"Kejaksaan Agung : Membongkar Jaringan Korupsi di USU Yang Menghancurkan Pendidikan Tinggi"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)


Pendahuluan 


Pertemuan formal antara Ketua Umum PP IKA USU, Romo H. R. Muhammad Syafi’i, dengan Jaksa Agung Dr. ST. Burhanuddin, yang dipublikasikan melalui akun Instagram resmi pada 22 April 2025, bukanlah sekadar ajang silaturahmi alumni. Di balik senyum kamera dan sapaan formal, tersirat persoalan serius yang tak bisa dikesampingkan: Universitas Sumatera Utara tengah berada di titik nadir kepercayaan publik. Kampus yang dulu disegani sebagai pusat intelektual kini dipertanyakan integritasnya, dengan serangkaian dugaan korupsi dan manipulasi aset negara.


Salah satu isu paling mencolok adalah pengelolaan Kebun Sawit USU di Tabuyung, Kabupaten Mandailing Natal, seluas lebih dari 5.500 hektare. Sejak tahun 2012, laporan kerugian terus terjadi, namun secara ironis, kebun ini tetap memperoleh suntikan kredit dari Bank BNI hingga Rp228 miliar. Fakta ini mengundang tanya besar: bagaimana aset negara yang merugi lebih dari satu dekade bisa mendapat kucuran dana triliunan dari lembaga keuangan milik negara? Keterangan resmi tak pernah muncul, transparansi nihil, dan tanggung jawab manajerial nyaris tak terdengar.


Lebih mencurigakan lagi, temuan dari Indonesian Audit Watch (IAW) yang dipimpin Iskandar Sitorus menunjukkan adanya potensi kerugian negara senilai Rp28 miliar dalam pengelolaan kebun sawit USU. Jika data ini sahih, maka publik berhak mendesak penegakan hukum yang tidak pandang bulu, termasuk terhadap pejabat kampus dan pihak eksternal yang terlibat. Di tengah situasi ini, pertemuan IKA USU dengan Kejaksaan Agung menjadi krusial—apakah akan diikuti tindakan investigatif atau hanya berhenti pada formalitas diplomatis?


Masalah di USU tak lagi sebatas urusan internal akademik. Ini sudah masuk wilayah kejahatan pengelolaan keuangan negara, konflik kepentingan, dan pelanggaran terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menekankan tata kelola pendidikan yang transparan dan akuntabel. Jika institusi pendidikan tinggi bisa bebas bermain dalam proyek, kredit bank, dan kongkalikong lahan, maka kita sedang menyaksikan runtuhnya pagar etika dan hukum dari dalam kampus itu sendiri.


Pertemuan ini bisa menjadi momentum sejarah—jika ditindaklanjuti dengan langkah hukum nyata dari Kejaksaan Agung. Namun, jika dibiarkan sekadar unggahan media sosial, maka publik hanya akan kembali menyimpan pesimisme: bahwa korupsi di kampus terlalu nyaman untuk disentuh, terlalu kompleks untuk diurai, dan terlalu "berjaringan" untuk dibongkar. Di sinilah nyali dan independensi aparat penegak hukum diuji, bukan hanya dalam perkara triliunan, tapi dalam urusan membela masa depan pendidikan bangsa.


Korupsi di Kampus: Menggerogoti Mandat UU Nomor 12 Tahun 2012


Pendidikan tinggi di Indonesia dijamin oleh Undang-Undang No. 12 Tahun 2012, yang menekankan otonomi perguruan tinggi, akuntabilitas publik, dan keberpihakan terhadap kepentingan bangsa. Namun realitasnya, banyak kampus besar—termasuk USU—tersandera oleh kepentingan oligarki akademik yang menjadikan jabatan, proyek, hingga penerimaan mahasiswa sebagai komoditas.


Laporan media dan hasil investigasi independen beberapa tahun terakhir menunjukkan indikasi pelanggaran dalam pengelolaan dana hibah riset, proyek pembangunan fisik, serta manipulasi dalam pemilihan rektor. Bahkan, sejumlah mantan pejabat universitas pernah disebut-sebut dalam dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan BPK yang bersifat publik.


Jika korupsi dalam pendidikan tinggi dibiarkan, maka kampus bukan lagi tempat pencerdasan kehidupan bangsa, melainkan berubah menjadi "pabrik kekuasaan" dan "agen pembenaran" bagi status quo. Seperti ditulis Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), pendidikan yang korup tidak akan membebaskan, melainkan akan mencetak generasi penurut yang tidak kritis terhadap ketidakadilan.



