Selayang Pandang
Pendaftaran calon Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) periode 2025–2029 resmi dibuka pada 27 Agustus hingga 8 September 2025. Peristiwa ini bukan sekadar pergantian pucuk pimpinan universitas, tetapi sebuah ujian moral dan intelektual bagi seluruh civitas akademika. Pertanyaannya sederhana namun fundamental: Apakah USU akan memilih pemimpin berdasarkan meritokrasi, atau terjebak dalam lingkaran kompromi politik dan transaksi kekuasaan kampus?
Di tengah tuntutan publik terhadap kampus yang bersih, modern, dan progresif, uji publik bagi calon rektor bukan pilihan, melainkan keharusan. Rektor bukan hanya simbol akademik, melainkan pejabat publik yang mengelola sumber daya strategis: anggaran negara, reputasi akademik, riset, aset produktif, hingga masa depan puluhan ribu mahasiswa. Dalam konteks ini, integritas bukan jargon—ia menuntut transparansi rekam jejak, sumber pendanaan kampanye, dan keterbukaan atas potensi konflik kepentingan. Tanpa mekanisme uji publik, pemilihan rektor rawan menjadi proses tertutup yang jauh dari aspirasi akademik.
Tata Kelola dan Meritokrasi
Dalam kerangka good university governance, tiga pilar utama—transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi—harus menjadi pondasi pemilihan rektor yang sehat. Transparansi bukan sekadar mengumumkan daftar calon, tetapi memastikan seluruh proses seleksi terbuka, dapat diakses publik, dan bebas dari ruang gelap lobi-lobi politik kampus. Akuntabilitas berarti setiap calon wajib mempertanggungjawabkan visi, rekam jejak, dan rencana strategisnya di hadapan civitas akademika. Partisipasi membuka pintu bagi dosen, mahasiswa, alumni, dan tenaga kependidikan untuk ikut menguji gagasan dan integritas kandidat, bukan hanya menjadi penonton pasif.
Meritokrasi menuntut pemilihan berdasarkan kualitas terbaik, bukan senioritas, bukan kedekatan politik, apalagi patronase birokrasi. Di USU, ini berarti mencari figur yang mampu mendorong lonjakan peringkat internasional, memperkuat kolaborasi riset bereputasi global, dan membangun ekosistem inovasi yang terhubung dengan industri serta masyarakat. Dalam iklim kompetisi global, seorang rektor harus menjadi penggerak transformasi, bukan sekadar pengelola rutinitas administratif.
Kapabilitas rektor sejati tidak cukup diukur dari panjangnya gelar akademik atau lamanya duduk di jabatan struktural. Kepemimpinan moral—keberanian mengambil keputusan sulit demi integritas akademik—lebih bernilai dibandingkan sekadar portofolio jabatan. Kemampuan eksekusi, mengubah visi menjadi program nyata yang terukur, adalah pembeda antara pemimpin yang sekadar berbicara dan yang benar-benar membawa perubahan.
Tanpa komitmen terhadap meritokrasi, pemilihan rektor mudah terperosok dalam jebakan kompromi politik kampus. Hasilnya adalah kepemimpinan yang lemah, lebih sibuk menjaga harmoni semu daripada menuntaskan persoalan strategis: dari rendahnya publikasi ilmiah bereputasi, stagnasi peringkat universitas, hingga minimnya keberpihakan pada kebebasan akademik. Kampus yang dikelola dengan pola ini lambat laun kehilangan relevansi di tingkat nasional maupun global.
Memilih rektor dengan standar meritokrasi yang ketat adalah investasi jangka panjang bagi peradaban akademik USU. Proses ini tidak hanya menentukan arah lima tahun ke depan, tetapi juga membentuk budaya baru: budaya kampus yang menolak kompromi integritas, mengutamakan kualitas, dan menempatkan kepemimpinan moral sebagai syarat utama. Tanpa itu, USU berisiko terjebak menjadi institusi yang besar di nama, tetapi rapuh di substansi.
Uji Publik sebagai “Stress Test” Moral
Sebagai alumni, kami mendesak Majelis Wali Amanat (MWA) untuk menjadikan uji publik sebagai tahap wajib sebelum menetapkan tiga besar calon rektor. Forum ini tidak boleh menjadi formalitas seremonial, melainkan arena uji ketangguhan moral dan intelektual calon pemimpin kampus. Ia harus disiarkan secara terbuka, memuat tanya jawab kritis, dan menguji kemampuan kandidat merespons persoalan strategis: dari praktik korupsi administrasi, komersialisasi pendidikan, pelanggaran kebebasan akademik, hingga tata kelola aset produktif yang selama ini luput dari sorotan publik.
