Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)
Pendahuluan
Tanggal 14 Mei 2025 menjadi catatan penting dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Untuk pertama kalinya, nama seorang menteri aktif—Budi Arie Setiadi (BAS)—disebut secara eksplisit dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terkait kasus pemblokiran situs judi online saat ia menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dalam surat dakwaan tersebut, jaksa menegaskan pembagian “jatah” hasil kejahatan digital, di mana BAS disebut mendapat 50 persen bagian dari seluruh situs yang “dijaga”.
Pertaruhan Etika Pemerintahan dan Ujian Integritas Penegak Hukum
Kita tidak boleh memandang enteng perkara ini. Ini bukan semata soal pelanggaran hukum, tetapi lebih jauh merupakan pengkhianatan terhadap mandat konstitusional pejabat publik. Dalam teori etika pemerintahan, sebagaimana dijelaskan oleh Dwight Waldo (1948), integritas adalah fondasi utama legitimasi kekuasaan eksekutif. Menteri yang terlibat kejahatan justru menjadikan pemerintah sebagai pelindung kejahatan itu sendiri—sebuah kontradiksi mendalam dalam sistem presidensial yang berbasis pada supremasi hukum.
Di titik ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) memegang posisi krusial. Dalam UU Kejaksaan No. 11 Tahun 2021, lembaga ini diamanatkan menjadi garda depan penuntutan pidana umum dan khusus. Keberanian Kejagung memanggil, memeriksa, dan bila perlu menahan BAS tidak hanya menjadi manifestasi supremasi hukum, tetapi juga simbol kebangkitan moral negara pasca-era permisif Jokowi.
Dualisme Respons Negara dan Keadilan Tumpul ke Atas
Anehnya, di tengah pengungkapan serius ini, belum ada pernyataan resmi dari Presiden Prabowo Subianto. BAS pun tetap bertengger di kursi empuk Menkop, seolah tiada beban. Kontras terlihat ketika aparat dengan mudah menangkap tukang parkir liar atau membubarkan ormas dengan tuduhan ringan, tetapi gamang saat berhadapan dengan menteri yang disebut dalam dakwaan kasus ratusan miliar rupiah.
Ini mencerminkan tesis klasik dari teori "selective law enforcement" dalam hukum pidana yang dikritik oleh Herbert Packer dalam The Limits of the Criminal Sanction (1968). Negara, kata Packer, menjadi lembaga represif jika penegakan hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Momentum Hari Kebangkitan Nasional: Etika di Atas Kekuasaan
Tanggal 20 Mei 2025—Hari Kebangkitan Nasional—seharusnya bukan hanya seremoni retorik. Ini momentum emas bagi Presiden Prabowo untuk membuktikan bahwa pemerintahannya bukan kelanjutan praktik impunitas masa lalu. Jokowi bisa saja lepas dari sorotan hukum soal ijazah atau Projo, tetapi Prabowo tidak boleh mengulang kekeliruan itu.
Etika publik menuntut lebih. Seperti ditegaskan oleh John Rohr dalam Ethics for Bureaucrats (1989), moralitas pejabat publik bukan hanya soal kepatuhan hukum, tetapi tentang kesetiaan terhadap prinsip keadilan dan kepentingan rakyat. Prabowo harus berani mengambil sikap: copot BAS, serahkan kepada Kejaksaan, dan bersihkan kabinet dari figur bermasalah lainnya.
Pandangan Ahli Hukum Pidana: Dukungan Kejaksaan Agung dalam Penegakan Hukum
Di tengah hiruk-pikuk politik kekuasaan dan gemerlap wajah elitis para pejabat publik, publik kembali dikejutkan oleh sorotan nama Menteri Budi Arie Setiadi (BAS) dalam pusaran dakwaan kasus judi online. Dalam negara hukum, nama besar, jabatan tinggi, dan kedekatan dengan pusat kekuasaan tidak boleh menjadi pelindung dari jerat hukum. Inilah mengapa suara akademisi dari berbagai kampus ternama justru menjadi pendorong moral dan intelektual untuk menagih sikap tegas negara.
Guru besar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Topo Santoso, mengingatkan bahwa supremasi hukum bukan hanya jargon konstitusional, tapi mesti hadir nyata dalam tindakan aparat penegak hukum. “Kalau nama seorang menteri sudah disebut dalam surat dakwaan di pengadilan, itu artinya ada sinyal kuat dari jaksa bahwa penyidikan bisa berkembang. Negara tidak boleh membiarkannya menjadi kabar yang diredam oleh kekuasaan,” katanya dalam sebuah diskusi hukum nasional.
Dari Bandung, Prof. Romli Atmasasmita, salah satu arsitek awal UU Tipikor, bahkan lebih tajam. Ia menyebut, “Keterlibatan pejabat publik dalam jaringan judi online adalah bentuk pengkhianatan pada sumpah jabatan. Ini bukan lagi sekadar tindak pidana biasa, tapi kejahatan moral dan sistemik. Kejaksaan jangan ragu bertindak.”
Sementara itu dari Semarang, Prof. Dr. Hibnu Nugroho dari UNDIP menegaskan bahwa kasus seperti ini adalah ujian bagi reformasi hukum itu sendiri. “Apakah kita serius menegakkan hukum? Atau kita hanya berani pada rakyat kecil dan kecut menghadapi penguasa?” katanya, menyindir praktik ketimpangan hukum yang selama ini masih terjadi.
Para akademisi ini seperti tengah mewakili nurani publik yang selama ini dibungkam oleh narasi pembangunan semu dan pencitraan kekuasaan. Saat rakyat kecil ditangkap karena judi recehan online, bagaimana mungkin seorang pejabat yang diduga menerima ‘jatah’ miliaran dari situs-situs haram justru masih duduk nyaman di kursi empuk kementerian?
