"Pre Pactum Dan Pos Pactum Pada RUU KUHAP: Mencari Kebenaran Dan Keadilan Dalam Proses Pidana"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH ( Peraktisi Hukum)


Pendahuluan 


> “Ketika hukum tidak berpihak pada manusia, maka ia telah kehilangan jiwanya.”


Dalam diskursus hukum pidana modern, konsep pre pactum dan post pactum menjadi sangat relevan untuk menilai apakah proses peradilan kita masih menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan substantif atau justru terjebak dalam formalisme prosedural yang kering. Berdasarkan Black’s Law Dictionary, pre pactum mencakup segala hal yang terjadi sebelum adanya tindakan hukum, seperti tahap pra-penyidikan dan penangkapan. Sedangkan post pactum merujuk pada fase pasca-putusan, di mana implementasi keadilan diuji dalam bentuk pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku. Ironisnya, dalam RUU KUHAP yang sedang disiapkan sebagai pilar pembaruan hukum pidana nasional, dua tahap ini belum mendapatkan tempat yang setara dan bermakna dalam bingkai perlindungan hak asasi manusia.


Di tahap pre pactum, permasalahan utama terletak pada dominasi aparat penegak hukum yang sering kali bergerak tanpa pengawasan yang memadai. Laporan Komnas HAM tahun 2023 mencatat lebih dari 160 kasus penyiksaan dalam proses penyidikan, yang sebagian besar terjadi sebelum tersangka didampingi oleh penasihat hukum. Kelemahan ini diperparah oleh lambannya implementasi prinsip due process of law dan rendahnya pemahaman aparat terhadap hak-hak dasar tersangka. RUU KUHAP seharusnya menjawab persoalan ini secara progresif, namun rancangan yang ada justru cenderung mempertahankan status quo—memberikan ruang luas bagi kriminalisasi dan penyalahgunaan wewenang.


Sementara itu, di tahap post pactum, keadilan sering kali berhenti di ruang sidang. Tidak ada jaminan yang kuat dalam RUU KUHAP untuk memastikan pelaksanaan putusan pengadilan secara manusiawi, restoratif, dan berdampak sosial. Hak korban untuk mendapatkan pemulihan (restitusi atau kompensasi) masih menjadi wacana normatif, bukan praktik institusional. Begitu pula hak terpidana atas pembinaan, remisi yang berkeadilan, atau integrasi sosial pasca-pemidanaan belum menjadi arus utama pembaruan hukum. Dengan kata lain, hukum pidana kita cenderung bermental menghukum, bukan membina.


Pelembagaan konsep restorative justice yang sering digembar-gemborkan pun belum menyentuh struktur utama proses pidana. Ia hadir dalam bentuk pilot project atau pendekatan sukarela di luar KUHAP, bukan sebagai norma hukum yang mengikat. Padahal, jika keadilan ingin diwujudkan secara menyeluruh, maka sistem hukum acara pidana harus berani menyentuh dua ujung—pre dan post pactum—dengan desain institusional dan perlindungan HAM yang solid. Tanpa itu, hukum akan terus menjadi alat kekuasaan yang tumpul terhadap pelanggaran prosedur, namun tajam terhadap rakyat kecil.


Reformasi KUHAP yang sejati bukan sekadar menyempurnakan pasal-pasal, melainkan memanusiakan hukum sejak awal hingga akhir proses pidana. Keadilan tidak boleh berhenti pada lembar vonis. Ia harus berdenyut dari saat seseorang ditangkap, hingga saat ia kembali ke masyarakat sebagai warga negara penuh martabat. Karena pada akhirnya, hukum yang mengabaikan manusia bukanlah hukum, melainkan kekerasan yang disahkan oleh negara.


