"Skandal Tanah Eks HGU PTPN: SEV Management Asset Regional I Menjadi Agen Pemasaran Aset Negara atas Tanah Negara Bebas"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH

(Praktisi Hukum)


Pendahuluan 


Adagium UUPA No. 5 Tahun 1960; "Tanah Untuk Rakyat, Tanah Untuk Petani"


Ketika masyarakat berharap pada profesionalisme pengelolaan aset negara oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), justru lahir skandal baru yang mencoreng prinsip akuntabilitas dan transparansi. Rencana penjualan lahan seluas 3.028 meter persegi di seberang Binjai Super Mall oleh SEV Management Asset Regional I—yang kemudian diketahui bukan bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) aktif PTPN II—menjadi bukti bahwa pengelolaan tanah eks HGU di Indonesia berada di zona abu-abu yang rawan manipulasi.


Padahal, menurut UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, pengelolaan aset negara yang dikuasakan kepada BUMN seharusnya tunduk pada prinsip keterbukaan dan pertanggungjawaban publik. Dalam praktiknya, yang terjadi justru sebaliknya: lahan negara bebas (tanah yang sudah tidak terikat HGU) diperlakukan seperti barang dagangan milik pribadi.


SEV Management Asset Regional I: Menjadi Agen Jual Beli Tanah Negara Bebas


Alih-alih menjalankan mandat pengamanan aset negara, SEV Management Asset Regional I justru terjebak dalam praktik kotor jual beli tanah yang secara hukum tak pernah mereka miliki. Lahan seluas 3.028 meter persegi di seberang Binjai Super Mall, yang telah berstatus tanah negara bebas pasca berakhirnya HGU PTPN II, kini “diiklankan” untuk dijual seperti properti pribadi. Padahal, hukum agraria nasional sangat jelas: tanah eks-HGU yang tidak diperpanjang kembali ke pangkuan negara dan seharusnya menjadi objek reforma agraria, bukan objek spekulasi oleh BUMN atau pengelola aset negara.


Fenomena ini adalah cerminan dari upaya privatisasi diam-diam atas tanah negara. SEV Management Asset, yang semestinya menjalankan fungsi pengamanan dan optimalisasi aset milik negara, justru tampak bertransformasi menjadi agen pemasaran jual beli tanah negara. Tidak hanya cacat hukum, tindakan ini juga mencederai prinsip negara hukum (rechtsstaat) yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara tidak boleh membiarkan badan usahanya bertindak seperti makelar tanah, terlebih terhadap lahan yang status hukumnya belum jelas, dan yang seharusnya menjadi objek reforma agraria.

Apa yang dilakukan SEV bukan sekadar kesalahan administratif—ini adalah bentuk brutal dari perampasan hak publik atas nama pengelolaan aset. Lebih dari itu, ini adalah gejala sistemik dari sebuah korporatisasi BUMN yang tak lagi tunduk pada kerangka konstitusional, melainkan tunduk pada nafsu kapitalisasi tanah. Dalam praktik ini, SEV menjelma menjadi broker tanah negara, berselimut legalitas semu, dan didiamkan oleh institusi yang semestinya menjadi garda terdepan penataan ulang tanah negara: Kementerian ATR/BPN.


Keberadaan surat dari PTPN II (2017) dan Kodam I/BB yang menegaskan bahwa tanah tersebut bukan bagian dari HGU, seharusnya menjadi palu pemutus yang membatalkan segala upaya SEV menjajakan tanah negara bebas. Namun anehnya, institusi ini justru memproduksi kebingungan melalui pernyataan plin-plan: hari ini menyatakan akan dijual, esok menyatakan menunggu dokumen DN. Ini bukan bentuk kehati-hatian, melainkan modus cover-up klasik dalam praktik mafia tanah—menunda sambil menyusun legitimasi semu.


Lebih buruk lagi, ruang diam negara memperpanjang umur permainan kotor ini. Kementerian BUMN membisu. Kementerian ATR/BPN tidak hadir. DPR tidak bersuara. Padahal inilah ladang subur munculnya jaringan gelap antara pejabat pengelola aset, oknum aparat, dan investor gelap. Di tengah ketidakjelasan administrasi pertanahan, rakyat diabaikan, dan tanah negara yang seharusnya diperuntukkan bagi reforma agraria justru digadai kepada pemodal dengan stempel negara.


Maka, ketika SEV Management Asset menjual tanah negara bebas tanpa dasar hukum, itu bukan semata pelanggaran etis—itu pelanggaran konstitusi. Dan ketika negara membiarkannya, kita tak hanya menyaksikan kelumpuhan hukum, tetapi juga menyaksikan negara yang bertransformasi menjadi fasilitator bagi mafia tanah. Di titik ini, wibawa negara bukan sedang diuji—tapi sedang dikubur hidup-hidup oleh tangan-tangan yang seharusnya menjaganya.


Bukti Kepemilikan Dipertanyakan


Menurut investigasi Aktual Online (27/5/2025), SEV Management Asset awalnya menyatakan bahwa tanah tersebut akan dijual. Namun dalam waktu singkat, mereka menarik pernyataan itu dan menyatakan penjualan hanya akan dilakukan dengan “dokumen tertentu” yang tidak dijelaskan. Perubahan sikap ini menimbulkan dugaan kuat bahwa tidak ada dasar hukum atau dokumen otentik seperti HGU atau sertifikat kepemilikan negara atas lahan tersebut.


Padahal, surat resmi dari Direktur Operasional PTPN II pada 2017 (No. 20/X/32/I/2017) telah menyebut bahwa tanah tersebut bukan merupakan bagian dari aset PTPN II. Bahkan, Kodam I/Bukit Barisan, melalui surat nomor B/311/IX/2017, menyatakan bahwa area tersebut tidak masuk dalam kebun Bulu Cina, Sei Semayang. Artinya, tidak ada legal standing bagi SEV Management untuk menjual lahan itu.


