"Asas Res Judicata dan Sengketa Empat Pulau: Pemerintahan Tak Boleh Melupakan Putusan Sendiri"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Penggiat Hukum Tata Negara)


Pendahuluan 


 “Fiat Justitia Ruat Caelum — Let justice be done though the heavens fall.” ---"Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit runtuh."


Sengketa kepemilikan atas empat pulau—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali mengemuka, menyentak nalar publik tentang cara negara ini mengelola batas-batasnya. Ketika wilayah teritorial berubah status tanpa konsensus yang kokoh, bukan hanya batas pulau yang dipertaruhkan, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem administrasi dan supremasi hukum.


Yang mengejutkan, konflik ini bukanlah peristiwa baru. Sejak tahun 2009, terdapat proses administrasi pengusulan perubahan nama dan koordinat oleh Pemerintah Aceh. Namun ironisnya, hasil verifikasi justru menyatakan bahwa keempat pulau tersebut tidak terdaftar dalam data wilayah Aceh, sementara Sumatera Utara mencatatnya dengan sah. Lalu, pada tahun 2022, Kementerian Dalam Negeri secara resmi menetapkan pulau-pulau tersebut masuk dalam wilayah Sumut. Penetapan ini diulang kembali pada 2025, memicu reaksi keras dari Aceh. Apakah kita sedang menyaksikan administrasi yang melupakan rekonsiliasi historis?


Aceh menilai bahwa perubahan status pulau-pulau tersebut cacat prosedur dan menafikan kesepakatan-kesepakatan lama, termasuk Surat Kesepakatan Bersama tahun 1992 yang disahkan oleh Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut saat itu, serta disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri. Bila dokumen administratif yang ditandatangani para pemimpin masa lalu tidak lagi dihormati, lantas di mana pijakan moral dan hukum bagi kontinuitas pemerintahan daerah?


Kita patut curiga, apakah ini sekadar konflik administratif atau ada aroma tarik-menarik kepentingan politik dan sumber daya di baliknya? Empat pulau bukan sekadar titik koordinat; mereka menyimpan potensi ekonomi perikanan, jalur transportasi laut, bahkan kepentingan strategis pertahanan. Dalam konteks itu, pemaksaan keputusan administratif tanpa penyelesaian substansial hanya akan memperdalam luka sosial antara dua provinsi bertetangga yang historisnya bersaudara.


Dalam iklim demokrasi yang sehat, perbedaan harus diselesaikan melalui musyawarah dan penghormatan pada hukum, bukan lewat keputusan yang sepihak. Negara tidak boleh menjadi aktor yang memperkeruh konflik antar daerah. Jika prinsip res judicata diabaikan, dan putusan yang sudah final dilabrak oleh tafsir baru, maka Indonesia sedang membuka pintu bagi kekacauan administratif yang lebih luas. Dan jika hukum tak lagi menjadi penengah, kita akan menyaksikan pemerintah menjadi penyulut konflik, bukan penyelesainya.


Asas Res Judicata: Hukum Tak Boleh Mencla-mencle


Dalam negara hukum modern, kepastian hukum bukan sekadar prinsip etis, melainkan fondasi utama dalam setiap tindakan pemerintahan. Jika pemerintahan hari ini merasa bebas mengabaikan atau menganulir kesepakatan pemerintahan sebelumnya tanpa mekanisme hukum yang sah, maka kita sedang bergerak dari sistem hukum menuju kekuasaan tafsir. Seperti diingatkan Jimly Asshiddiqie (2006), negara hukum tidak boleh digantungkan pada figur pemimpin atau rezim, tetapi pada norma dan institusi yang ajek.


Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara, yang disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri kala itu, bukanlah dokumen biasa. Ia adalah perjanjian administratif antar dua pemegang mandat resmi negara. Dalam prinsip hukum publik maupun privat, kesepakatan adalah hukum bagi para pihak—pacta sunt servanda. Mengingkari SKB ini sama saja dengan merobek legitimasi hukum itu sendiri, dan membuka jalan bagi kekacauan dalam hubungan antarpemerintahan.


Prof. Lacia Marzuki, pakar hukum tata negara dan mantan Hakim Konstitusi, menyebut fenomena ini sebagai bentuk “amnesia administratif”. Dalam wawancaranya, ia menegaskan bahwa, “Negara tidak boleh membiarkan struktur pemerintahannya kehilangan memori hukum. Jika SKB yang diteken pejabat tinggi dan disaksikan Mendagri bisa diabaikan begitu saja, kita sedang membangun sistem ad hoc, bukan republik.” Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa mengingkari prinsip pacta sunt servanda akan menggerus kepercayaan publik terhadap negara sebagai pemelihara janji institusional.