Jaringan Alumni Sebagai Kekuatan Moral 


Pertemuan antara Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (PP IKA USU) dan Jaksa Agung RI tak bisa dibaca sebagai silaturahmi biasa. Dalam konteks kampus yang tengah disorot karena dugaan penyimpangan struktural dan finansial, kehadiran IKA USU di Kantor Kejaksaan Agung adalah sebuah pernyataan politik sekaligus moral. Pertanyaannya, apakah ini merupakan langkah nyata untuk membersihkan almamater dari praktik busuk? Atau sekadar penguatan jejaring kekuasaan yang menjadikan alumni sebagai pelindung, bukan pengoreksi?


Jika IKA USU serius ingin menegakkan integritas kampus, maka desakan terhadap penegak hukum harus menyasar langsung inti persoalan. Mulai dari proyek pembangunan gedung yang anggarannya membengkak tanpa penjelasan memadai, hingga pola rekrutmen dosen dan ASN yang sarat nepotisme dan minim transparansi. Kampus yang ideal seharusnya mengedepankan meritokrasi, bukan persekongkolan birokratis.


Tak hanya itu, beredar luas kabar mengenai praktik jual beli jabatan struktural di lingkungan universitas. Rektor, dekan, hingga kepala biro bukan lagi dipilih berdasarkan kualitas akademik atau kepemimpinan, melainkan karena loyalitas politik atau kekuatan logistik. Jika hal ini benar, maka universitas sedang membesarkan mentalitas calo dalam tubuh pendidik bangsa—sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai akademik dan moralitas publik.


Yang lebih berbahaya adalah keterlibatan elite kampus dalam politik praktis, baik melalui afiliasi parpol, kampanye terselubung, maupun dugaan gratifikasi dari penguasa daerah. Di sinilah kampus kehilangan jarak kritis terhadap kekuasaan. Bukannya menjadi benteng independen intelektual, universitas justru menjelma menjadi kaki tangan kekuasaan yang tak segan memperjualbelikan otoritas akademik demi akses politik dan ekonomi.


Kejaksaan Agung telah membuktikan diri dalam menangani perkara-perkara besar seperti korupsi BTS Kominfo dan skandal di Kementerian Pertanian. Maka publik menaruh harapan yang sama: bahwa di tangan yang berani, jaringan alumni tak sekadar jadi simbol, melainkan kekuatan moral untuk membongkar skandal. Jika tidak, maka IKA USU akan dicatat sejarah bukan sebagai penjaga nilai, melainkan sebagai pelindung status quo di tubuh universitas.


Peran elite universitas dalam politik praktis dan dugaan gratifikasi.



Transparansi menjadi kunci. Apalagi, Kejaksaan Agung telah menunjukkan ketegasannya dalam kasus-kasus besar, seperti korupsi BTS Kominfo dan dugaan korupsi di Kementerian Pertanian.


Dilema: Antara Penegakan Hukum dan Kekuasaan Akademik


Kampus, dalam idealisme konstitusional dan nilai-nilai Pancasila, adalah benteng moral, intelektual, dan kultural bangsa. Namun, kenyataan sering berbicara lain. Ketika jabatan strategis seperti rektor ditentukan bukan berdasarkan integritas dan kapabilitas akademik, melainkan melalui lobi politik dan jejaring kekuasaan, maka kerusakan itu dimulai dari pusat. Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent telah lama memperingatkan bahwa institusi pendidikan modern bisa menjadi instrumen reproduksi kekuasaan, bukan alat emansipasi sosial, jika tak dijaga akuntabilitas dan kebebasannya.


Kasus Universitas Sumatera Utara (USU) menjadi ilustrasi gamblang. Dugaan korupsi struktural, kerugian bisnis kebun sawit, penggelembungan anggaran, hingga praktik jual beli jabatan mencerminkan betapa kampus bisa terjebak dalam logika kekuasaan yang melampaui batas akademik. Dalam kondisi seperti ini, publik menaruh harapan besar kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk menunjukkan bahwa supremasi hukum berlaku juga di lingkungan pendidikan tinggi. Tidak ada “zona abu-abu” bagi korupsi, siapa pun pelakunya, apalagi bila mengatasnamakan almamater.


