Negara harus berani berpihak. Tuntutan petani bukanlah ancaman bagi pembangunan, melainkan fondasi keadilan sosial. Dengan menjalankan reforma agraria sejati, membentuk komisi ad hoc penyelesaian konflik, serta melindungi akses petani terhadap sumber-sumber agraria, bangsa ini sesungguhnya sedang menyelamatkan dirinya sendiri. Sebab, tanpa petani, tanpa pangan, tidak ada masa depan Indonesia.
Demikian
Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH, Merupakan Praktisi Hukum dan Aktivis Rakyat Banyak.
Posting Komentar
0Komentar