Menurut Marzuki, penetapan sepihak oleh Kemendagri pada 2022 dan pengulangannya pada 2025 adalah bentuk deligitimasi diam-diam terhadap akta administrasi yang sah. Padahal dalam tata pemerintahan modern, setiap perubahan fundamental atas status wilayah seharusnya melalui mekanisme hukum yang partisipatif, transparan, dan dapat diuji. Keputusan administratif yang menggugurkan kesepakatan tertulis tanpa evaluasi yuridis tidak hanya cacat prosedur, tetapi juga cacat etika pemerintahan.


Jika pemerintah pusat abai terhadap prinsip "pacta sunt servanda", maka apa jaminannya bahwa kesepakatan-kesepakatan serupa—baik antar provinsi, antar wilayah adat, maupun antara daerah dan pusat—akan dihormati di masa mendatang? Tanpa penghormatan pada dokumen yang sah, pemerintahan akan kehilangan kontinuitasnya, dan setiap kepala daerah akan merasa berhak menafsir ulang batas, nama, dan wilayah. Dalam sistem seperti ini, yang terjadi bukan negara hukum, tapi negara tafsir. Dan tafsir, seperti kita tahu, bisa ditulis siapa saja—asal punya kekuasaan.


Menyoal Kepastian Hukum Dalam Tata Pemerintahan


Kepastian hukum bukan sekadar jargon normatif dalam konstitusi, melainkan tulang punggung negara modern. Dalam sistem administrasi pemerintahan, ia adalah penuntun utama agar kebijakan tak berubah semaunya hanya karena rezim berganti. Jimly Asshiddiqie (2006) mengingatkan bahwa tanpa kepastian hukum, negara akan terjerumus ke dalam praktik otoritarianisme lunak—berpakaian hukum, tapi digerakkan oleh kehendak politis sesaat. Jika kesepakatan pemerintahan sebelumnya dapat dibatalkan sepihak tanpa mekanisme yuridis, maka kita sedang menyaksikan lahirnya negara tafsir personal, bukan negara hukum.


SKB 1992 antara Gubernur Aceh (Ibrahim Hasan) dan Gubernur Sumut (Raja Inal Siregar), yang disahkan di hadapan Menteri Dalam Negeri, bukan dokumen biasa. Ia adalah pacta sunt servanda dalam konteks administrasi teritorial—kesepakatan yang mengikat dan berlaku sebagai hukum bagi para pihak. Dalam konteks otonomi daerah, SKB seperti ini adalah jangkar stabilitas. Mengabaikannya berarti membuka kotak pandora konflik horizontal. Bagaimana mungkin negara yang mengklaim menjunjung rule of law justru mengabaikan jejak hukum yang sah dari masa lalu?


Prof. Saldi Isra, Hakim Mahkamah Konstitusi dan akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, menilai bahwa kesepakatan antar daerah seperti SKB 1992 wajib dihormati sebagai dokumen hukum administratif yang berkelanjutan. “Jangan sampai pemerintahan berjalan tanpa memori institusional. Jika SKB bisa diabaikan, maka kesepakatan-kesepakatan lainnya juga terancam kehilangan legitimasi,” tegasnya dalam kuliah umum di Padang. Bagi Saldi, apa yang terjadi dalam sengketa pulau ini merupakan ujian konkret bagi komitmen negara terhadap due process of law.


Sayangnya, langkah Kementerian Dalam Negeri yang menetapkan kembali empat pulau ke wilayah Sumatera Utara pada tahun 2025 tanpa menyentuh substansi SKB 1992 justru menimbulkan pertanyaan serius: apakah pemerintah pusat sedang abai terhadap prinsip hukum yang mereka sendiri bentuk? Ini bukan sekadar soal peta dan koordinat. Ini tentang menghormati memori hukum dan menjaga keberlanjutan pemerintahan sebagai entitas yang tidak boleh berjalan dengan lupa ingatan.


Jika negara terus membiarkan keputusan administratif mengalahkan dokumen yang sah, maka konflik batas wilayah akan menjelma bom waktu. Aceh dan Sumut adalah contoh nyata, dan hari ini pulau-pulau itu adalah simbol dari konflik diam yang menunggu meledak. Yang dibutuhkan bukan penetapan sepihak, tapi penghormatan pada sejarah hukum. Sebab jika hukum tak lagi dihormati oleh mereka yang memerintah, mengapa rakyat harus percaya kepada negara?


