Medan – RUU KUHAP memunculkan harapan baru dalam reformasi sistem peradilan pidana Indonesia melalui pengenalan Hakim Pemeriksa Pendahulu (HPP). Sebagai instrumen pengawasan yudisial tahap awal, HPP ditugaskan memverifikasi dan memberikan izin terhadap tindakan paksa seperti penahanan dan penggeledahan, sehingga otoritas penyidik tidak berjalan tanpa kontrol. Dalam teori, ini adalah bentuk kemajuan menuju due process of law dan perlindungan hak asasi. Namun, sebagaimana kerap terjadi dalam sistem hukum Indonesia, idealisme kerap tidak bersanding dengan kesiapan struktural dan geografis.
Faktanya, struktur peradilan Indonesia belum memiliki kapasitas infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai untuk memastikan efektivitas HPP secara merata. Satu HPP di Pengadilan Negeri Medan, misalnya, bisa dibebani dengan permohonan dari puluhan satuan kepolisian di pelosok Sumatera Utara—dari Tapanuli hingga kepulauan Nias. Di tengah akses internet yang tidak stabil, sistem e-court yang belum merata, dan pengiriman dokumen yang masih mengandalkan jalur fisik, tenggat waktu tiga hari yang ditetapkan undang-undang justru bisa menjadi penghambat proses hukum, bukan perlindungan hak.
Lebih jauh, keberadaan HPP berpotensi menimbulkan konflik peran ketika hakim yang sama memutus di tahap pra-peradilan juga ikut dalam majelis hakim perkara pokok. Ini tidak hanya mengaburkan prinsip imparsialitas, tetapi juga membuka celah bagi bias institusional. Bukannya memperkuat keadilan, konsep HPP yang dipaksakan tanpa koreksi desain justru berisiko menjadi simbol prosedural semata—sebuah pagar hukum yang rapuh, yang tampak kuat di atas kertas, namun keropos saat bersentuhan dengan kenyataan.
Namun di Indonesia, idealisme HPP berhadapan langsung dengan realitas geografis dan ketimpangan institusional. Di banyak daerah, pengadilan negeri masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti jumlah hakim yang proporsional, fasilitas sidang, hingga akses digital yang memadai. Jika peran HPP diberlakukan tanpa persiapan matang, dikhawatirkan hanya akan melahirkan kemacetan birokrasi baru, memperpanjang waktu penanganan perkara, dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan itu sendiri.
Belum lagi soal beban kerja hakim. Saat ini, mayoritas hakim sudah dibebani perkara dalam jumlah yang tidak ideal, terutama di luar Jawa. Menambah tugas sebagai HPP tanpa tambahan sumber daya manusia justru membuka peluang abuse of process—baik oleh penyidik yang ingin menghindari pengawasan ketat maupun oleh oknum hakim yang tergoda menyalahgunakan kewenangannya dalam ruang gelap hukum yang belum terstruktur.
Selain itu, belum ada jaminan bahwa keberadaan HPP akan otomatis melahirkan keadilan substantif. Pengawasan yudisial sejak awal hanyalah satu elemen. Tanpa integritas aparat penegak hukum, akuntabilitas sistem, dan akses pendampingan hukum yang setara bagi tersangka, HPP hanya menjadi simbol reformasi yang dangkal. Alih-alih menjamin hak, ia bisa jadi sekadar ornamen prosedural yang justru memperumit jalannya keadilan.
Tenggat Tiga Hari: Progresif Tapi Irrealistis
Dalam RUU KUHAP, Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) diwajibkan memutus permohonan penyidik atau penuntut dalam waktu paling lama tiga hari. Sepintas, ketentuan ini terlihat progresif: menciptakan proses hukum cepat demi perlindungan hak-hak tersangka dan akuntabilitas aparat penegak hukum. Namun, ketika norma ini bersentuhan dengan kondisi geografis dan infrastruktur hukum Indonesia yang timpang, idealisme tersebut berubah menjadi beban sistemik.