Langkah awal telah ditunjukkan lewat pertemuan antara Ketua PP IKA USU, Romo H. R. Muhammad Syafi’i, dengan Jaksa Agung pada April lalu. Namun, substansi dari pertemuan itu kini menjadi ujian moral. Apakah IKA USU benar-benar hendak membersihkan kampus dari praktik busuk, atau hanya memperkuat barikade kekuasaan di balik nama besar alumni? Transparansi menjadi kata kunci. Tanpa keterbukaan komunikasi kepada publik dan desakan konkret atas penyelidikan, maka silaturahmi itu hanya akan dicatat sebagai kosmetik politis semata.


Sementara itu, dampaknya jauh lebih luas dari sekadar nama baik USU. Ketika korupsi dibiarkan di kampus, maka masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pendidikan tinggi sebagai alat mobilitas sosial dan pencetak pemimpin masa depan. Ironisnya, saat negara menyerukan pendidikan sebagai kunci emas kemajuan bangsa, justru institusi pendidikannya digerogoti dari dalam. Jika akar masalah ini tak diberantas, maka kita sedang menyuburkan generasi dengan etika yang rapuh dan pragmatisme yang banal.


Data Transparency International menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 34/100 pada tahun 2024. Artinya, korupsi masih dianggap masalah serius dan belum tertangani sistemik. Bahkan menurut laporan gratifikasi KPK 2023, sektor pendidikan menempati peringkat kelima dalam daftar terbanyak penerimaan gratifikasi. Ini sinyal keras bahwa kampus bukan ruang steril dari praktik rente dan kolusi.


Kejaksaan Agung memiliki kesempatan dan legitimasi penuh untuk membalikkan keadaan. Penegakan hukum di sektor pendidikan tinggi bukan hanya untuk menindak pelaku, melainkan sebagai bentuk perlindungan terhadap cita-cita konstitusional bangsa. Alumni seperti Romo Syafi’i juga memiliki tanggung jawab historis untuk memastikan bahwa jaringan alumni bukan menjadi “tameng kekuasaan”, melainkan suara nurani yang membela integritas kampus. Sebab jika kampus runtuh, maka bangsa ini kehilangan tempat menyemai keadaban dan kebijaksanaan.


Saatnya Kejaksaan Bertindak Tegas


Kampus bukanlah zona netral dari jerat hukum. Universitas Sumatera Utara (USU), yang seharusnya menjadi benteng moralitas dan intelektualitas, kini justru terindikasi menjadi salah satu simpul korupsi yang merusak integritas pendidikan tinggi. Jika penegak hukum hanya menonton dari kejauhan, maka negara secara sadar membiarkan bibit kebusukan tumbuh di ladang ilmu. Kejaksaan Agung harus melihat pertemuan dengan pengurus PP IKA USU bukan sekadar silaturahmi alumni, melainkan sebagai mandat moral untuk turun tangan secara konkret.


Jaksa Agung ST. Burhanuddin, dalam berbagai kasus besar seperti Jiwasraya dan Asabri, telah menunjukkan taring dan keberanian dalam membongkar kejahatan kerah putih. Maka publik menaruh harapan serupa: agar keberanian itu juga menyentuh dunia pendidikan yang kini kian gelap oleh intrik kekuasaan dan praktek rente. USU, sebagai universitas negeri ternama, tak boleh menjadi tempat berlindung mafia anggaran, kartel jabatan akademik, atau para politisi kampus yang menyaru sebagai birokrat pendidikan.


Sudah terlalu lama dunia akademik berlindung di balik jargon “otonomi kampus” yang pada praktiknya menjadi tameng impunitas. Otonomi tidak boleh disalahartikan sebagai kebebasan dari pengawasan hukum. Justru karena otonomi itu, maka akuntabilitas harus diperkuat. Jika Kejaksaan Agung tidak segera membentuk tim investigasi khusus, maka pertemuan IKA USU–Kejaksaan hanya akan menjadi catatan manis dalam album alumni, tapi pahit dalam sejarah integritas penegakan hukum.


Lebih dari itu, membiarkan korupsi kampus tanpa intervensi hukum akan melanggengkan sistem pendidikan transaksional. Kita akan terus melahirkan lulusan yang ahli dalam menyusun proposal proyek, bukan riset ilmiah; mahir dalam lobi politik, bukan debat akademik. Kampus yang dibiarkan menjadi habitat korupsi hanya akan memperkuat oligarki baru yang bersumber dari dalam rahim universitas itu sendiri.


