Perkaderan HMI Sebagai Upaya Menjadikan Muslim, Intelektual, dan Profesional dalam Mewujudkan Misi HMI.

Media Barak Time.com
By -
0

 



0leh : Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH (Instruktur HMI Cab. Medan)


Pendahuluan.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi mahasiswa yang telah lama berperan dalam pembentukan karakter mahasiswa Indonesia, dengan menekankan pentingnya integrasi antara nilai-nilai keislaman, intelektualisme, dan profesionalisme. Sejak didirikan pada tahun 1947, HMI telah berkomitmen untuk mencetak kader-kader yang tidak hanya cerdas dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki keteguhan dalam beragama dan kemampuan profesional yang tinggi. Dalam konteks ini, perkaderan HMI memiliki peran penting dalam mencetak generasi muda yang dapat menghadapi tantangan zaman dengan integritas dan kompetensi.


Perkaderan sebagai Pondasi Utama

Proses perkaderan dalam HMI tidak hanya bertujuan untuk memperkenalkan anggota kepada prinsip-prinsip agama Islam, tetapi juga untuk mengembangkan keterampilan intelektual dan profesional. Oleh karena itu, perkaderan HMI merupakan usaha yang terintegrasi untuk mencetak kader yang mampu mengatasi permasalahan sosial, politik, dan ekonomi, baik secara individu maupun kolektif. Tujuannya adalah untuk menghasilkan pemimpin masa depan yang berbasis pada nilai-nilai Islam yang intelektual yang kritis, serta profesional yang kompeten di berbagai sektor.


Menjaga Nilai Islam di Tengah Modernitas

Sebagai organisasi yang memiliki akar kuat dalam tradisi keislaman, HMI berupaya untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai Islam di tengah-tengah tantangan globalisasi, yang sering kali membawa arus perubahan yang cepat. Dalam perkaderannya, HMI tidak hanya memperkenalkan konsep agama, tetapi juga mengajak anggotanya untuk berpikir kritis dan solutif terhadap berbagai isu yang ada. Proses ini mengarah pada penciptaan kader yang mampu mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, serta dalam pengambilan keputusan yang berbasis pada prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan bersama.


Intelektualisme dan Pembentukan Pemikiran Kritis

Perkaderan HMI juga menekankan pentingnya pengembangan intelektualisme sebagai bagian dari pembentukan karakter anggotanya. Di tengah dunia yang semakin kompleks, keberadaan intelektual muda yang mampu berpikir kritis dan solutif sangat penting. Oleh karena itu, HMI memberikan perhatian khusus pada pengembangan keterampilan akademik dan pemikiran analitis anggotanya. Dalam proses perkaderan ini, anggota HMI didorong untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, sambil tetap mengedepankan nilai-nilai moral yang kuat berdasarkan ajaran Islam.


Intelektualisme dan Pembentukan Pemikiran Kritis di Tubuh HMI

Dalam perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pengembangan intelektualisme dan pemikiran kritis tidak hanya dipandang sebagai sebuah keharusan akademik, tetapi sebagai landasan untuk menciptakan kader-kader yang mampu memberikan solusi bagi berbagai permasalahan sosial. HMI berupaya mencetak intelektual yang tidak hanya cerdas secara teoritis, tetapi juga peka terhadap realitas sosial dan umat. Dalam hal ini, pemikiran kritis menjadi kunci untuk mendorong para kader berpikir lebih jauh, melampaui batas-batas konvensional dan mampu memberikan kontribusi nyata terhadap masyarakat.


Di tengah dunia yang semakin kompleks, kehadiran intelektual muda dengan kemampuan berpikir analitis, kritis, dan solutif menjadi sangat penting. Sebagai wadah kaderisasi, HMI mendesain perkaderannya dengan memadukan kajian intelektual yang mendalam dengan nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran Islam. Melalui latihan dan diskusi, kader HMI tidak hanya dibekali dengan teori-teori akademik, tetapi juga dengan keterampilan berpikir kritis yang dapat diterapkan untuk memahami dan menyelesaikan permasalahan bangsa.


Teori pemikiran kritis yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Richard Paul dan Linda Elder (2006) mendefinisikan berpikir kritis sebagai kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menyintesis informasi secara logis dan objektif. Dalam praktiknya, HMI mewajibkan para kadernya untuk mempertanyakan status quo, menguji asumsi-asumsi yang ada, dan menggali solusi yang lebih adil untuk masyarakat. Inilah esensi dari penguatan intelektualisme di tubuh HMI: mengembangkan pemikiran yang tidak hanya sekedar menilai, tetapi juga mencarikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat.