Menggugat Arah Reformasi Hukum Pidana


Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali menjadi medan tarik-ulur antara semangat perlindungan hak warga negara dan kecenderungan negara memperluas kontrol atas proses pidana. Pertanyaan dasarnya sederhana namun krusial: apakah hukum acara pidana masih merupakan alat pencari kebenaran dan keadilan, atau justru telah bertransformasi menjadi mekanisme legalistik yang kaku, represif, dan terjebak dalam ilusi prosedur? Sayangnya, arah reformasi saat ini lebih condong pada formalisme prosedural yang menumpulkan sisi kemanusiaan hukum.


Dalam konteks ini, istilah pre pactum dan post pactum bukan sekadar istilah teknis dalam kamus hukum, melainkan jendela untuk membaca komitmen negara dalam menjamin keadilan substantif di semua tahapan proses pidana. Pre pactum menandai fase kritis seperti penangkapan dan penyidikan, di mana hak asasi tersangka rentan dilanggar tanpa pengawasan efektif. Sedangkan post pactum menyoroti pasca-putusan: apakah pemulihan korban dan rehabilitasi terpidana sungguh diakui sebagai bagian dari keadilan? Celakanya, dalam draf RUU yang ada, dua fase ini hanya disebut sepintas lalu, nyaris tanpa perlindungan normatif yang konkret.


Reformasi hukum acara pidana tidak boleh berhenti pada pembaruan redaksional atau tambal sulam prosedur. Ia harus dibangun atas kesadaran bahwa keadilan tidak cukup ditegakkan lewat kepastian hukum semu yang mengutamakan tertib administratif, tetapi mengabaikan substansi perlakuan adil terhadap manusia. Paradigma positivistik yang menempatkan hukum sebagai alat kekuasaan formal harus digantikan dengan pendekatan humanistik, di mana hukum berpihak pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia.


Tanpa koreksi arah yang tegas, RUU KUHAP justru berisiko memperkuat watak koersif aparat negara. Alih-alih memperbaiki sistem peradilan pidana, ia bisa menjadi legitimasi baru bagi praktik abuse of power dengan jubah hukum. Hukum yang hanya mencari “kepastian” tetapi melupakan "kebenaran" dan “keadilan” pada akhirnya hanya akan melanggengkan ketimpangan dan pelanggaran hak asasi yang dilembagakan. Maka saatnya publik menggugat ulang: untuk siapa sebenarnya reformasi KUHAP ini dibuat—untuk manusia atau untuk negara?


Keadilan di Tahap Pre Pactum: Saat Hak Tersangka Diuji


RUU KUHAP, yang digadang-gadang sebagai tonggak pembaruan hukum pidana nasional, justru menyisakan kekhawatiran serius di tahap pre pactum, yakni fase krusial sebelum proses peradilan formal dimulai. Di sinilah hak-hak dasar tersangka diuji secara nyata—bukan di atas kertas, melainkan dalam praktik institusional yang menentukan apakah hukum akan menjadi alat keadilan atau instrumen kekuasaan. Sayangnya, semangat perlindungan HAM dalam tahap ini masih bersifat kosmetik. Negara masih abai pada prinsip bahwa keadilan tidak dimulai di pengadilan, tetapi sejak seseorang pertama kali berhadapan dengan kekuasaan negara.


Draf RUU KUHAP Pasal 53–59 memperlihatkan bagaimana dominasi penyidik tetap dipertahankan, dengan ruang pengawasan yang sangat minim. Hak untuk diam, hak atas bantuan hukum sejak awal, serta perlindungan terhadap penyiksaan masih dikemas sebagai pasal normatif tanpa penguatan kelembagaan. Tidak ada mekanisme pengawasan real-time atau sanksi tegas terhadap pelanggaran hak-hak tersebut. Ketika aparat gagal dibatasi, maka kekuasaan berubah menjadi alat represif, bukan protektif. Due process of law pun kehilangan makna di hadapan praktik abuse of power yang dibiarkan hidup dalam ruang gelap penyidikan.