Dukungan terbuka dari para guru besar ini hendaknya menjadi bahan refleksi bagi Presiden Prabowo, bahwa pembiaran terhadap aktor-aktor toksik dalam pemerintahan hanya akan menjadi luka awal dalam catatan sejarah pemerintahannya. Apalagi jika momentum ini disia-siakan hanya karena loyalitas politik.
Dukungan Penuh untuk Kejaksaan Agung
Kita harus menyatakan secara tegas: Kejaksaan Agung tidak boleh goyah oleh tekanan politik, premanisme, atau manipulasi kekuasaan. Rakyat ada di belakang penegakan hukum. TNI dan Polri, dalam kerangka menjaga stabilitas nasional, harus berdiri bersama Kejagung, bukan menjadi alat perlindungan bagi aktor-aktor korup yang bersembunyi di balik jabatan.
Presiden Prabowo memiliki modal sosial dan historis yang kuat untuk memulai reformasi etik dan hukum dalam kabinetnya. Sejarah perjuangan, pengalaman militer, dan posisi politiknya saat ini menjadi kombinasi ideal untuk memutus rantai kekebalan pejabat tinggi.
Penutup
Kasus BAS bukan hanya soal pribadi atau satu kementerian, melainkan ujian menyeluruh bagi keberanian pemerintah untuk memilih: memihak rakyat atau membiarkan korupsi menjadi benalu kekuasaan. Prabowo dan Kejaksaan Agung kini berada di panggung sejarah.
Saatnya hukum ditegakkan bukan karena tekanan publik, tetapi karena panggilan nurani dan kewajiban konstitusi. Jika tidak sekarang, kapan lagi bangsa ini bisa bangkit dengan kepala tegak dan hati bersih?
Demikian
*) Penulis adalah Pendiri Partai Gerindra Sumut, Pemerhati Hukum Tata Negara dan Pemerintahan / Advokat & Wakil Sekretaris Bidang Hukum Dan HAM MW KAHMI Sumut
_______________
Refrensi
Referensi Buku & Teori Ilmu Hukum dan Pemerintahan:
1. Dwight Waldo. (1948). The Administrative State: A Study of the Political Theory of American Public Administration. Ronald Press.
> Menjelaskan pentingnya etika dan moral dalam administrasi publik serta hubungan kekuasaan dan integritas birokrasi.
2. Herbert L. Packer. (1968). The Limits of the Criminal Sanction. Stanford University Press.
> Mengulas teori “selective law enforcement” dan kritik atas ketimpangan penegakan hukum.
3. John A. Rohr. (1989). Ethics for Bureaucrats: An Essay on Law and Values. Marcel Dekker Inc.
> Membahas prinsip moral dan tanggung jawab pejabat publik dalam konteks hukum dan tata pemerintahan.
4. Jimly Asshiddiqie. (2006). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Konstitusi Press.
> Menjelaskan peran etika dan akuntabilitas dalam kekuasaan eksekutif serta pentingnya supremasi hukum.
5. Satjipto Rahardjo. (2006). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Kompas.
> Menekankan pentingnya penegakan hukum yang berpihak pada keadilan substantif, bukan hanya prosedural.
Topo Santoso, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia
Buku: Kriminalisasi dan Penegakan Hukum Pidana, UI Press, 2018.
Pernyataan di seminar “Penegakan Hukum dalam Pemerintahan yang Bersih”, UI, April 2024:
> “Penegakan hukum harus independen, terutama saat menyangkut kekuasaan. Nama dalam dakwaan bukan isu politis, tapi dasar tindakan hukum.”
2. Prof. Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum UNPAD
Buku: Reformasi Hukum dan Keadilan di Indonesia, Refika Aditama, 2020.Artikel opini di Kompas (2023):
> “Korupsi dan judi online memiliki dimensi kejahatan moral dan sistemik yang tak bisa diselesaikan setengah hati.”
Prof. Dr. Hibnu Nugroho, Pakar Hukum Pidana dan Advokasi, Universitas Jenderal Soedirman / Affiliasi akademik UNDIP
Webinar Nasional FH UNDIP, 2024:
> “Penegakan hukum atas pejabat publik adalah ujian integritas institusi hukum. Diam adalah bentuk pembiaran.”
Referensi Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
> Landasan hukum peran dan fungsi Kejaksaan Agung dalam penuntutan tindak pidana umum dan khusus.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
> Mengatur etika penyelenggara negara dan larangan terlibat praktik korupsi.
Referensi Berita & Data Aktual:
CNN Indonesia. (14 Mei 2025). Jaksa Sebut Menkop BAS Terima Jatah Situs Judi Online, 50 Persen dari Total Situs “Dijaga”.
https://www.cnnindonesia.com/
Kompas. (15 Mei 2025). Skandal Judi Online BAS dan Polemik Etika Kabinet Prabowo.
https://www.kompas.com/
Kompas.com – “Nama Budi Arie Muncul dalam Dakwaan Judi Online, Ini Reaksi Kejaksaan” (Mei 2025)
[Link jika tersedia]
CNN Indonesia – “Ahli Hukum UI: Dakwaan Pidana Harus Direspons dengan Proses Hukum, Bukan Klarifikasi Politik” (Mei 2025)
Detik.com – “Budi Arie Disebut, Kejagung Tegaskan Proses Masih Berjalan” (2025)ICW – Indonesia Corruption Watch. (2024). Laporan Tahunan Indeks Integritas dan Kasus Korupsi di Indonesia.
https://antikorupsi.org/
Posting Komentar
0Komentar