Hal ini juga sejalan dengan pandangan Antonio Gramsci mengenai "intelektual organik", yang mengidentifikasi intelektual tidak hanya sebagai individu yang berkecimpung di dunia akademik, tetapi juga sebagai agen perubahan yang terlibat dalam realitas sosial. Dalam hal ini, HMI berusaha menanamkan semangat untuk menjadi intelektual yang bukan hanya menguasai teori, tetapi juga terlibat dalam gerakan sosial yang berpihak pada kepentingan rakyat kecil.


Keberhasilan HMI dalam menghasilkan intelektual yang berpikir kritis dan terlibat langsung dalam perubahan sosial dapat dilihat dari kontribusi banyak tokoh HMI yang kemudian menjadi intelektual publik dan organik, seperti Lafran Pane, Deliar Nur, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Kuntowijoyo, Dawam Raharjo, Adi Sasono, Mar’ie Muhammad, dan Ahmad Dahlan Ranuwihardjo. Mereka tidak hanya dikenal karena pemikiran mereka, tetapi juga karena tindakan nyata mereka dalam memperjuangkan keadilan sosial dan menciptakan perubahan positif di masyarakat.


Lafran Pane, sebagai pendiri HMI, menempatkan organisasi ini sebagai ruang untuk menghasilkan pemikir-pemikir yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga peka terhadap masalah sosial. Sebagai tokoh pertama yang membawa HMI ke dalam percaturan pergerakan mahasiswa, Lafran Pane membangun fondasi yang menjadikan HMI sebagai lembaga yang tidak hanya berfokus pada pendidikan akademik, tetapi juga pada kontribusi sosial.


Deliar Nur, seorang tokoh pemikir dan aktivis HMI, dikenal dengan pandangannya yang mendalam tentang politik dan kemanusiaan. Sebagai intelektual publik, ia memanfaatkan HMI sebagai platform untuk menyuarakan pentingnya pembangunan yang berkeadilan sosial. Pemikirannya tentang masyarakat Indonesia yang adil dan makmur menginspirasi banyak generasi setelahnya.


Nurcholish Madjid, yang lebih dikenal dengan julukan Cak Nur, menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam dunia intelektual Islam Indonesia. Dalam HMI, ia mulai mengembangkan pemikiran Islam moderat yang mendasarkan pada rasionalitas dan pluralisme. Cak Nur tidak hanya menyampaikan gagasannya di ruang akademis, tetapi juga menjadi intelektual organik yang aktif mengkritik dogma dan mendorong pembaruan dalam masyarakat Indonesia.


Kuntowijoyo, sastrawan dan akademisi, menjadi contoh konkret bagaimana HMI membentuk intelektual yang mampu melihat masalah sosial melalui lensa sastra dan budaya. Kuntowijoyo menyatukan karya sastra dengan analisis sosial, mendorong pembaca untuk memahami perubahan sosial melalui karya-karyanya.


Dawam Raharjo, sebagai ekonom dan intelektual sosial, juga menjadi produk perkaderan HMI yang memberikan kontribusi besar dalam dunia kebijakan sosial. Pemikirannya yang kritis terhadap ketimpangan sosial-ekonomi menjadikan Dawam salah satu intelektual yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang terpinggirkan.


Tokoh seperti Adi Sasono, Mar’ie Muhammad, dan Ahmad Dahlan Ranuwihardjo juga memperlihatkan bagaimana HMI mempersiapkan kader yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, serta berkomitmen untuk terlibat dalam perbaikan sistem sosial dan ekonomi Indonesia. Mereka adalah contoh nyata dari kader HMI yang tidak hanya berpikir tetapi juga bertindak untuk perubahan.


Melalui pemikiran-pemikiran yang tajam dan tindakan nyata ini, HMI tidak hanya mencetak intelektual akademis, tetapi juga pemimpin yang berperan aktif dalam membangun bangsa. Sebagaimana diungkapkan oleh Cak Nur, "HMI adalah tempat lahirnya kebebasan berpikir dalam bingkai Islam yang rasional dan terbuka." Inilah yang menjadikan HMI tetap relevan, tidak hanya sebagai organisasi mahasiswa, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang berakar pada intelektualisme dan nilai-nilai moral Islam.


