Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)
Pendahuluan
Prof. Dr. A.P. Parlindungan Lubis, SH: "Tanah Swapraja → Revolusi Sosial → Tanah Negara Bebas → Harus Didistribusikan Untuk Rakyat
(Bukan milik negara absolut)"
Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur bukan sekadar pergolakan politik antikolonial. Ia adalah ledakan sosial yang menumbangkan struktur aristokrasi Melayu yang bersimbiosis dengan kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang. Salah satu warisan paling kompleks dari revolusi ini adalah keberadaan “Tanah Negara Bebas”—sebuah kategori tanah yang hingga kini masih menyisakan ketegangan dan ketidakpastian dalam sistem penguasaan lahan di Sumatera Timur, khususnya di wilayah eks-Keresidenan Sumatera Timur seperti Deli Serdang, Langkat, Asahan, dan Serdang Bedagai.
Artikel ini menganalisis dampak revolusi sosial terhadap perubahan struktur penguasaan tanah, konflik yang menyertainya, serta dinamika sosial-politik yang membentuk narasi kepemilikan tanah di Sumatera Timur pasca-1946.
*Revolusi Sosial 1946 di Sumatera Timur: Tumbangnya Feodalisme*
Revolusi Sosial 3 Maret 1946 dilancarkan oleh kaum buruh, tani, dan pemuda revolusioner, termasuk unsur Laskar Rakyat dan beberapa simpatisan PKI dan Pesindo. Mereka menyerbu istana-istana sultan dan raja-raja Melayu yang dinilai pro-Belanda dan penindas rakyat. Revolusi ini menewaskan puluhan bangsawan dan menghapus struktur kerajaan feodal.
Dampak revolusi begitu besar terhadap struktur sosial-politik: tanah-tanah bekas kesultanan yang sebelumnya diberikan kepada bangsawan sebagai bagian dari hak ulayat atau tanah swapraja diambil alih oleh negara. Inilah awal mula munculnya kategori “Tanah Negara Bebas”.
*Tanah Negara Bebas: Definisi dan Ketidakpastian Hukum*
Secara yuridis, Tanah Negara Bebas adalah tanah bekas milik swapraja atau kesultanan yang tidak dikuasai lagi oleh pihak feodal dan belum diberikan hak kepada siapa pun, baik individu maupun badan hukum. Tanah ini di bawah penguasaan negara namun status hukumnya seringkali “abu-abu” karena tidak didaftarkan atau tidak memiliki sertifikat formal.
Setelah UUPA No. 5 Tahun 1960, prinsip state control terhadap tanah ditegaskan, namun dalam praktiknya, khususnya di Sumatera Timur, Tanah Negara Bebas justru menjadi ruang tarik-menarik antara elite lokal, masyarakat adat, korporasi perkebunan, dan aparat negara.
*Dinamika Penguasaan Tanah: Antara Masyarakat, Negara, dan Korporasi*
Pasca revolusi, banyak tanah bekas istana diserobot oleh masyarakat sebagai bentuk penguasaan de facto. Di sisi lain, pemerintah Indonesia (terutama sejak Orde Baru) mengalihkan ribuan hektar tanah kepada perusahaan-perusahaan besar, seperti PTPN, melalui Hak Guna Usaha (HGU). Banyak konflik muncul ketika masyarakat yang sudah tinggal puluhan tahun dianggap sebagai “pendatang liar” di tanah negara yang telah diberi izin HGU kepada korporasi.
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA, 2023), dari 2.710 konflik agraria di Indonesia, sekitar 340 kasus berasal dari Sumatera Utara—mayoritas terkait dengan konflik tanah negara bebas yang diklaim oleh masyarakat maupun perusahaan.
*Warisan Konflik: Tanah Tak Bertuan yang Jadi Sengketa*
Salah satu contoh paling menonjol adalah konflik di Desa Simalingkar A dan B, Deli Serdang, antara petani dan PTPN II. Tanah seluas 854 hektar yang diklaim sebagai tanah negara bebas oleh masyarakat justru diklaim sebagai HGU oleh PTPN, meski masa hak guna usahanya telah habis sejak 2000-an. Hingga kini, konflik ini belum sepenuhnya terselesaikan.