Politik Identitas dan Aroma Separatisme Administratif


Di balik polemik empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, terselip fenomena yang jauh lebih mengkhawatirkan: menguatnya politik identitas dalam pengelolaan administrasi negara. Ketika sebagian elite lokal menafsir ulang batas wilayah hanya karena faktor historis-kultural tanpa dasar hukum yang jelas, maka yang muncul bukan semangat otonomi, melainkan aroma separatisme administratif. Klaim yang dibungkus narasi sejarah masa lalu, jika tak ditopang fakta hukum yang sah, berisiko mencabik tatanan kewilayahan nasional.


Tindakan seperti ini berbahaya bukan karena semangat lokalitasnya, tetapi karena ia menabrak prinsip rule of law yang telah disepakati bersama. Pemerintahan tidak bisa berjalan dengan logika "dulu wilayah kami", jika tidak ada dokumen yuridis yang mengikat. Jika pendekatan semacam ini dibiarkan, maka akan ada celah preseden yang memungkinkan daerah lain melakukan hal serupa: menuntut ulang batas wilayah hanya karena faktor etnisitas, narasi sejarah, atau sentimen lokal yang belum tentu diverifikasi secara administratif. Inilah titik rawan dari politik identitas yang menjelma menjadi instrumentalisasi batas wilayah.


Indonesia adalah negara hukum, bukan negara tafsir sejarah. Klaim wilayah harus tunduk pada kesepakatan formal dan mekanisme konstitusional, bukan pada tekanan politik sektoral. Jika politik identitas dibiarkan mengambil alih ranah administrasi pemerintahan, maka yang terjadi bukan hanya kekacauan wilayah, tapi juga fragmentasi kebangsaan yang pelan-pelan menghancurkan fondasi persatuan. Konflik empat pulau ini harus menjadi pelajaran: bahwa hukum, bukan historiografi subjektif, adalah fondasi tunggal dalam menetapkan siapa berhak atas apa di dalam Republik ini.


Kementerian Dalam Negeri Harus Tegas: Hukum Jangan Diseret ke Politik


Kementerian Dalam Negeri Harus Tegas: Hukum Jangan Diseret ke Politik


Di tengah hiruk-pikuk klaim sepihak dan narasi identitas wilayah, publik menanti ketegasan dari Kementerian Dalam Negeri. Bukan sebagai penonton pasif atau pengarsip sejarah, melainkan sebagai penjaga otoritas kewilayahan nasional. Dalam konteks polemik empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, Kemendagri tidak cukup hanya menjadi “saksi sejarah” dalam SKB 1992. Kini, saatnya mengambil sikap tegas dan afirmatif: meneguhkan SKB tersebut sebagai dokumen final settlement yang binding dan memiliki kekuatan hukum tetap.


Konflik ini bukan semata soal batas geografis, tetapi juga tentang batas wewenang dan kredibilitas tata kelola negara. Jika satu kesepakatan resmi yang ditandatangani oleh dua gubernur dan disahkan oleh Mendagri bisa diabaikan karena tekanan politik lokal, maka bagaimana nasib puluhan SKB lainnya yang tersebar di berbagai daerah? Akankah semua dibuka ulang atas dasar tafsir baru? Inilah bentuk pelemahan hukum secara sistemik jika negara tak segera bertindak.


Prof. Dr. Ismail Suny, ahli hukum tata negara dari Universitas Indonesia, pernah menegaskan bahwa, “Jika negara tidak tegas dalam menegakkan administrasi pemerintahan, maka akan muncul ruang abu-abu yang diisi oleh tekanan politik sektoral.” Dalam konteks ini, menurut Suny, Kemendagri memegang peran sentral dalam menjaga integritas batas wilayah sebagai bagian dari sistem hukum nasional, bukan arena kompromi politis. "Negara tak boleh gamang ketika harus memilih antara kepastian hukum atau akomodasi politis lokal—karena hukum nasional adalah perekat Republik," tegasnya.


Sudah saatnya Kemendagri mengeluarkan penetapan administratif yang jelas dan final, menyatakan bahwa SKB 1992 adalah dasar tunggal penentuan status empat pulau yang disengketakan. Penetapan ini tidak hanya menjadi rujukan bagi daerah, tetapi juga bagi instansi teknis seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menindaklanjuti dengan langkah konkret: sertifikasi, pemetaan, dan penegasan yuridis berbasis geospasial.