Data dari Komnas HAM (2023) mencatat 167 kasus penyiksaan oleh aparat penegak hukum selama proses penyidikan. Ini bukan angka statistik belaka, tapi alarm keras bahwa praktik torture dan intimidasi masih membentuk wajah hukum pidana Indonesia. Celakanya, mayoritas korban berasal dari kelompok rentan—masyarakat miskin, kurang pendidikan, dan tidak didampingi penasihat hukum. Artinya, pelanggaran di tahap pre pactum adalah cerminan ketimpangan struktural yang dijaga oleh pembiaran sistemik.


Prof. Herkristuti Harkrisnowo, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, telah lama mengingatkan bahwa pembaruan KUHAP harus berakar pada perlindungan martabat manusia, bukan sekadar efisiensi penegakan hukum. Menurutnya, setiap penyidikan harus tunduk pada prinsip fair trial dan akuntabilitas. Tanpa itu, RUU KUHAP berpotensi memperkuat budaya hukum yang menghukum tanpa membuktikan, dan memenjarakan sebelum memberi kesempatan membela diri. Reformasi hukum pidana seharusnya mendekonstruksi relasi kuasa antara negara dan warga, bukan melanggengkannya.


RUU KUHAP sepatutnya tidak hanya menjamin hak tersangka di atas kertas, tetapi juga mempersenjatai mereka dengan perlindungan struktural—lembaga pengawas penyidikan yang independen, kewajiban rekaman pemeriksaan, serta konsekuensi hukum yang jelas bagi pelanggaran prosedur. Keadilan di tahap pre pactum adalah fondasi legitimasi seluruh proses pidana. Bila fase awal ini rusak oleh penyiksaan, tekanan, atau manipulasi, maka seluruh bangunan hukum yang dibangun di atasnya akan cacat secara moral dan yuridis. Sebab, hukum yang membiarkan ketidakadilan di awal proses bukanlah hukum yang berpihak pada manusia—melainkan pada kekuasaan yang tak tersentuh.


Kebenaran di Tahap Post Pactum: Vonis dan Rehabilitasi yang Terlupakan


Setelah palu hakim diketuk, proses keadilan seharusnya tidak selesai. Justru di situlah babak baru dimulai: tahap post pactum, ketika sistem hukum diuji dalam kapasitasnya untuk memulihkan, bukan hanya menghukum. Sayangnya, dalam draf RUU KUHAP yang sedang digodok, fase ini nyaris diabaikan. Tidak ada pengaturan komprehensif mengenai hak-hak korban untuk memperoleh restitusi maupun hak terpidana untuk menjalani pidana secara progresif. Keadilan yang seharusnya bersifat transformatif justru terhenti pada vonis, seolah keadilan hanyalah urusan administrasi pengadilan.


Padahal, keadilan substantif memerlukan pendekatan yang lebih luas dari sekadar pidana badan. Dalam kerangka restorative justice, seperti yang dirumuskan oleh Howard Zehr (2002), fokus pemidanaan seharusnya tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga menyembuhkan luka sosial korban serta memperbaiki relasi antara individu dan masyarakat. Restorasi ini mencakup program rehabilitasi sosial, pembinaan berbasis komunitas, hingga partisipasi aktif korban dalam proses pemulihan. Namun konsep-konsep ini tidak mendapat tempat berarti dalam RUU KUHAP, yang tampak masih terpaku pada paradigma balas dendam negara terhadap pelaku.


Lebih parah lagi, hak-hak korban cenderung ditinggalkan usai vonis. Tidak ada mekanisme tegas dalam RUU KUHAP yang menjamin pemulihan psikologis, sosial atau ekonomi korban. Dalam banyak kasus, korban dibiarkan berjuang sendiri setelah persidangan, sementara negara mengklaim telah menegakkan keadilan hanya dengan menjebloskan pelaku ke penjara. Paradigma ini mengabaikan bahwa korban juga merupakan subjek keadilan yang berhak atas pemulihan dan dukungan negara. Penjara tidak menyelesaikan luka, apalagi memperbaiki tatanan sosial yang rusak akibat kejahatan.