Teori agrarian populism dari Jan Douwe van der Ploeg menjelaskan dinamika ini sebagai pertarungan antara kekuatan negara-korporasi dan petani kecil yang memperjuangkan akses terhadap tanah demi kelangsungan hidup mereka. Dalam banyak kasus, negara justru tampil sebagai aktor represif ketimbang fasilitator keadilan agraria.
*Fenomena “Grand Sultan”: Antara Identitas Budaya dan Rekonstruksi Feodalisme Semu*
Pasca Revolusi Sosial 1946 yang menggulingkan kekuasaan aristokrasi Melayu di Sumatera Timur, banyak mengira pengaruh feodalisme telah benar-benar sirna. Namun realitas sosial hari ini menunjukkan hal sebaliknya: figur-figur baru yang menyebut diri sebagai “Grand Sultan”—baik dari Kesultanan Deli, Serdang, maupun Langkat—kembali muncul, mengklaim takhta budaya yang sudah runtuh. Tak jarang, klaim ini disertai tuntutan atas hak penguasaan tanah bekas swapraja, dengan mengatasnamakan “hak waris” atau “hak adat” yang kabur.
Fenomena ini menjadi tumpang tindih antara warisan budaya dan ambisi kontemporer. Gelar “Sultan” yang semula simbolik dan kultural, kini digunakan sebagai alat legitimasi untuk mengakses sumber daya ekonomi—terutama tanah. Sering kali, klaim-klaim ini tidak berdiri atas konsensus adat yang sahih, tetapi berasal dari rekayasa silsilah, yayasan adat bentukan politis, atau bahkan hanya modal administratif belaka.
Sebagaimana diingatkan oleh Prof. Dr. A.P. Parlindungan, S.H., dalam karya klasiknya “Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria”:
> “Dengan hapusnya swapraja, maka hapus pula hak-hak yang timbul dari susunan hukum feodal. Maka tanah-tanah bekas kerajaan, bila tidak dimiliki oleh rakyat, jatuh menjadi tanah negara bebas.” (Parlindungan, 1990: 130)
Pernyataan ini secara tegas membantah klaim sepihak para “Sultan” baru terhadap tanah adat yang telah menjadi tanah negara bebas berdasarkan UUPA 1960. Lebih lanjut, Parlindungan menjelaskan bahwa:
> “Tidak ada lagi hak yang berdiri di luar kontrol negara, sebab prinsip dasar agraria nasional adalah penghapusan dualisme hukum dan peneguhan hak rakyat atas sumber daya.” (ibid: 132)
Melalui perspektif ini, kita melihat bahwa kebangkitan “Grand Sultan” di Sumatera Timur bukan sekadar fenomena kultural, tetapi bagian dari proses re-feodalisasi simbolik—sebuah upaya menciptakan ulang otoritas lama dengan maksud mengakses kuasa ekonomi modern. Dalam istilah Antonio Gramsci, ini merupakan bentuk hegemoni pasca-politik, di mana simbol kultural digunakan untuk mempertahankan dominasi kelas lama yang kehilangan pijakan formalnya.
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, dari 120 konflik agraria di Sumatera Utara sepanjang 2015–2022, sedikitnya 12 konflik berakar pada klaim tanah oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan “Sultan” atau lembaga adat bayangan. Dalam banyak kasus, masyarakat adat asli dan petani penggarap justru menjadi korban penggusuran atas nama warisan kerajaan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa ketika negara lalai menyelesaikan warisan konflik agraria pasca-revolusi sosial secara struktural dan historis, ruang kosong itu diisi oleh aktor-aktor simbolik yang mempolitisasi identitas. Maka, tanah negara bebas yang seharusnya menjadi alat keadilan sosial kini diperebutkan dengan narasi kultural yang tidak selalu berdasar.
*Cara Pandang Guru Besar Hukum Agraria USU Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH Terhadap Tanah Negara Bebas*
Dalam diskursus hukum agraria Indonesia, pandangan Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH menjadi rujukan penting, terutama terkait keberadaan Tanah Negara Bebas pasca penghapusan hak-hak swapraja. Dalam sejumlah tulisan dan kuliahnya, Prof. Parlindungan menyebut bahwa "Tanah Negara Bebas adalah tanah yang ditinggalkan oleh penguasa feodal atau kesultanan yang sudah tidak mempunyai hak yuridis apa pun setelah revolusi sosial dan pemberlakuan UUPA 1960."