Ambil contoh Sumatera Utara. Pengadilan Negeri Medan kerap menerima permohonan dari kepolisian yang beroperasi di daerah-daerah terpencil seperti Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, atau Kepulauan Nias. Akses transportasi lambat, jaringan komunikasi belum stabil, dan digitalisasi dokumen penanganan perkara belum menyeluruh. Dalam situasi ini, memaksa hakim memutus dalam tiga hari bukan mempercepat keadilan, tapi menciptakan potensi ketidakadilan akibat keputusan terburu-buru tanpa pendalaman.
Tenggat waktu itu, alih-alih mendorong efisiensi, justru berpotensi menjadikan HPP sebagai stempel formalitas. Akibatnya, hakim bisa terjebak dalam rutinitas administratif, kehilangan ruang untuk berpikir kritis terhadap permohonan yang diajukan aparat. Maka, ketentuan tenggat yang terlalu singkat justru menjadi bumerang terhadap asas kehati-hatian (prudence) dalam proses pra-adjudikasi.
Solusinya bukan menolak kehadiran HPP, melainkan menyesuaikan dengan kondisi objektif Indonesia. Tenggat waktu satu minggu adalah opsi paling masuk akal, memberi ruang bagi hakim memahami konteks geografis, memverifikasi dokumen, dan menjamin proses hukum yang tidak sekadar cepat, tetapi juga akurat dan adil.
Stempel Formal dalam Tekanan Kuota
Masalah semakin pelik jika dilihat dari sisi internal peradilan. Di kota-kota besar seperti Jakarta atau Medan, beban perkara pidana menumpuk setiap hari. Bila semua permohonan tindakan paksa dipusatkan ke satu HPP, maka risiko administratif akan sangat tinggi. HPP bisa menjadi rubber stamp tanpa daya telaah substansial. Ia hanya membubuhkan tanda tangan demi tenggat, bukan demi keadilan.
Sebagaimana diingatkan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, “Jika pengadilan hanya menjalankan hukum tanpa memperhatikan keadilan, maka ia tak ubahnya mesin birokrasi.” Pengawasan yang seharusnya menjadi filter etik dan legal malah berbalik menjadi formalitas administratif.
Infrastruktur Digital: Harapan yang Masih Jauh
Dalam laporan MA (2023), dari seluruh satuan pengadilan, hanya 38 yang telah sepenuhnya mengimplementasikan sistem e-court secara efektif. Sementara sebagian besar masih bergulat dengan kendala jaringan, SDM, hingga perangkat digital dasar. Banyak aparat kepolisian di daerah belum bisa mengakses sistem elektronik secara mandiri.
Maka, ketergantungan pada sistem elektronik tanpa kesiapan teknis adalah langkah prematur. Waktu tiga hari yang dibangun atas asumsi digitalisasi menyeluruh justru membuat sistem kolaps bagi daerah yang belum siap.
Konflik Kepentingan Hakim: Bahaya yang Terabaikan
Isu lain yang tak kalah serius adalah potensi konflik peran. Tidak ada jaminan bahwa HPP tidak akan menjadi bagian dari majelis hakim dalam persidangan pokok perkara. Ketika HPP yang menyetujui penahanan di awal juga menjadi hakim pemutus di akhir, maka netralitas terancam. Dalam doktrin hukum, ini melanggar asas nemo judex in causa sua — seorang hakim tidak boleh mengadili perkara yang sudah ia nilai sebelumnya.
Sebagaimana ditegaskan Laica Marzuki, imparsialitas adalah denyut jantung keadilan. Jika jantung itu terganggu, maka sistem hukum kehilangan legitimasinya.
Dari Hukum yang Ideal ke Hukum yang Kontekstual
RUU KUHAP sedang mencoba melompat jauh ke dalam sistem modern. Tapi jika lompatan itu tidak memperhitungkan medan pijakan yang timpang, maka jatuh adalah keniscayaan. Kritik terhadap batas waktu tiga hari bukan semata penolakan terhadap efisiensi, tetapi seruan agar efisiensi tidak membunuh substansi.