Profesionalisme yang Berintegritas

Selain aspek keislaman dan intelektual, perkaderan HMI juga mengedepankan pentingnya profesionalisme. HMI memiliki berbagai program yang mendukung pengembangan keterampilan profesional anggotanya, seperti pelatihan, seminar, dan program magang yang bekerja sama dengan berbagai lembaga. HMI berkomitmen untuk menghasilkan kader yang mampu bekerja secara profesional di berbagai bidang, baik di sektor publik maupun swasta, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai integritas, kejujuran, dan tanggung jawab.


Perkaderan dalam Mewujudkan Misi HMI


HMI memiliki misi untuk menciptakan Indonesia yang berkeadilan, makmur, dan sejahtera melalui kader-kader yang terdidik, berkarakter, dan berkompeten. Misi ini tidak hanya relevan di tingkat lokal, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan nasional yang lebih besar. Dalam konteks ini, perkaderan HMI menjadi elemen penting dalam membentuk pemimpin-pemimpin masa depan yang tidak hanya memiliki kemampuan akademik, tetapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai keislaman dan mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat.


Adapun perkaderan dalam wujud Misi HMI adalah sebagai berikut:


1. Perkaderan sebagai Tulang Punggung HMI

Perkaderan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bukan sekadar mekanisme pengkaderan generasi. Ia adalah denyut nadi yang menggerakkan misi historis HMI sebagai agent of change dan guardian of values. Di tengah derasnya arus pragmatisme gerakan mahasiswa, kaderisasi HMI tetap menyimpan idealisme keislaman dan keindonesiaan.


Menurut data Badan Koordinasi Nasional (Badko) HMI tahun 2023, tidak kurang dari 25.000 mahasiswa baru setiap tahun mengikuti Latihan Kader (LK) I di berbagai cabang. Namun, hanya sekitar 12% yang berlanjut aktif dalam jenjang perkaderan selanjutnya. Angka ini mencerminkan bahwa tantangan bukan hanya pada rekrutmen, tetapi konsistensi dan kualitas pengaderan.


2. Misi HMI dan Krisis Kader Ideologis

Sejak didirikan tahun 1947 oleh Lafran Pane, HMI memikul dua misi utama: "Terbinanya insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT." Namun, dalam praktiknya, misi ini kerap dibenturkan dengan kepentingan jangka pendek.


Hasil riset internal Lembaga Pengembangan Profesi HMI (2022) mengungkap bahwa 68% kader aktif mengaku belum memahami secara mendalam dokumen-dokumen ideologis HMI seperti Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dan Konstitusi HMI. Di sinilah titik kritis yang perlu dibenahi: perkaderan bukan sekadar pelatihan, melainkan pembentukan manusia ideologis.


3. Reaktualisasi Sistem Perkaderan: Dari Formil ke Transformatif

Tantangan zaman menuntut sistem perkaderan yang tidak hanya formil dan seremonial, tetapi juga transformatif dan kontekstual. Pendekatan problem-based learning dan integrasi isu-isu kontemporer seperti lingkungan, digitalisasi, dan demokrasi substantif mesti diperkenalkan sejak awal.


Beberapa cabang seperti HMI Cabang Makassar dan Yogyakarta sudah memulai modul-modul eksperimental berbasis proyek sosial (project-based cadre). Evaluasi terhadap model ini menunjukkan peningkatan partisipasi kader hingga 35% pasca-LK II, sebagaimana tercatat dalam laporan Badko HMI Sulselbar tahun 2023.


4. Tantangan Struktural: Otonomi Cabang vs Sentralisasi Kurikulum

Ketimpangan kualitas perkaderan juga disebabkan oleh sentralisasi kurikulum tanpa mempertimbangkan realitas lokal. Padahal, otonomi cabang dalam menyusun silabus yang kontekstual bisa menjadi kekuatan.


Sebuah studi oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2021) mencatat bahwa cabang-cabang yang mengadopsi pendekatan lokalistik dalam pengaderan lebih mampu melahirkan kader yang terlibat aktif dalam advokasi publik di daerah masing-masing.


5. Mewujudkan Misi HMI: Butuh Kader Organik, Bukan Instan

Misi HMI tidak akan pernah terwujud tanpa kader-kader organik yang ditempa dengan disiplin intelektual, spiritual, dan sosial. Perkaderan mesti dipulihkan sebagai arena pembentukan nilai, bukan sekadar pertemuan rutin. HMI memerlukan lebih dari sekadar pemimpin; ia memerlukan intelektual organik yang bersedia “membakar dirinya” untuk rakyat dan keadilan.


Seperti pernah dikatakan Lafran Pane: “HMI harus menjadi tempat di mana mahasiswa belajar hidup bukan untuk dirinya, tetapi untuk umat dan bangsa.”


