Oleh Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)
Pendahuluan
Universitas Sumatera Utara (USU), sebagai institusi pendidikan tinggi negeri, kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, bukan karena prestasi akademik, melainkan dugaan penyalahgunaan fasilitas negara oleh Rektor USU, Prof. Dr. Muryanto Amin. Laporan media menyebutkan bahwa rektor diduga menempati tiga unit rumah dinas dan membangun lapangan golf mini di area yang belum jelas statusnya—semua ini di luar ketentuan hukum yang berlaku .
Pendidikan dan Amanat Konstitusi
Konstitusi Republik Indonesia mengamanatkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara (Pasal 31 UUD 1945). Negara, melalui institusi seperti perguruan tinggi negeri, bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau, inklusif, dan bermutu. Namun, ketika pimpinan universitas negeri memperlakukan kampus layaknya perusahaan, dengan pengelolaan anggaran yang elitis dan gaya hidup yang mencolok, maka amanat konstitusi tersebut tercederai.
Elitisme Akademik dan Teori Kekuasaan
Dalam logika Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya mengalir dari negara atau hukum, tetapi juga melalui institusi pengetahuan seperti universitas. Ketika rektor menjadi simbol kekuasaan yang tak tersentuh dan tidak dapat dikritik, maka ia berubah dari agen perubahan menjadi bagian dari status quo yang menindas.
Noam Chomsky bahkan menyebut pendidikan tinggi dalam masyarakat kapitalistik cenderung dikontrol oleh elite politik dan ekonomi. Bila rektor sebuah universitas negeri hidup bermewah dengan dalih jabatan, maka ini menegaskan tesis Chomsky bahwa kampus tak ubahnya alat produksi ideologis bagi elite kekuasaan.
Konflik Etika dan Konstitusi
Skandal penggunaan fasilitas negara oleh Rektor USU bukan semata pelanggaran administratif, melainkan pelanggaran moral dan konstitusional. Rektor bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga figur moral yang semestinya menjadi teladan kesederhanaan dan keadilan sosial.
Dalam Permendikbudristek No. 28 Tahun 2021, ditegaskan bahwa pejabat perguruan tinggi hanya berhak atas satu rumah dinas yang melekat pada jabatannya, bukan sebagai kepemilikan pribadi. Penyimpangan dari ketentuan ini bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga bentuk maladministrasi dan potensi gratifikasi, jika terbukti fasilitas tambahan tersebut tidak melalui prosedur negara .
Tuntutan Moral dan Perubahan Struktural
Saat mahasiswa berdemo dan publik bertanya, namun suara-suara kritis dianggap pengganggu stabilitas, maka yang terjadi bukan pembelajaran demokrasi, melainkan pembungkaman. Tugas kampus adalah membentuk warga negara yang bebas berpikir dan kritis terhadap ketidakadilan. Maka, ketika rektor justru bersembunyi di balik tirai birokrasi dan kekuasaan, kampus kehilangan jiwanya.
Reformasi pendidikan tinggi harus dimulai dari dalam. Proses pemilihan rektor mesti lebih terbuka, transparan, dan berpihak pada nilai integritas. Rakyat berhak tahu: siapa yang memimpin, dengan cara apa ia dipilih, dan untuk kepentingan siapa ia bekerja.
Rektor, Menari-nari di Atas Penderitaan Rakyat Banyak
Dalam situasi ekonomi yang serba sulit, ketika ribuan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) kesulitan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), publik dikejutkan oleh laporan mengenai gaya hidup mewah Rektor USU, Prof. Dr. Muryanto Amin. Dugaan bahwa ia menempati tiga unit rumah dinas dan menambah fasilitas seperti lapangan golf mini di area yang belum jelas legalitasnya memunculkan pertanyaan serius: untuk siapa kampus ini dikelola? Rektor sebagai figur publik semestinya menjadi teladan kesederhanaan, bukan simbol elitis birokrasi pendidikan.
Langkah rektor ini mencerminkan keterputusan total dari realitas sosial mahasiswa dan rakyat. Di tengah krisis biaya hidup, pemangkasan beasiswa, serta tekanan ekonomi pasca-pandemi, pembangunan fasilitas mewah untuk pejabat kampus justru tampak seperti tarian ironis di atas luka terbuka rakyat. Sikap seperti ini tidak hanya tidak etis, tetapi mencederai kepercayaan publik terhadap pendidikan tinggi negeri sebagai instrumen mobilitas sosial.
Bila kampus adalah cermin masyarakat, maka yang dipantulkan saat ini adalah wajah pendidikan yang dikapling oleh elite kekuasaan. Dugaan pelanggaran aturan terkait fasilitas negara bukan sekadar masalah administratif; ia adalah cermin dari watak kekuasaan yang berjarak dari penderitaan konstituen utamanya: mahasiswa dan rakyat pembayar pajak. Bukankah pendidikan negeri seharusnya dibangun dengan semangat kesetaraan, bukan dilandasi privilege jabatan?