Dari sisi terpidana, harapan atas evaluasi pidana yang progresif juga masih buram. Program pembinaan narapidana nyaris identik dengan hukuman yang stagnan dan minim intervensi rehabilitatif. RUU KUHAP belum membedakan secara tegas antara pelaku kriminal murni dan pelaku yang bersumber dari latar belakang struktural, seperti kemiskinan atau kekerasan sistemik. Tanpa pendekatan kontekstual, sistem pemidanaan kita hanya menjadi pabrik penghukuman, bukan lembaga koreksi sosial.


Post pactum adalah ruang moral bagi negara untuk membuktikan bahwa keadilan tidak berakhir di meja hijau. Ia harus menyentuh korban, mengembalikan pelaku ke masyarakat, dan memperbaiki relasi sosial yang rusak. Ketiadaan keseriusan dalam tahap ini menandakan bahwa reformasi KUHAP belum benar-benar berpihak pada manusia dalam pengertian memanusiakan manusia sebagai subjek hukum. Sebuah hukum acara pidana yang hanya berhenti pada vonis hanyalah hukum yang menunda konflik, bukan menyelesaikannya.


Kontroversi Nilai: "Barang Lebih Bernilai dari Manusia"?


Pernyataan “lebih bernilai barang daripada manusia” bukan sekadar keliru, tetapi berbahaya secara intelektual dan destruktif secara moral. Di tengah semangat reformasi hukum pidana, pernyataan ini memutarbalikkan asas kebenaran, aaas keadilan dan kemanusiaan yang seharusnya menjadi fondasi sistem hukum. Dalam negara hukum yang demokratis, manusia adalah subjek, bukan objek. Ketika hukum mulai menempatkan nilai-nilai material di atas martabat manusia, maka kita tengah menyaksikan kemunduran peradaban yang dikemas dalam bahasa legalistik.


Dari sudut pandang ekonomi, logika ini bisa saja keliru tapi terlihat rasional di permukaan. Barang memang memiliki nilai tukar yang jelas, terukur, dan dapat diperdagangkan. Namun, pendekatan ini gagal memahami teori human capital yang dikembangkan Gary Becker (1964), bahwa manusia adalah aset utama pembangunan. Investasi pada manusia—pendidikan, kesehatan, keterampilan—menciptakan nilai tambah berkelanjutan yang jauh melebihi akumulasi barang. Maka menomorduakan manusia dalam struktur ekonomi dan hukum sama artinya dengan merusak akar kemajuan bangsa.


Secara moral dan etis, pernyataan ini tidak dapat diterima dalam sistem nilai apa pun. Dalam filsafat moral Immanuel Kant, manusia adalah tujuan itu sendiri (end in itself), bukan alat untuk mencapai tujuan eksternal. Menempatkan nilai barang lebih tinggi dari manusia adalah bentuk dehumanisasi yang membuka jalan bagi kekerasan struktural, penindasan, dan pelecehan martabat individu. Sejarah telah membuktikan betapa berbahayanya ketika manusia diperlakukan sebagai komoditas: dari perbudakan, kolonialisme, hingga kapitalisme eksploitatif masa kini.


Dari perspektif sosial, pernyataan tersebut mencerminkan kegagalan sistemik dalam menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan. Dalam masyarakat yang disesaki oleh logika pasar, nilai-nilai kemanusiaan mudah ditukar dengan keuntungan jangka pendek. Ketika hukum mulai menghitung kerugian material lebih tinggi daripada luka batin, penderitaan, atau kehilangan nyawa, maka sistem itu telah melayani kapital, bukan keadilan. Ini bukan hanya persoalan bahasa, tetapi soal ideologi hukum yang sedang menyimpang dari misinya yang humanistik.


Menegaskan nilai manusia di atas barang adalah keharusan filosofis, moral, dan legal. Dalam proses hukum, hak, martabat, dan keselamatan manusia harus lebih diutamakan daripada nilai ekonomi belaka. Hukum pidana tidak boleh menjadi alat kalkulasi untung-rugi material, melainkan instrumen untuk menjaga keseimbangan antara kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Pernyataan yang menyetarakan atau bahkan menomorduakan manusia dari barang bukan hanya cacat logika, tapi juga cermin suram dari nihilisme etika yang wajib dilawan bersama.


