IAW vs USU: Siapa Takut Audit Forensik"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Ketua Forum Penyelamat USU)


“Transparansi adalah fondasi kepercayaan publik. Menolak diaudit berarti mencurigai diri sendiri.”


Konflik terbuka antara Indonesian Audit Watch (IAW) dan Universitas Sumatera Utara (USU) kini memasuki babak baru. Tidak sekadar polemik biasa, melainkan menyentuh jantung integritas dunia akademik. Laporan BPK dan BPKP yang menguak penyimpangan pengelolaan dana publik senilai Rp28 miliar di tubuh USU—dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir—tidak hanya mengganggu rasa keadilan, tetapi juga mengoyak kepercayaan masyarakat terhadap kampus negeri tertua di luar Pulau Jawa itu.


Pertanyaan paling fundamental yang muncul adalah: siapa takut audit forensik?


Korupsi Akademik: Dari Kelalaian Menjadi Kebiasaan?


Audit BPK (2022–2024) mencatat adanya pencairan dana hibah penelitian Rp3,2 miliar pada 2015 tanpa bukti pertanggungjawaban. Delapan tahun berselang, modus yang sama berulang. Dana Rp7,5 miliar kembali "lenyap" melalui vendor fiktif. Gedung laboratorium teknik senilai Rp15 miliar pun tiba-tiba muncul dalam neraca tanpa kejelasan asal-usul.


Dalam kacamata teori kelembagaan (institutional theory), praktik ini mengindikasikan adanya pelembagaan penyimpangan—yakni korupsi yang bukan lagi sebagai deviasi, melainkan telah menjadi rutin institusional. Organisasi seperti universitas, menurut Philip Selznick (1949), bisa kehilangan moral purpose-nya jika tidak diawasi secara eksternal.


IAW: Watchdog atau Gangguan Politik?


Langkah IAW bukan sekadar kritik teknokratik. Ia adalah bentuk perlawanan sipil terhadap budaya impunitas yang selama ini membungkus elite kampus. Ketika laporan BPK sudah mengindikasikan masalah, dan desakan masyarakat sipil sudah menguat, tetapi audit forensik tetap ditolak, maka kita sedang menyaksikan bagaimana moralitas publik sedang ditantang secara terbuka oleh birokrasi kampus.


Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri IAW, menegaskan perlunya audit forensik independen. Bukan audit biasa, audit forensik ditujukan untuk mendeteksi pola kejahatan keuangan, termasuk praktik kolusi, manipulasi, dan pencucian uang. Penolakan terhadap langkah ini bukan hanya mencurigakan, tapi bisa dibaca sebagai pengakuan diam-diam atas keberadaan penyimpangan sistemik.


Audit Forensik: Pilar Etika dan Transparansi


Audit forensik bukan sekadar audit keuangan biasa. Ia menelaah indikasi fraud, menyisir rekam jejak transaksi hingga mengidentifikasi aktor intelektual di balik penyimpangan dana publik. Di tengah kerapuhan integritas birokrasi, audit forensik menjadi alat vital pemulihan kepercayaan publik.


Prof. Desi Adhariani, Guru Besar Tetap Ilmu Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI, menekankan bahwa:

> “Dalam lembaga publik, pertanggungjawaban tidak berhenti di angka-angka. Ia harus berlanjut pada akuntabilitas sosial. Audit forensik adalah alat ukur moral, bukan sekadar mekanisme administratif.”


Bagi Prof. Desi, ketika kampus mengelola dana masyarakat, apalagi dalam jumlah besar, maka tanggung jawab etis dan sosial menjadi bagian integral dari pertanggungjawaban keuangan. Penolakan terhadap audit forensik bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan kegagalan moral institusional.


USU dan Ilusi Otonomi Akademik


Rektorat USU menolak menjawab sembilan poin permintaan klarifikasi dengan dalih media penanya belum terverifikasi Dewan Pers. Sikap ini mencederai semangat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang mewajibkan badan publik—termasuk PTN—untuk proaktif dalam transparansi.


Otonomi akademik tak bisa menjadi tameng untuk menyembunyikan korupsi. Jika universitas adalah benteng moral bangsa, maka keterbukaan adalah pagar etisnya. Transparansi bukan musuh institusi; ia adalah instrumen penyelamat dari kejatuhan.


Paradigma Hukum: Audit Forensik sebagai Kewajiban Hukum dan Etika


Dalam perspektif hukum pidana, audit forensik tidak bisa dipisahkan dari proses penegakan hukum modern. Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej menyebutnya sebagai alat bukti penting dalam menjerat tindak pidana korupsi. Lebih lanjut, Prof. Dr. Herkristuti Harkrisnowo menyatakan audit forensik adalah upaya preventif untuk menjaga akuntabilitas lembaga negara dan publik.


Prof. Barda Nawawi Arief, pakar hukum pidana dari UNDIP, menekankan bahwa audit forensik memiliki fungsi pembaruan kebijakan hukum dalam menangani kejahatan ekonomi dan pelanggaran anggaran publik. Sementara Prof. Romli Atmasasmita menegaskan bahwa:

> “Audit forensik adalah bentuk sinergi hukum dan akuntansi investigatif, yang mampu memutus rantai korupsi di sektor pendidikan.”


Obstruction of Justice Karena Tidak Melakukan Audit Forensik


Penolakan atau pengabaian terhadap pelaksanaan audit forensik dalam dugaan penyimpangan anggaran di institusi publik dapat dikategorikan sebagai bentuk obstruction of justice, atau penghalangan terhadap proses hukum. Dalam konteks ini, tidak melakukan audit forensik saat terdapat indikasi kuat pelanggaran keuangan bukanlah sikap administratif yang netral, melainkan tindakan yang berpotensi melanggengkan ketidakadilan dan menutup jalan menuju pembuktian hukum secara transparan dan akuntabel.