Negara Diam, Mafia Tanah Siaga


Ketika masa berlaku Hak Guna Usaha (HGU) berakhir, tanah tersebut secara hukum kembali menjadi tanah negara bebas. Namun, alih-alih ditata ulang demi kepentingan rakyat melalui skema reforma agraria, tanah-tanah ini justru menjadi rebutan oknum birokrat, pengelola aset, dan spekulan yang haus rente. Negara, dalam diamnya, sedang membuka pintu bagi mafia tanah untuk mengisi ruang-ruang kosong kebijakan yang seharusnya dikelola secara konstitusional.


Prof. Maria SW Sumardjono telah lama menegaskan bahwa tanah eks-HGU harus menjadi bagian dari agenda redistribusi tanah yang adil dan transparan, bukan justru dijadikan objek jual beli oleh pengelola tanpa dasar hukum. Menurutnya, tanah negara bukan barang dagangan, melainkan sumber daya publik yang pengelolaannya harus tunduk pada prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan. Ketika pengelolaan tanah diambil alih oleh mekanisme pasar tanpa kontrol negara, maka yang muncul adalah praktik "privatisasi diam-diam" yang tidak berpihak pada rakyat.


Pandangan tersebut selaras dengan pendapat Prof. A.P. Parlindungan Lubis, SH, pakar hukum agraria Universitas Sumatera Utara, yang menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan tanah eks-HGU dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad). Dalam perspektif ini, SEV Management Asset yang berperan sebagai “agen pemasaran” lahan negara bebas, tanpa dasar kepemilikan yang sah, patut dicurigai telah melampaui kewenangannya secara substantif maupun administratif.


Sementara itu, Prof. Budi Harsono, dalam karya monumentalnya Hukum Agraria Indonesia, menyatakan bahwa HGU adalah hak terbatas dan bersyarat. Ketika masa berlakunya habis, maka kewenangan untuk menentukan peruntukan tanah sepenuhnya kembali ke tangan negara melalui lembaga resmi seperti ATR/BPN—bukan melalui BUMN atau anak perusahaannya yang bersifat komersial. Dalam konteks ini, PTPN II atau SEV Management Asset bukanlah pemegang otoritas hukum, melainkan sekadar pelaksana yang tidak bisa bertindak di luar batas legalitas.


Gunawan Wiradi, begawan agraria Indonesia, juga berulang kali menyuarakan bahaya laten dari pembiaran tanah eks-HGU yang dikelola tanpa regulasi ketat. Ia menyebut bahwa tanah negara harus menjadi bagian dari politik redistributif, bukan politik akumulatif oleh elite. Bila negara terus diam, maka yang terjadi bukan hanya konflik agraria, tetapi juga pengkhianatan terhadap cita-cita pasal 33 UUD 1945 yang menempatkan tanah dan kekayaan alam sebagai alat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.


Mengapa Ini Berbahaya?


Karena ini menyangkut dua hal mendasar: kedaulatan negara atas tanah dan keadilan sosial bagi rakyat. Negara kehilangan kendali atas asetnya sendiri, dan rakyat kehilangan hak atas redistribusi tanah sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.


Jika SEV Management Asset Regional I bertindak sebagai agen pemasaran dari aset negara tanpa dokumen hukum yang sah, maka patut diduga telah terjadi pelanggaran prinsip hukum administrasi negara dan potensi korupsi aset. Lembaga seperti KPK, BPK, hingga Kejaksaan Agung harus turun tangan menyelidiki pola-pola ini.


Saatnya Audit Menyeluruh


Kasus Binjai hanyalah satu contoh dari banyak kasus serupa di Sumatera Utara, di mana aset negara dijual secara diam-diam oleh para ‘pengelola’ yang tak lebih dari broker berjas resmi. Sudah saatnya Presiden dan DPR memerintahkan audit nasional terhadap tanah-tanah eks HGU, termasuk yang dikelola oleh holding BUMN Perkebunan dan unit pengelola aset seperti SEV.


Sebagaimana diingatkan oleh Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944), ketika tanah menjadi komoditas murni dalam logika pasar tanpa regulasi negara, maka keadilan sosial akan terkikis, dan ruang publik dikorbankan demi keuntungan elite.


Demikian.


Penulis Advokat Dan Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut 

_______________

DAFTAR PUSTAKA


1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3) tentang Negara Hukum dan Pasal 33 ayat (3) tentang penguasaan tanah oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).


3. Sumardjono, Maria S.W. (2001). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: Komnas HAM & ELSAM.


4. Sumardjono, Maria S.W. (2008). Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas.


5. Harsono, Boedi (2007). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.


6. Lubis, A.P. Parlindungan, SH. (1990). Hukum Agraria Nasional. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).


7. Wiradi, Gunawan. (2009). Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) & Pustaka Pelajar.


8. Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang Habis Masa Berlakunya.


9. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Pasal dalam UUPA dan hak menguasai oleh negara.


10. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2022). Catatan Akhir Tahun: Konflik Agraria Struktural di Indonesia. Jakarta: KPA.



11. Aktual Online. (2025). Lahan di Seberang Mall Binjai Diduga Bukan Aset PTPN Tapi Mau Dijual, SEV Management Asset Mendadak Plin-plan. Diakses dari: https://aktualonline.co.id/2025/05/28/lahan-di-seberang-mall-binjai-diduga-bukan-aset-ptpn-tapi-mau-dijual-sev-management-asset-mendadak-plin-plan/

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)