Menuju KUHAP yang Berpihak pada Kebenaran dan Martabat


Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) seharusnya tidak disusun sekadar sebagai protokol administratif pemidanaan. Ia harus menjelma sebagai jantung keadilan yang berdetak untuk manusia, bukan hanya prosedur. Selama ini, hukum acara pidana kita kerap menjadi ruang yang dingin bagi kebenaran dan martabat, di mana teknikalitas mengalahkan substansi, dan di mana kepastian hukum digunakan sebagai selimut bagi kekuasaan yang melanggar batas. RUU KUHAP harus dibongkar dan dibangun kembali dengan satu tujuan: menjadikan hukum lebih manusiawi.


Spirit due process of law bukan sekadar jargon, tapi fondasi keadilan modern. Ia menuntut sistem hukum yang tidak hanya mengatur tata cara, tetapi juga melindungi hak setiap individu secara adil dan seimbang. Dalam konteks ini, KUHAP baru harus menempatkan human rights as the center of gravity dari seluruh proses hukum. Hak untuk diam, hak atas bantuan hukum, hak untuk bebas dari penyiksaan, hingga hak korban atas pemulihan harus dijamin secara nyata, bukan sekadar dicetak di lembar pasal.


Tak kalah penting adalah prinsip equality of arms—kesetaraan antara penuntut umum dan pembela—yang selama ini menjadi titik lemah sistem peradilan kita. Dominasi aparat penegak hukum di tahap penyidikan hingga persidangan sering membuat pembelaan menjadi formalitas semata. RUU KUHAP yang ideal harus mengatur keseimbangan kekuasaan hukum, memberikan ruang setara bagi penasihat hukum untuk membela tersangka, serta menjamin bahwa hakim berperan aktif dalam menegakkan keseimbangan itu.


RUU KUHAP juga wajib mengintegrasikan pendekatan restorative justice tidak hanya di tahap akhir, tetapi sejak pra-penyidikan. Dalam banyak negara maju, pendekatan restoratif telah menjadi prinsip utama penanganan perkara pidana ringan hingga kejahatan berbasis komunitas. Pendekatan ini bukan berarti melemahkan hukum, tapi mengembalikan orientasinya: menyembuhkan, bukan sekadar menghukum. Kita tidak bisa berharap pada keadilan yang muncul di akhir proses, jika awalnya sudah cacat secara moral dan struktural.


Terakhir, pengawasan independen terhadap aparat penegak hukum adalah keniscayaan. Tanpa mekanisme kontrol eksternal yang kuat, penyalahgunaan wewenang akan terus terjadi—mulai dari penyiksaan, kriminalisasi, hingga rekayasa kasus. RUU KUHAP harus memuat pembentukan lembaga pengawas independen yang mampu melakukan evaluasi, investigasi, dan rekomendasi terhadap setiap praktik penyidikan dan penuntutan. Hukum pidana yang tidak diawasi adalah hukum yang siap disalahgunakan. Maka, membangun KUHAP yang berpihak pada kebenaran dan martabat manusia bukanlah opsi, melainkan amanat zaman.


Penutup


Ketika hukum pidana hanya disusun demi mengejar kepastian hukum prosedural, ia berubah menjadi monumen kebenaran semu—menyandera keadilan dalam pasal-pasal kaku. Proses pidana yang digerakkan semata oleh logika formalisme justru menjauhkan sistem peradilan dari nilai-nilai substantif yang membela manusia. KUHAP tidak boleh menjadi instrumen untuk mempertahankan status quo, melainkan harus menjelma sebagai alat transformatif yang menghidupkan kembali semangat konstitusi: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Keadilan sejati bukan hasil dari kepatuhan buta terhadap aturan, tetapi lahir dari keberanian untuk menafsirkan hukum demi menjaga martabat manusia. Dalam semangat hukum progresif yang digaungkan Satjipto Rahardjo, hukum bukanlah tujuan, melainkan alat—dan jika alat itu menyakiti manusia, maka ia wajib diubah. KUHAP yang baru harus keluar dari kungkungan positivisme hukum yang rigid, dan membuka ruang bagi pendekatan yang adaptif, empatik, serta berpihak pada korban dan kelompok rentan. Sebab hukum tanpa empati adalah legalisme tanpa kemanusiaan.


