"Hentikan Praktik Pelacuran Intelektual: Rektor USU Cawe-Cawe Pilpres dan Pilkada 2024"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh Selwa Kumar (Bidang Kesenian Dan Olahraga Pengurus Pusat IKA USU)


Pendahuluan 


> “Ilmu tanpa moral hanya akan melahirkan cendekia yang berkhianat.” —  Koentjaraningrat


Universitas Sumatera Utara (USU), institusi pendidikan tertua di Sumatera, kini dihadapkan pada krisis legitimasi akademik. Harapan masyarakat agar kampus menjadi pelita perakdaban kini tergilas oleh sorotan tajam publik: kebun sawit 10.000 ha yang merugi terus-menerus, namun dapat kredit Rp 228 miliar dengan agunan kebun sawit yang merugi tersebut, gaya kelakuanan dengan tas Hermes Rp250 juta untuk elite birokrasi bak selebritis di 'semaine de la mode de Paris', dan yang paling menyakitkan itu—keterlibatan aktif rektor dalam politik praktis.


Kampus telah berubah dari rumah akal sehat menjadi panggung kekuasaan bak 'pelacur yang mengunakan rumah sendiri untuk praktek prostitusi intelektual. 

Ketika pemimpin akademik menyusupkan ambisi politik ke dalam ruang pendidikan, itulah puncak dari pelacuran intelektual.


Puncak Disorientasi: Rektor dan Cawe-Cawe Politik Praktis


Keterlibatan Rektor USU dalam politik praktis bukan isu spekulatif belaka. Saat Pilpres 2024, ia disebut-sebut berada dalam barisan pendukung pasangan Ganjar-Mahfud. Tak berhenti di situ, arah dukungan berlanjut pada pasangan Bobby Nasution–Surya untuk Pilkada Sumut 2024.


Ini adalah puncak dari disorientasi akademik.


UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dengan tegas menyebut bahwa pemimpin perguruan tinggi wajib menjaga netralitas institusi dari politik praktis. Ketika seorang rektor justru mengambil peran aktif dalam kontestasi elektoral, ia bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga menghancurkan marwah kampus.


Lebih dari itu, keterlibatan ini menciptakan tekanan psikologis bagi civitas akademika yang memiliki preferensi politik berbeda. Mahasiswa dan dosen tidak lagi merasa bebas menyuarakan pikiran, karena ruang diskusi telah dikapitalisasi oleh kepentingan politik pimpinan kampus.


Kampus Bukan Kantor Partai


Almarhum Prof. Azyumardi Azra kerap mengingatkan bahwa kampus adalah ruang netral, otonom, dan harus steril dari tarikan kuasa politik. Rektor bukan makelar suara, dan kampus bukan kantor partai. Ketika universitas dikendalikan oleh kepentingan elektoral, maka yang hilang bukan hanya integritas institusi, tetapi juga masa depan moral bangsa.


Namun, realitas hari ini menunjukkan sebaliknya. Agenda akademik seperti seminar, pelatihan, hingga pengabdian masyarakat, tak jarang disusupi kepentingan politik praktis. Soft campaign berkamuflase dalam kegiatan ilmiah, menjadikan ruang akademik kehilangan daya kritis dan independensinya. Mahasiswa dan dosen dijebak dalam atmosfer partisan, seolah loyalitas politik lebih penting dari kompetensi intelektual.


Jika hal ini dibiarkan, maka kita sedang menyaksikan erosi struktural terhadap kredibilitas akademik. Kampus bukan ruang hampa yang bisa dipermainkan elit, melainkan pilar utama pembentuk kesadaran publik yang merdeka. Ketika ruang ilmiah dikooptasi politik, maka kampus kehilangan marwahnya sebagai benteng nalar dan penjaga etika demokrasi.


Rektor Merupakan Representasi Institusi Akademik, Bukan Agen Praktik Pelacuran Politik


Universitas Sumatera Utara (USU) kini menghadapi krisis multidimensi: dari kerugian finansial hingga degradasi moral kepemimpinan. Kebun sawit USU seluas 10.000 hektare di Tabuyung terus merugi sejak 2012, tetapi tetap mendapatkan kredit jumbo dari BNI senilai Rp228 miliar. Di saat rakyat menjerit karena biaya kuliah yang kian tinggi, elit kampus justru leluasa membeli tas mewah Hermes seharga Rp250 juta. Ini bukan sekadar pemborosan—ini adalah tanda institusi telah disandera oleh segelintir elite yang kehilangan arah.


Yang lebih mengkhawatirkan adalah indikasi keterlibatan aktif Rektor USU dalam praktik politik elektoral. Dugaan rekayasa agenda kampus untuk mendukung pasangan calon tertentu di Pilpres dan Pilkada Sumatera Utara 2024 bukan lagi sekadar rumor jalanan. Aksi mahasiswa, pernyataan Majelis Wali Amanat (MWA), hingga informasi soal rektor menjadi mentor debat Pilkada telah membentuk pola yang tak bisa diabaikan: kampus telah dijadikan ladang politik, bukan rumah ilmu.