Sayangnya, manajemen kampus seperti USU hari ini memperlihatkan gejala klasik birokrasi yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Mahasiswa dikontrol ketat dalam aturan dan sanksi, tetapi pejabat kampus seolah punya ruang abu-abu hukum yang tak tersentuh. Ketika kritik dianggap pembangkangan, ketika nalar diganti dengan loyalitas birokratis, maka kampus kehilangan esensi: rumah akal sehat dan keadilan.
Sudah saatnya publik, terutama mahasiswa dan civitas akademika, bersuara lantang menagih akuntabilitas. Kampus negeri bukan panggung kekuasaan, melainkan medan pengabdian. Rektor bukan raja, ia pelayan publik yang digaji dari keringat rakyat. Jika tak mampu merasakan denyut penderitaan rakyat, maka wajar bila publik menilai: rektor USU sedang menari-nari di atas luka sosial yang belum sembuh.
MWA USU: Wajib Bersikap sebagai Pengawas, Bukan Bebek Lumpuh
Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Sumatera Utara (USU) tak bisa terus berdiam dalam pusaran kontroversi dugaan pelanggaran etika dan konstitusi oleh Rektor. Sebagai organ tertinggi dalam tata kelola Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), MWA bukanlah simbol seremonial, melainkan pengawal mandat moral dan legalitas institusi. Dalam kondisi di mana publik mempersoalkan integritas pemimpin universitas, diamnya MWA justru bisa ditafsirkan sebagai bentuk pembiaran.
Fungsi MWA tak berhenti pada seleksi dan pelantikan rektor semata, tetapi mencakup evaluasi dan pengawasan menyeluruh atas pelaksanaan tata kelola universitas. Ketika laporan publik dan pemberitaan media menunjukkan adanya indikasi penyalahgunaan fasilitas negara oleh Rektor USU, sikap “wait and see” yang diambil MWA justru memperkuat kecurigaan akan adanya kompromi kekuasaan. Padahal, kepercayaan terhadap MWA sebagai representasi publik dalam struktur kampus sangat bergantung pada keberanian dan ketegasan dalam bersikap.
Jika MWA gagal bertindak tegas, maka posisi mereka tak ubahnya seperti lame duck—bebek lumpuh—yang kehilangan relevansi di tengah derasnya gelombang kritik publik. Ini bukan sekadar masalah reputasi institusi, tapi juga soal kepercayaan generasi muda terhadap kejujuran dan transparansi dalam dunia akademik. Ketika pengawasan terhadap pemimpin kampus lumpuh, maka seluruh bangunan moral institusi turut rapuh.
Dalam konteks otonomi perguruan tinggi, MWA semestinya menjadi penyeimbang kekuasaan rektorat, bukan menjadi perpanjangan tangan birokrasi kampus. Menutup mata atas potensi pelanggaran adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat publik. MWA seharusnya segera melakukan audit terbuka terhadap dugaan pelanggaran penggunaan rumah dinas, termasuk memastikan semua pengelolaan fasilitas kampus berjalan sesuai aturan negara dan prinsip akuntabilitas.
Kini, saatnya MWA USU membuktikan bahwa mereka bukan menara gading yang bisu. Dalam situasi ini, diam adalah bentuk ketundukan; bersikap adalah bentuk keberpihakan pada kebenaran. Publik tidak menuntut kegaduhan, tetapi menuntut pertanggungjawaban. Dan itu hanya bisa dilakukan jika MWA benar-benar menjadi pengawas yang berani, bukan bebek lumpuh di tengah krisis integritas.
Penutup
Kita tidak butuh rektor yang kaya dalam fasilitas, tapi miskin dalam empati. Kita butuh rektor yang memimpin dengan hati, bukan dengan dompet negara. Kampus adalah rumah nalar dan keadilan—bukan istana kekuasaan. Bila USU ingin tetap menjadi benteng peradaban di Sumatera Utara, maka pembersihan terhadap praktik elitis dan pelanggaran etika harus dimulai sekarang.
Demikian
Penulis Advokat dan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92
______________
Daftar Pustaka
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
4. Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Vintage, 1977.
5. Chomsky, Noam. The Political Economy of the Mass Media. Pantheon, 1988.
6. Permendikbudristek No. 28 Tahun 2021 tentang Fasilitas Pejabat PTN-BH.
7. "Sikap MWA: Rektor USU Diduga Salah Gunakan Fasilitas Negara." BarakTime, 28 Mei 2025. https://www.baraktime.com/2025/05/sikap-mwa-rektor-usu-diduga-salah.html
8.Media Online News RI,
https://newsri.id/2025/05/26/rektor-usu-diduga-salah-gunakan-kewenangan-langgar-konstitusi-menambah-fasilitas-rumah-di-luar-ketentuan/
Posting Komentar
0Komentar