Prof. Romli Atmasasmita, pakar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, menjelaskan bahwa obstruction of justice tidak selalu berupa intervensi langsung terhadap proses pengadilan. Ia juga dapat muncul dalam bentuk penundaan, penolakan, atau kelalaian institusional yang disengaja, yang berdampak pada terhambatnya pengumpulan alat bukti, termasuk audit forensik. Dalam kerangka ini, ketidaksediaan melakukan audit forensik saat publik dan auditor negara telah mengindikasikan adanya penyimpangan adalah bagian dari obstruksi terhadap keadilan.


Audit forensik bukan sekadar prosedur teknis, tetapi merupakan instrumen pembuktian yang sahih dalam kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Tanpa audit forensik, aparat penegak hukum kehilangan satu komponen penting dalam membangun konstruksi pidana dan mengidentifikasi aktor intelektual di balik kejahatan keuangan. Maka, menolak atau menghindari audit semacam ini berarti menutup pintu pada kebenaran dan memperlebar ruang impunitas.


Prof. Romli dalam berbagai forum akademik menyebutkan bahwa di negara hukum, tidak boleh ada lembaga yang menempatkan dirinya di atas prinsip akuntabilitas. Dalam kasus lembaga pendidikan tinggi, justru etika akademik menuntut transparansi yang lebih tinggi. Karena itu, ketika kampus menolak audit forensik dalam kasus keuangan yang mencurigakan, maka sikap tersebut bukan hanya pelanggaran moral, melainkan juga dapat dinilai sebagai strategi sistematis untuk menghindar dari pertanggungjawaban hukum.


Lebih lanjut, Prof. Romli menekankan bahwa membiarkan penolakan audit forensik tanpa konsekuensi hukum akan menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di sektor publik. Negara, dalam hal ini aparat hukum dan pengawas keuangan, harus berani menafsirkan ketidakpatuhan terhadap mekanisme audit investigatif sebagai tindakan menghalangi proses penegakan hukum, dan karenanya layak ditindak sesuai hukum pidana yang berlaku. Audit forensik adalah gerbang keadilan; menolaknya berarti sengaja menutup gerbang tersebut.


Audit Forensik: Jalan Etis dan Solutif


Jika USU merasa tak bersalah, seharusnya menyambut audit forensik sebagai langkah pemulihan integritas. Sebaliknya, jika menolak, publik punya hak untuk curiga: ada apa yang sedang disembunyikan?


Audit forensik tak hanya akan menelusuri dokumen, tetapi juga mengungkap jejak digital, transfer dana mencurigakan, dan konflik kepentingan pejabat kampus. BPK dan Kemendikbudristek wajib turun tangan lebih tegas. Kita tidak sedang berhadapan dengan “salah administrasi”, tapi indikasi grand corruption di balik dinding akademik.


Penutup


Audit forensik bukan alat kriminalisasi. Ia adalah jalan menuju pemulihan integritas. Ketakutan terhadap audit bukanlah ketakutan terhadap pemeriksaan, tapi ketakutan akan kebenaran. Maka hanya dua pihak yang takut pada audit forensik:

mereka yang menyembunyikan sesuatu, dan mereka yang menjadi bagian dari penyimpangan.


USU, sebagai institusi akademik, punya dua pilihan: membersihkan diri secara terbuka, atau terus mengingkari idealisme pendidikan. Dan sejarah tak akan mencatat siapa yang pandai membuat alasan. Sejarah hanya mengingat siapa yang punya keberanian membuka diri demi kebenaran.


Narasi ini bukan tentang mempermalukan USU, tapi tentang menyelamatkannya dari kehancuran moral. Dunia akademik harus jadi pionir kejujuran, bukan ladang persemaian penyimpangan. Jika USU bersih, audit akan menjadi bukti. Jika tidak, audit adalah jalan perbaikan.


Audit forensik bukan ancaman. Ia adalah cermin. Dan hanya mereka yang merasa wajahnya penuh noda, yang takut bercermin.


Demikian 


Penulis Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92 

__________

Referensi Dokumen & Data


1. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Tahun 2022–2024

– Pemeriksaan atas Pengelolaan Keuangan Universitas Sumatera Utara.

– Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.


2. Laporan Audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)

– Audit khusus sektor pendidikan tinggi, 2015–2023.


3. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)

– Teks regulasi, www.peraturan.go.id


4. Poros Jakarta (2025).

– USU dan 10 Tahun Korupsi 'Dimaafkan': Laporan BPK Ungkap Penyimpangan Rp28 Miliar.

–URL:https://www.porosjakarta.com


5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 21: "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan..." (definisi obstruction of justice).


Referensi Teori & Literatur Akademik


6. Desi Adhariani, Public Accountability and Social Responsibility in Higher Education, FEB UI.


7. Eddy O.S. Hiariej, Asas dan Teori Hukum Pidana, UGM Press.


8. Herkristuti Harkrisnowo, Etika dan Tanggung Jawab Institusi Publik, UI Press.


9. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal Nasional, UNDIP.


10. Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, UNPAD.


11. Romli Atmasasmita. (2011). Rekonstruksi Ilmu Hukum Pidana Indonesia: Dalam Perspektif Global dan Internasional. Prenadamedia Group.

Membahas konsep obstruction of justice sebagai bagian dari kejahatan terhadap proses peradilan.


12. Romli Atmasasmita. (2004). Hukum Pidana Ekonomi Indonesia. Mandar Maju.

Mengulas tentang pentingnya audit investigatif dan pertanggungjawaban korporasi atau institusi dalam kejahatan ekonomi.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)