Sebagai institusi pendidikan tinggi, USU tunduk pada etika akademik dan hukum nasional. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mewajibkan netralitas pimpinan perguruan tinggi dari politik praktis. Begitu pula UU ASN dan UU Pemilu, yang melarang pejabat publik, termasuk rektor, untuk berperan dalam kampanye politik. Ketika rektor cawe-cawe dalam pemilu, ia tidak hanya melanggar undang-undang, tapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap independensi universitas.


Menurut Prof. Emil Salim, pendidikan tinggi seharusnya menciptakan ruang aman untuk pertukaran gagasan, bukan menjadi panggung kooptasi kekuasaan. Dalam konteks ini, tindakan Rektor USU adalah bentuk nyata pelanggaran terhadap asas etika dan moral akademik. Kampus bukan alat politik, dan rektor bukan agen kekuasaan. Ketika batas itu dilanggar, institusi pendidikan berubah menjadi corong propaganda, bukan pembebas nalar kritis.


Rektor adalah wajah resmi dari sebuah universitas. Tindak tanduknya mencerminkan kualitas moral dan intelektual institusi. Ketika ia memilih menjadi partisan politik, maka seluruh kampus ikut terseret dalam pusaran polarisasi. Mahasiswa menjadi korban, dosen dibungkam, dan Tridarma Perguruan Tinggi kehilangan maknanya. Dalam situasi seperti ini, bukan hanya USU yang terluka, tetapi demokrasi itu sendiri.


Kebebasan akademik bukan sekadar hak untuk berpikir, tetapi tanggung jawab untuk menjaga integritas ruang ilmiah dari kontaminasi kepentingan politik jangka pendek. Jika rektor sendiri tidak mampu membedakan antara kepemimpinan akademik dan kepentingan elektoral, maka siapa lagi yang bisa dipercaya menjaga marwah kampus? Bukankah kampus seharusnya menjadi benteng terakhir dari akal sehat bangsa?


Sudah saatnya publik, mahasiswa, dan sivitas akademika bersuara lantang: hentikan praktik pelacuran intelektual di kampus. Rektor harus dipanggil dan diperiksa. Jika terbukti, ia layak dicopot. Sebab jika hukum tidak ditegakkan di kampus, jangan harap ia akan ditegakkan di luar sana. Di tangan pemimpin kampuslah, masa depan ilmu, etika, dan demokrasi dipertaruhkan.


Penutup


Masalah Universitas Sumatera Utara bukan sekadar perilaku menyimpang individu, melainkan krisis sistemik yang menggerogoti akar moral institusi. Ketika intelektual bersekutu dengan oligarki politik, maka yang hilang bukan hanya netralitas kampus, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pendidikan tinggi. Seorang rektor yang menjelma menjadi manajer kampanye terselubung telah melukai marwah universitas sebagai rumah akal sehat bangsa.


Sudah saatnya Majelis Wali Amanat (MWA) turun dari menara gading dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap arah kepemimpinan USU. BPK dan KPK wajib membuka tabir gelap proyek strategis dan potensi konflik kepentingan yang merugikan publik. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tidak boleh berdiam diri—diamnya adalah bentuk pembiaran terhadap matinya integritas kampus di tangan kekuasaan.


Jika kampus terus dibiarkan tenggelam dalam lumpur politik, maka pendidikan Indonesia sedang dijual secara cicilan kepada elite yang rakus. Kita harus berkata cukup. Hentikan pelacuran intelektual. Kembalikan kampus pada jati dirinya: ruang merdeka bagi ilmu, etika, moral dan kebenaran.


Demikian 


Penulis Pengiat Kebudayaan Dan Alumni Fakultas Sastra Sekarang Ilmu Budaya USU Stambuk' 87 

___________

Daftar Pustaka


1. Koentjaraningrat. (2009). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.


2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.


3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.


4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.


5. Azyumardi Azra. (2016). Perguruan Tinggi dan Tantangan Globalisasi. Jakarta: LP3ES.


6. Emil Salim. (2021). Etika dan Integritas Akademik. Pidato dalam Forum Rektor Indonesia.


7. DetikSumut. (18 November 2024). Mahasiswa Minta Rektor USU Diperiksa Terkait Cawe-Cawe Pilgubsu. https://www.detik.com/sumut/berita/d-7645049


8. Tempo. (2023). Tas Hermes dan Skandal Gaya Hidup Pejabat Kampus.


9. Laporan MWA. (2024). Laporan Rugi Kebun Sawit USU di Tabuyung, Kab. Mandailing Natal 


10. KBA News, https://kbanews.com/resonansi/disorientasi-petinggi-usu-tas-hermes-rp250-juta-laporan-rugi-kebun-sawit-10-000-ha-hingga-rektor-cawe-cawe-pilpres-dan-pilkada-sumut-2024/


11. Kebun sawit USU di Tabuyung,http://www.baraktime.com/2025/05/lorong-gelap-pengelolaan-kebun-sawit.html

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)