Namun penyelesaian tidak cukup berhenti di meja eksekutif. Jalur legislatif juga harus ditempuh untuk memperkuat dasar hukum administratif yang sudah ada. Revisi terhadap regulasi teknis seperti Peraturan Pemerintah atau bahkan Undang-Undang tentang Penataan Wilayah bisa dipertimbangkan agar mencakup kasus-kasus konkret seperti ini. Tujuannya jelas: agar tidak ada lagi ruang perdebatan di masa depan, dan peta administrasi nasional benar-benar final dan mengikat.


Sebagaimana diingatkan Mahfud MD (2020), “Negara hukum tidak boleh tunduk pada tafsir kekuasaan lokal. Justru sebaliknya, seluruh wilayah administratif harus tunduk pada satu sistem hukum nasional yang utuh dan konsisten.” Artinya, Kemendagri bukan hanya punya hak, tapi berkewajiban untuk menjaga agar kepentingan politik lokal tidak mendikte konstitusi.


Jika negara terus mengalah pada dinamika politik daerah, maka yang kita bangun bukan negara kesatuan, tetapi federasi semu yang rawan disintegrasi administratif. Dalam konteks ini, Kemendagri tidak boleh hanya jadi juru damai, tetapi harus menjadi wasit konstitusional yang mengembalikan semua pada rel hukum. Sebab sekali hukum dikalahkan oleh politik, maka seluruh wilayah negara akan menjadi panggung sengketa yang tak pernah usai.


Penutup


Negara ini terlalu sering menyia-nyiakan waktunya dalam pusaran konflik yang sebenarnya telah selesai secara hukum. Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara bukanlah kasus baru—dan lebih dari itu, bukan pula konflik yang belum pernah diselesaikan. Ia telah selesai sejak 1992 melalui SKB yang sah dan disaksikan pemerintah pusat. Maka dalam logika hukum tata negara, keputusan itu telah memiliki karakter res judicata: final, mengikat, dan tidak dapat diganggu gugat oleh tafsir politik sesaat.


Dalam doktrin res judicata, yang juga diakui dalam asas-asas hukum umum, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, keputusan sah yang telah diambil dan ditandatangani oleh para pihak berwenang tidak boleh dibuka ulang kecuali melalui mekanisme hukum yang luar biasa. Mengabaikan asas ini berarti merusak sendi dasar kepastian hukum dan mengundang kekacauan administratif berulang. SKB 1992, dalam kerangka ini, adalah kontrak politik-administratif yang berdiri sebagai hukum bagi para pihak (pacta sunt servanda)—bukan sekadar catatan sejarah.


Jangan sampai kita menjadi bangsa yang terus mengulang kesalahan Abu Nawas: membuat keputusan dengan serius, lalu menertawainya sendiri karena kekuasaan berganti. Negara hukum tidak mengenal "ulang tahun konflik" yang datang silih berganti. Negara hukum menuntut konsistensi, keberanian, dan ketegasan. Maka, biarlah SKB 1992 berdiri tegak sebagai benteng res judicata yang tak boleh dirobohkan oleh gelombang politik lokal. Yang dipertaruhkan bukan hanya empat pulau—tetapi legitimasi pemerintahan itu sendiri.


Demikian.


Penulis Advokat Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut.

_____________

Daftar Referensi


1. Asshiddiqie, Jimly. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

→ Menjelaskan asas negara hukum modern dan prinsip kepastian hukum dalam administrasi pemerintahan.


2. Suny, Ismail. (1982). Mekanisme Demokrasi Pancasila dalam Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: UI Press.

→ Membahas pentingnya supremasi hukum dalam tata kelola pemerintahan dan integritas kewilayahan negara.


3. Isra, Saldi. (2021). Negara Hukum dan Kekuasaan: Dialektika Konstitusi dalam Praktik. Padang: FH Unand Press.

→ Memberikan penekanan pada pentingnya rule of law dan bahaya politisasi tafsir hukum dalam konteks otonomi daerah.


4. Mahfud MD. (2020). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

→ Menggarisbawahi bahwa tafsir hukum lokal tidak boleh menelikung sistem hukum nasional yang konsisten dan final.


5. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 19/PUU-VI/2008

→ Menegaskan asas res judicata: putusan atau kesepakatan final yang sah tidak bisa dibuka ulang tanpa mekanisme hukum formal.


6. Kementerian Dalam Negeri RI. (1992). Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara tentang Batas Wilayah Administratif.

→ Dokumen resmi yang menjadi dasar hukum status kepemilikan empat pulau yang disengketakan.


7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

→ Menjelaskan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam penataan wilayah administratif.


8. Konstitusi Republik Indonesia UUD 1945, Pasal 18 dan Pasal 18B

→ Mengatur prinsip otonomi daerah dan pengakuan kesepakatan administratif antarwilayah dalam bingkai negara kesatuan.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)