Negara hukum yang ideal bukanlah negara yang mengagungkan prosedur, tetapi negara yang memastikan tidak ada satu pun warga negaranya yang terinjak martabatnya atas nama aturan. Tidak ada keadilan dalam sistem hukum yang lebih peduli pada barang daripada manusia. KUHAP masa depan harus dibangun di atas fondasi martabat, bukan sekadar doktrin. Sebab hukum yang tidak berpihak pada manusia, hanyalah alat kekuasaan yang kehilangan jiwa.


Demikian 


Penulis Advokat Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

_______________


Daftar Pustaka


1. Black’s Law Dictionary, 11th Edition. (2019). Bryan A. Garner (Ed.). Thomson Reuters.

> Referensi utama untuk pengertian pre pactum dan post pactum dalam terminologi hukum Anglo-Saxon.


2. Komnas HAM RI. (2023). Laporan Tahunan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Proses Penegakan Hukum. Jakarta: Komnas HAM.

> Menyajikan data aktual penyiksaan dan pelanggaran HAM dalam proses pra-penyidikan dan penyidikan.


3. Zehr, Howard. (2002). The Little Book of Restorative Justice. Pennsylvania: Good Books.

> Sumber utama mengenai konsep dan penerapan keadilan restoratif dalam sistem pidana modern.


4. Muladi dan Barda Nawawi Arief. (1998). Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

> Menjelaskan filosofi dan orientasi pembaruan hukum pidana di Indonesia, termasuk keadilan korektif dan rehabilitatif.


5. Sudarto. (1983). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

> Memberikan kerangka teoritik tentang asas legalitas, kepastian hukum, dan perlindungan hak tersangka/terdakwa.


6. Gary Becker. (1964). Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis with Special Reference to Education. University of Chicago Press.

> Menjadi rujukan dalam analisis nilai manusia dari sudut pandang ekonomi dan kebijakan publik.


7. Immanuel Kant. (1785). Groundwork of the Metaphysics of Morals.

> Menjadi rujukan moral bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat (prinsip etika deontologis).


8. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2014). Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 tentang Hak Tersangka atas Bantuan Hukum Sejak Dini.

> Menguatkan prinsip fair trial dalam konteks pre pactum hukum acara pidana.


9. Barda Nawawi Arief. (2009). Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

> Memberikan pandangan mengenai paradigma penegakan hukum pidana yang manusiawi dan progresif.


10. Harkrisnowo, Herkristuti. (2011). Mencari Model Ideal KUHAP: Pendekatan Humanistik dalam Hukum Acara Pidana. Jakarta: Universitas Indonesia.

> Menekankan pentingnya jaminan hak tersangka sejak awal penyidikan dan urgensi keadilan prosedural.


11. Tim Perumus RUU KUHAP (Kemenkumham). (2023). Draft Naskah Akademik dan RUU KUHAP (versi publik).

> Menjadi acuan utama untuk kritik terhadap substansi RUU KUHAP, khususnya pasal-pasal tentang pra dan pasca peradilan.


12. Satjipto Rahardjo (2006). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Kompas.

→ Dasar teori hukum progresif yang mendobrak formalisme hukum demi keadilan substantif.


13. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). (1966).

> Pasal 14 ICCPR menjadi landasan global bagi prinsip due process of law dan perlindungan terhadap tersangka sejak awal.


14. UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime). (2020). Handbook on Restorative Justice Programmes.

→ Panduan internasional penerapan keadilan restoratif dalam hukum pidana.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)