Uji publik adalah stress test moral. Kandidat yang enggan menghadapinya layak dicurigai integritasnya. Sebaliknya, mereka yang berani tampil di hadapan publik, menjawab pertanyaan sulit tanpa skrip politik, menunjukkan kemauan memimpin dengan transparansi. Mekanisme ini menjadi filter awal untuk mencegah rektor yang pandai berjanji namun miskin komitmen, atau yang hanya lihai membangun jaringan kekuasaan tanpa prestasi akademik.
Kampus tidak boleh dibangun di atas pondasi kompromi gelap. Integritas akademik akan runtuh jika proses seleksi dikendalikan oleh persekongkolan politik atau barter kepentingan. Universitas harus berdiri di atas nilai kejujuran, kecerdasan, dan keberanian moral. Tanpa itu, pemimpin kampus hanya akan menjadi pengelola status quo, menjaga harmoni semu sambil membiarkan problem laten tetap membusuk di balik dinding birokrasi.
Lebih buruk lagi, ada tanda-tanda bahwa sebagian pihak telah menjadikan kampus sebagai sarana pelacuran intelektual—membiarkan ruang akademik dipakai untuk kegiatan politik praktis, dari “cawe-cawe” Pilpres 2024 hingga manuver di Pilgub Sumatera Utara. Praktik ini bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan pengkhianatan terhadap fungsi universitas sebagai benteng independensi intelektual. Kampus yang seharusnya menjadi pusat pencarian kebenaran malah terjebak menjadi panggung transaksi politik.
Uji publik wajib adalah langkah strategis untuk mengakhiri degradasi moral tersebut. Dengan membuka proses seleksi ke hadapan publik, kita menegaskan bahwa kursi rektor bukan hadiah politik, melainkan amanah akademik. Jika USU ingin membangun reputasi sebagai universitas berkelas dunia, maka ia harus memulai dengan memastikan pemimpinnya lulus ujian moral—bukan di balik pintu tertutup, melainkan di bawah sorotan terang publik.
Menghadapi Catatan Buruk
Tantangan yang dihadapi Universitas Sumatera Utara (USU) hari ini bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan pahit yang tercatat di data dan pemberitaan. Dalam penilaian nasional, integritas penelitian USU masuk kategori “zona merah”, sebuah sinyal alarm yang menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap etika akademik. Di saat yang sama, pengelolaan aset kebun Madina dilaporkan merugi, namun secara mengejutkan masih mampu mengajukan dan memperoleh kredit Rp228 miliar dari BNI—sebuah anomali yang memicu pertanyaan tentang transparansi dan tata kelola keuangan universitas.
Lebih mengkhawatirkan, terdapat tudingan bahwa ruang akademik USU telah disusupi kepentingan politik praktis. Kampus yang seharusnya menjadi menara gading pengetahuan justru terlibat “cawe-cawe” dalam Pilpres 2024 dan Pilgub Sumatera Utara. Jika benar, ini bukan hanya pelanggaran etika akademik, melainkan bentuk kompromi intelektual yang mencederai marwah universitas dan meruntuhkan kepercayaan publik.
Rektor yang terpilih di periode mendatang harus berani memutus mata rantai praktik tersebut. Ia tidak boleh sekadar menjadi manajer administratif yang menghindari konflik, tetapi pemimpin yang memiliki keberanian politik untuk membersihkan kampus dari kepentingan transaksional. Ia harus menolak segala bentuk plagiat, baik plagiat murni maupun self-plagiarism, serta menghindarkan diri dari peran sebagai makelar proyek pemerintah daerah atau pusat.
Integritas pribadi menjadi benteng pertama dalam misi penyelamatan universitas. Rektor yang bebas dari cacat etika akan memiliki legitimasi moral untuk menata ulang budaya akademik, memperkuat tata kelola, dan mengembalikan kampus sebagai pusat keunggulan ilmu pengetahuan. Tanpa integritas, segala program reformasi akan berakhir sebagai slogan kosong yang tidak mampu menembus akar masalah.
Menyelamatkan USU bukan tugas yang bisa diselesaikan dengan janji politik atau program populis sesaat. Dibutuhkan keberanian untuk menegakkan hukum internal, membongkar praktik-praktik busuk yang sudah mengakar, dan membangun kembali reputasi akademik dari dasar. Pemilihan rektor kali ini adalah kesempatan emas untuk membalik halaman sejarah kelam—atau justru membiarkan kampus terus berjalan di jalur yang sama menuju kemunduran.
