Mengapa Hanya dr. Alwi Mujahid Hasibuan?, Kejatisu Diduga Simpan Nama Besar Dalam Kasus Korupsi APD Covid-19

Media Barak Time.com
By -
0



Prahara hukum kembali membayangi Sumatera Utara. Kali ini datang dari pengusutan korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19 senilai puluhan miliar rupiah. Kasus ini telah menyeret dr. Alwi Mujahid Hasibuan sebagai tersangka. Namun publik bertanya: mengapa hanya dia yang dijerat? Padahal, jejak aliran dana mengarah ke nama-nama lain, termasuk dr. David Luther Lubis yang disebut menerima hingga Rp1,4 miliar.


Fakta ini membuka tabir dugaan bahwa Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) tidak sepenuhnya transparan dalam menuntaskan perkara. Muncul pertanyaan kritis: apakah ada perlindungan terhadap aktor-aktor besar lain yang terlibat dalam korupsi berjamaah ini?


Dana APD yang dikorupsi bersumber dari Belanja Tidak Terduga (BTT) dan hibah daerah tahun 2020, total kerugian negara mencapai sekitar Rp49 miliar. Anggaran ini semestinya digunakan menyelamatkan nyawa tenaga medis dan pasien, bukan menjadi bancakan elite birokrasi dan para rekanan.


Dalam konstruksi hukum yang dibangun Kejatisu, dr. Alwi Mujahid Hasibuan disebut sebagai pengendali teknis. Tapi di birokrasi pemerintahan, terutama dalam anggaran darurat, pengendalian tidak berada pada satu tangan. Ada atasan, penentu arah kebijakan, serta otoritas tertinggi anggaran. Mengapa mereka luput dari jeratan hukum?


Dr. David Luther Lubis yang disebut menerima Rp1,4 miliar dari pengadaan tersebut justru belum ditetapkan sebagai tersangka. Fakta ini membuat publik menduga ada pola selektif dalam penindakan. Seolah-olah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.


Mengacu pada dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan informasi publik, proses pengadaan dilakukan tanpa transparansi, tidak sesuai prosedur, dan melibatkan pihak-pihak yang tidak berkompeten. Mekanisme pengawasan internal pun nyaris tidak berjalan.


Kuat dugaan bahwa kasus ini bukan sekadar kesalahan prosedural, tetapi merupakan hasil dari konspirasi sistemik lintas birokrasi. Artinya, tidak mungkin hanya satu orang menikmati hasil korupsi sebesar itu. Penunjukan rekanan, markup harga, hingga pencairan dana tentu melibatkan struktur kekuasaan.


Maka menjadi ganjil jika Kejatisu seolah-olah menutup kemungkinan keterlibatan pejabat eselon tinggi atau elite politik. Ke mana peran gubernur saat itu? Bagaimana fungsi inspektorat? Dan di mana posisi Kepala BPBD, sebagai pelaksana kegiatan darurat?


Bila kita merujuk Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dan Permendagri No. 20 Tahun 2020, maka tanggung jawab pengadaan tidak hanya ada di tangan pelaksana teknis. Tanggung jawab struktural dan kolektif menjadi prinsip utama.


Publik melihat ada gejala pengorbanan individu untuk melindungi aktor yang lebih besar. Ini bukan hal baru dalam penegakan hukum di Indonesia, di mana “kambing hitam” kerap disiapkan agar aktor utama lolos dari jerat.


Mengapa dr. David yang jelas disebut menerima aliran dana tidak segera ditetapkan tersangka? Apakah karena memiliki kedekatan dengan elite kekuasaan? Ataukah Kejatisu sedang menghitung "nilai politik" dari setiap langkah hukum yang akan diambil?


Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Kejatisu tidak sedang menegakkan hukum, melainkan sedang bernegosiasi dengan kekuasaan. Padahal, dalam kasus darurat bencana, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor membuka peluang bagi penerapan pidana mati.


Penyidikan korupsi semestinya tidak hanya berpaku pada pelaku lapangan. Ia harus menyentuh pembuat kebijakan, pemilik wewenang, dan penerima manfaat akhir (beneficiary). Jika itu tak dilakukan, penegakan hukum hanya menjadi dagelan.


Celakanya, peristiwa ini terjadi dalam suasana rakyat ketakutan, rumah sakit kewalahan, dan petugas medis kekurangan APD. Korupsi yang dilakukan saat pandemi bukan hanya kriminal, tetapi kejahatan kemanusiaan.


Di sinilah peran media, LSM, dan masyarakat sipil untuk terus mendesak agar perkara ini dibuka seterang-terangnya. Tak boleh ada satu nama pun yang luput hanya karena memiliki jabatan atau akses ke pusat kekuasaan.


Kejatisu kini menghadapi ujian kredibilitas. Apakah akan tetap menjadi lembaga penegak hukum yang independen, atau justru terjebak menjadi alat kekuasaan yang tunduk pada kepentingan elite?


Mengapa laporan masyarakat tentang keterlibatan nama-nama lain tidak segera ditindaklanjuti? Apakah ada intervensi? Atau Kejatisu sendiri enggan memperluas perkara karena konsekuensi politik yang akan ditanggung?


Jika memang benar dr. David menerima Rp1,4 miliar, maka publik menuntut bukti keterbukaan dan kesetaraan hukum. Tidak ada alasan moral atau yuridis untuk membiarkan satu pihak bebas dari jerat hukum, sementara yang lain dikorbankan.


Bila Kejatisu diam, maka tidak berlebihan jika publik menganggap kasus ini telah diskenariokan. Pola ini lazim dalam skandal korupsi: perkara digiring ke individu tertentu, lalu ditutup sebelum menyentuh pusat kekuasaan.


Kita membutuhkan reformasi penegakan hukum yang jujur, transparan, dan berani. Jika tidak, Sumatera Utara akan terus menjadi sarang impunitas dan ladang subur korupsi dalam setiap krisis.


Rakyat Sumut, khususnya para keluarga korban Covid-19, berhak atas keadilan. Mereka yang kehilangan nyawa karena kurangnya APD atau perawatan medis yang layak, tidak boleh dikhianati oleh praktik korupsi yang ditutup-tutupi.


Pemerintahan saat ini pun tidak bisa berpura-pura tak tahu. Keadilan tidak hanya dibuktikan lewat pidato antikorupsi, tetapi dari keberanian membongkar, menyeret, dan menghukum semua pelaku — tanpa kecuali.


Jika benar hukum masih hidup di republik ini, maka Kejatisu wajib membuka semua nama yang terlibat, menyeret aktor-aktor besar, dan memulihkan kepercayaan publik karena keadilan untuk semua. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat: di tengah pandemi, hukum pun ikut mati.


Demikian.


Penulis, Adv.Irfan Harianto,SH, Merupakan Praktisi Hukum Dan Ligiator Pusat Bantuan Hukum Rakyat.

____________

Daftar Pustaka 


Jagok.co. “Korupsi APD Covid-19 Sumut: Desakan Seret Nama-Nama Besar.” https://jagok.co/korupsi-apd-covid-19-sumut-desakan-seret-nama-nama-besar-


UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


Permendagri No. 20 Tahun 2020


Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Penggunaan Dana Covid-19 Pemprov Sumut Tahun Anggaran 2020

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)