Menurut beliau, dalam perspektif hukum agraria nasional, status Tanah Negara Bebas seharusnya ditempatkan sebagai tanah negara dalam pengertian publik, bukan sebagai res nullius (tanah tak bertuan), apalagi dikuasai sewenang-wenang oleh negara. Ia mengkritik praktik penguasaan tanah oleh korporasi besar yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal yang sudah mengelola tanah tersebut selama bertahun-tahun secara turun-temurun.
Lebih jauh, Prof. Parlindungan mengusulkan agar negara melakukan inventarisasi dan redistribusi tanah negara bebas kepada rakyat, bukan kepada korporasi atau elite kekuasaan. Baginya, prinsip keadilan sosial dalam Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi dasar tata kelola tanah pasca revolusi.
Pandangan ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, yang menekankan pada prinsip penguasaan tanah oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan semata untuk kepentingan ekonomi atau investasi sempit.
*Penutup*
Revolusi Sosial 1946 berhasil meruntuhkan dominasi feodalisme, tetapi gagal melahirkan sistem distribusi tanah yang adil. Tanah Negara Bebas menjadi lahan konflik struktural karena ketiadaan pendataan, kejelasan hukum, dan political will pemerintah untuk menyelesaikannya. Tanah ini tak bertuan, namun justru dikuasai oleh yang paling kuat—baik itu negara, korporasi, atau elite lokal.
Untuk masa depan Sumatera Timur yang lebih adil, reformasi agraria harus menjadikan Tanah Negara Bebas sebagai prioritas penyelesaian. Pemerintah perlu meninjau ulang seluruh hak guna usaha dan memberikan legalitas kepada masyarakat yang telah menguasai tanah secara turun-temurun. Tanpa itu, warisan konflik pasca-revolusi 1946 akan terus hidup dan menelan korban baru.
Demikian.
---
Daftar Pustaka:
1.Parlindungan, A.P. (1990). Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Mandar Maju.
(Referensi utama mengenai konsep Tanah Negara dan penguasaan negara terhadap tanah pasca UUPA 1960).
2. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. (1954). Laporan Pemerintah tentang Revolusi Sosial di Sumatera Timur. Jakarta: Arsip Nasional RI.
(Dokumen primer mengenai dampak revolusi sosial terhadap struktur kekuasaan dan kepemilikan tanah)
3. Lubis, A. Y. (1990). Revolusi Sosial di Sumatera Timur 1946: Studi Tentang Perubahan Sosial. LP3ES.
4. Reid, A. (1981). Revolusi Sosial: Revolusi Nasional. Prisma, 8, 33“40.
5. BPN RI. (2018). Status dan Penguasaan Tanah Negara di Indonesia. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional.
6. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2023). Laporan Tahunan Konflik Agraria.
7. van der Ploeg, J. D. (2008). The New Peasantries: Struggles for Autonomy and Sustainability in an Era of Empire and Globalization. Earthscan.
8. Boedi Harsono. (2005). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
(Rujukan penting untuk memahami hukum agraria dan kedudukan tanah negara dalam sistem hukum Indonesia).
9. Lucas, Anton & Warr, Peter. (2013). Land for the People: The State and Agrarian Conflict in Indonesia. Athens: Ohio University Press.
(Studi internasional mengenai konflik agraria dan peran negara dalam penguasaan tanah).
10. Peluso, Nancy Lee & Harwell, Emily. (2001). Territory, Custom and the Cultural Politics of Ethnic War in Kalimantan, Indonesia. In Peluso & Watts (eds), Violent Environments. Ithaca: Cornell University Press.
(Memberi konteks teoritis tentang relasi tanah, konflik, dan identitas pascakonflik).
11. Gramsci, Antonio. (1971). Selections from the Prison Notebooks. Edited and translated by Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith. New York: International Publishers.
(Sumber teori tentang hegemoni dan re-feodalisasi simbolik)
13. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
(Landasan hukum utama penguasaan dan penggunaan tanah oleh negara dan masyarakat).
14.detik.com, tempo.com & Kompas.id. (2000–2024). Berita dan laporan investigatif tentang grand sultan, klaim-klaim kesultanan dan konflik agraria.(Sumber data aktual untuk kontekstualisasi sosial-politik kontemporer)
Posting Komentar
0Komentar