Alumni USU Mendesak Uji Publik Calon Rektor USU
Jika Universitas Sumatera Utara (USU) ingin tetap relevan di tengah kompetisi global, proses pemilihan rektor harus melampaui prosedur administratif yang kaku dan minim transparansi. Pemilihan ini seharusnya menjadi panggung peradaban akademik, tempat di mana nilai-nilai luhur universitas diuji secara terbuka. Uji publik bukan sekadar formalitas, melainkan mekanisme untuk memastikan bahwa rektor terpilih adalah pemimpin akademik sejati—berintegritas, visioner, dan berani mempertanggungjawabkan komitmennya.
Pertaruhan kali ini jauh melampaui sekadar siapa yang menduduki kursi rektor. Ia menyangkut arah moral dan intelektual USU dalam lima tahun ke depan. Apakah universitas ini akan menjadi institusi yang bersuara lantang membela kebenaran, mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, dan menjadi teladan tata kelola, atau justru tenggelam diam-diam dalam kubangan kompromi kepentingan dan permainan politik kampus?
Uji publik adalah kunci untuk membedakan antara pemimpin yang layak memimpin dan mereka yang hanya pandai membangun citra. Forum ini menjadi arena pengujian langsung, di mana calon rektor harus merespons pertanyaan kritis tentang visi akademik, tata kelola keuangan, integritas penelitian, hingga sikap terhadap kebebasan akademik. Dengan begitu, publik dapat menilai kapasitas dan integritas kandidat, bukan hanya berdasarkan dokumen administrasi yang kerap hampa makna.
Sebagai alumni, kami tidak mengajukan tuntutan ini demi gengsi atau kebanggaan semata. Desakan uji publik adalah bentuk tanggung jawab moral untuk memastikan kampus tidak jatuh ke tangan pemimpin yang kompromistis atau transaksional. Reputasi universitas adalah aset publik; merusaknya sama dengan mengkhianati amanah generasi mendatang yang berharap pada kualitas pendidikan terbaik.
USU memiliki peluang emas untuk memperbaiki tata kelola dan memperkuat posisinya di kancah akademik internasional. Namun, peluang itu hanya akan terwujud jika pemimpin terpilih benar-benar lulus ujian moral di hadapan publik. Karena itu, uji publik bukanlah pilihan, melainkan syarat mutlak untuk memastikan masa depan USU dibangun di atas pondasi kejujuran, kecerdasan, dan keberanian moral.
Penutup
Uji publik bukan sekadar tahapan teknis, tetapi mekanisme penyaringan paling jujur untuk melahirkan rektor yang intelektual, bermoral, dan profesional. Melalui forum terbuka ini, publik dapat menilai langsung kapasitas akademik, kejelasan visi, rekam jejak integritas, serta keberanian calon rektor menjawab isu-isu krusial kampus tanpa berlindung di balik retorika. Di sinilah keunggulan moral diuji, dan di sinilah pula wajah sejati seorang pemimpin akademik terungkap.
USU membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pandai menyusun rencana, tetapi juga mampu mengeksekusi dengan integritas. Uji publik memastikan bahwa kursi rektor tidak jatuh kepada figur yang kompromistis atau transaksional, melainkan kepada sosok yang siap mengemban amanah akademik dengan keberanian, kejujuran, dan kecerdasan. Pemilihan yang berbasis keterbukaan akan menjadi fondasi bagi kebangkitan USU sebagai universitas yang dihormati, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Demikian.
Penulis Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH. Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 Dan Ketua Forum Penyelamat USU
___________
Daftar Pustaka
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2024. Jakarta: BPK RI, 2025.
Badan Riset dan Inovasi Nasional. Laporan Pemetaan Integritas Penelitian Perguruan Tinggi 2024. Jakarta: BRIN, 2024.
Kompas. “Integritas Akademik Perguruan Tinggi di Zona Merah.” Kompas.id, 17 Desember 2024. https://www.kompas.id/baca/edukasi/2024/12/17/integritas-akademik-perguruan-tinggi.
Kompas. “MWA dan Proses Pemilihan Rektor: Menjaga Marwah Universitas.” Kompas.id, 25 Juli 2025. https://www.kompas.id/baca/opini/2025/07/25/mwa-pemilihan-rektor.
QS Quacquarelli Symonds. QS World University Rankings 2025: Asia Region. London: QS Quacquarelli Symonds Limited, 2025.
Universitas Sumatera Utara. Statuta Universitas Sumatera Utara 2022. Medan: USU Press, 2022.
Rektor USU Diduga Cawe cawe Pilgub, Mahasiswa Desak Pemeriksaan, https://youtu.be/kPSX5CocxYc?si=ArntxtgEW10ERLfk
Posting Komentar
0Komentar