Karena itu, ini bukan sekadar soal USU. Ini tentang arah pendidikan nasional, tentang generasi masa depan, dan tentang keberanian negara membersihkan korupsi dari tempat yang seharusnya paling suci: kampus. Kejaksaan Agung harus bertindak—tegas, cepat, dan transparan. Penindakan atas dugaan korupsi di USU adalah pesan moral: bahwa negara masih berpihak pada kejujuran, bukan sekadar pada gelar akademik.


Penutup: Antara Harapan dan Keberanian


Pertemuan antara IKA USU dan Jaksa Agung memang menyisakan harapan. Namun harapan, tanpa keberanian moral dan langkah konkret, hanya akan tinggal sebagai wacana kosong. Dalam suasana bangsa yang sedang jenuh dengan simbolisme tanpa tindakan, publik menuntut bukti, bukan basa-basi. Apakah pertemuan itu akan membuka jalan bagi penyidikan serius di USU? Ataukah hanya menjadi alat pencitraan yang dipoles lewat unggahan media sosial?


Kejaksaan Agung, dengan segala kewenangannya, memiliki tanggung jawab historis untuk menunjukkan bahwa supremasi hukum tidak berhenti di pintu gerbang kampus. Justru di ruang akademiklah integritas seharusnya ditegakkan paling keras, karena dari situlah para pemimpin bangsa dibentuk. Jika kampus dibiarkan terjerembab dalam kubangan rente, jual beli jabatan, dan penyalahgunaan anggaran, maka kita sedang menanam benih kebangkrutan moral dalam skala nasional.


Publik tidak butuh janji atau foto-foto pertemuan yang manis. Yang dibutuhkan adalah tindakan yang tegas, terbuka, dan tak pandang bulu. Jika hukum gagal ditegakkan di institusi pendidikan, maka tak ada alasan untuk berharap hukum akan tegak di tempat lain. Sebab bila kampus tak lagi mampu menjadi benteng akal sehat dan moral publik, maka kita tengah menyaksikan senjakala nalar bangsa.


Demikian 


Penulis Advokat Dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

_____________


DAFTAR REFERENSI


1. Transparency International Indonesia (TII). (2024). Corruption Perceptions Index 2024. https://ti.or.id

> Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan di angka 34/100, menunjukkan lemahnya penegakan hukum, termasuk di sektor pendidikan.


2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Laporan Tahunan Gratifikasi.

> Sektor pendidikan berada di posisi ke-5 dalam laporan penerimaan gratifikasi tahun 2023.

https://kpk.go.id


3. Inspektorat Alumni Watch (IAW). (2024). Temuan Laporan Khusus Kebun Sawit USU Mandailing Natal.

> Dugaan penyimpangan keuangan senilai Rp28 miliar serta pembukuan rugi sejak 2012 pada kebun 5.500 ha di Tabuyung, Mandailing Natal.


4. Laporan Keuangan USU dan LHP BPK RI. (2012–2023).

> Indikasi kerugian operasional kebun sawit yang konsisten merugi tetapi tetap mendapatkan kredit BNI Rp228 miliar.


5. Chomsky, Noam & Herman, Edward S. (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York: Pantheon Books.

> Membahas bagaimana lembaga seperti universitas dapat menjadi instrumen kekuasaan jika tidak menjaga integritas moral.


6. Hehamahua, Abdullah. (2020). Korupsi di Kampus: Menyisir Praktik-praktik Rente dan Nepotisme di Lembaga Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kompas Pustaka.

> Menyoroti praktik kolusi akademik, jual beli jabatan, hingga rekrutmen dosen berbasis kedekatan politik.


7. Media Indonesia. (2024, Oktober 17). Kejaksaan Agung Tetapkan Rektor sebagai Tersangka Korupsi di PTN Jawa Timur.

[https://mediaindonesia.com]


8. Instagram Resmi Romo H. R. Muhammad Syafi’i (@romosyafii). Postingan 22 April 2025.

> Menampilkan pertemuan antara Ketua PP IKA USU dan Jaksa Agung Dr. ST. Burhanuddin.


9. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI. (2022). Pedoman Tata Kelola Perguruan Tinggi Negeri.

> Regulasi standar terkait transparansi pengelolaan keuangan, SDM, dan aset kampus.


10. Kompas.id. (2024). Editorial: Kampus dan Etika Kekuasaan.

> Kritik terhadap degradasi moral di kampus akibat campur tangan politik dan lemahnya akuntabilitas.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)