Bayangkan kasus korupsi atau pelanggaran HAM: dokumen penyidikan bisa setebal ratusan halaman. Membacanya saja butuh waktu. Apakah realistis HPP mampu menyelesaikan telaah hanya dalam 72 jam? Bukankah ini justru melahirkan keadilan yang tergesa, bukan keadilan yang cermat?
Jalan Tengah: Desain Ulang yang Manusiawi
RUU KUHAP memang berniat mendorong kecepatan dan efisiensi melalui kehadiran Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), namun tanpa disertai pendekatan realis, ia bisa jadi kontraproduktif. Dalam konteks negara kepulauan seperti Indonesia, desain sistem hukum tak bisa diseragamkan secara kaku. Perlu ada desain ulang yang menjadikan keadilan bukan hanya cepat, tapi juga manusiawi.
Pertama, fleksibilitas waktu mutlak diperlukan. Tenggat tiga hari hanya cocok untuk kota besar dengan infrastruktur prima. Di daerah terpencil dan 3T, waktu minimal lima hingga tujuh hari justru menjadi ukuran rasional agar proses hukum tetap kredibel tanpa mengorbankan prosedur. Kedua, distribusi beban kerja HPP perlu ditata ulang. Menambah jumlah HPP di pengadilan-pengadilan padat perkara bukan lagi pilihan, tapi keniscayaan agar sistem ini tidak kolaps.
Ketiga, netralitas HPP juga harus dijamin secara struktural. Praktik hakim HPP merangkap sebagai hakim perkara pokok mesti dilarang secara eksplisit demi mencegah bias, konflik kepentingan, atau tekanan institusional. Posisi HPP harus berdiri di atas prinsip imparsialitas yang ketat, bukan sekadar formalitas.
Keempat, penguatan sistem digital menjadi pilar penting. E-HPP bukan sekadar proyek jargon. Ia butuh investasi politik, fiskal, dan regulatif yang konkret: dari pembangunan jaringan, pelatihan SDM, hingga payung hukum teknis. Tanpa ini, HPP hanya akan menjadi slogan pembaruan hukum yang gagal lahir di tengah masyarakat yang membutuhkan keadilan berbasis realitas.
Penutup
Hukum tidak dilahirkan untuk sekadar membangun keteraturan, tetapi untuk melindungi manusia dari penyalahgunaan kekuasaan. Maka desain institusi baru seperti HPP harus tunduk pada realitas geografis, sosiologis, dan administratif Indonesia. Jangan sampai idealisme hukum yang luhur malah menjadi alat represi prosedural karena gagal memahami keterbatasan ruang, waktu, dan kapasitas sistem.
Sebagaimana dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo, “Hukum yang baik adalah hukum yang tidak hanya benar secara normatif, tetapi juga adil dan dapat dijalankan.” Maka HPP, jika memang harus ada, haruslah berdiri di atas kaki realitas, bukan angan-angan legislatif yang tak peka terhadap lapangan.
Demikian
Penulis:
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Praktisi Hukum, Mantan Tenaga Ahli Komisi III DPR RI, Aktivis Musyawarah Rakyat Banyak, Anggota Badan Perkumpulan KontraS Sumut, dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum dan HAM MW KAHMI Sumut.
_______
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Hukum dan Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Marzuki, Laica. Hakim dalam Negara Hukum. Jakarta: Sekretariat Mahkamah Konstitusi, 2011.
Mahkamah Agung RI. Laporan Implementasi e-Court. Jakarta: Badan Litbang MA, 2023.
“Konstruksi Peran Hakim Pemeriksa Pendahulu dalam RUU KUHAP.” UPN Veteran Jakarta Repository. 2020.https://repository.upnvj.ac.id/2354/
“Analisis Yuridis Terhadap Hakim Pemeriksa Pendahulu.” Universitas Indonesia, 2018. https://lib.ui.ac.id/detail?id=20388756&lokasi=lokal
Posting Komentar
0Komentar