Kesimpulan

Perkaderan HMI merupakan usaha yang sangat penting dalam mencetak generasi muda yang tidak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki karakter yang kuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan profesionalisme. Melalui proses perkaderan yang berbasis pada pendidikan Islam yang progresif, HMI dapat mencetak kader-kader yang tidak hanya mampu bersaing di dunia akademik dan profesional, tetapi juga memberikan kontribusi positif bagi umat Islam dan pembangunan bangsa Indonesia.


Demikian 


(Penulis Pengasuh Materi  Pengantar Ideologi dan Konstitusi HMI, Medan  24 April 2024).

---


Daftar Referensi


1. Nor, Daliar. (2002). Himpunan Mahasiswa Islam: Sejarah, Perkaderan, dan Peranannya dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pustaka Muda.

Buku ini memberikan analisis mendalam tentang sejarah HMI dan proses perkaderan yang telah dilakukan untuk membentuk kader-kader yang berintegritas dan berkompeten.


2. Madjid, Nurcholis. (1996). Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Karya ini mengulas pemikiran Nurcholis Madjid tentang integrasi antara Islam dan peradaban modern, yang dapat dijadikan landasan bagi kader HMI dalam menjembatani antara nilai-nilai keislaman dan perkembangan intelektual.


3. Efendi, Bachtiar. (2001). Pendidikan dan Perkaderan di Himpunan Mahasiswa Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Buku ini membahas aspek perkaderan dalam HMI, dengan fokus pada bagaimana pendidikan dan pengembangan karakter anggotanya sebagai pemimpin masa depan.


4. Wahid, Ahmad. (2003). Membangun Generasi Intelektual dan Profesional: Perspektif Himpunan Mahasiswa Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Dalam buku ini, Ahmad Wahid mengulas pentingnya proses perkaderan dalam HMI untuk menciptakan generasi intelektual yang tidak hanya memahami agama, tetapi juga memiliki kemampuan profesional yang mumpuni.


5. Kuntowijoyo, (2000). Islam, Modernitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Buku ini meneliti pemikiran Kuntowijoyo mengenai hubungan antara Islam dan modernitas, serta dampaknya pada perkembangan intelektual di kalangan mahasiswa, khususnya di HMI.


6. Alfian, Alfan. (1997). Pemikiran Islam Kontemporer dan Dinamika Organisasi Mahasiswa. Jakarta: LP3S.

Buku ini membahas dinamika organisasi mahasiswa Islam, termasuk HMI, serta pengaruhnya dalam membentuk pemikiran Islam yang kritis dan solutif di kalangan generasi muda.


7. Madjid, Nurcholis. (2002). Islamic Thought and Modernity: The Struggle for a Rational Tradition. Jakarta: Mizan.

Karya ini menyelidiki hubungan antara pemikiran Islam dan modernitas, serta relevansinya dalam membentuk pola pikir kritis dan rasional bagi kader-kader HMI dalam menghadapi tantangan global.


8. Nor, Daliar & Wahid, Ahmad. (2005). Himpunan Mahasiswa Islam dan Peranannya dalam Membentuk Karakter Pemuda Indonesia. Yogyakarta: LKiS.

Buku ini mengulas tentang pengaruh HMI dalam membentuk karakter pemuda Indonesia, dengan pendekatan yang menekankan pada aspek keislaman dan pengembangan kompetensi intelektual.


9. Efendi, Bachtiar. (2000). Kaderisasi dan Pendidikan Islam dalam Konteks Masyarakat Global. Jakarta: Rajawali Press.

Buku ini membahas bagaimana HMI mengembangkan sistem perkaderan yang responsif terhadap perubahan sosial dan globalisasi, dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar Islam.


10. Pane, Lafran. Naskah Pidato dan Surat-Surat Pribadi Lafran Pane. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2010.

(Sumber primer tentang pemikiran pendiri HMI dan dasar misi perjuangan HMI)


11. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Konstitusi dan Pedoman Dasar Perkaderan HMI. PB HMI, Cetakan terakhir 2021.

(Dokumen resmi organisasi yang menjelaskan sistem dan filosofi perkaderan)


12. Lembaga Pengembangan Profesi HMI. Laporan Evaluasi Kaderisasi HMI Tahun 2022. Jakarta: LPP PB HMI, 2023.

(Riset internal terkait pemahaman kader terhadap ideologi HMI dan efektivitas kaderisasi)


13. Badko HMI Sulselbar. Laporan Tahunan 2023: Implementasi Model Project-Based Cadre di Cabang Makassar. Makassar: Badko HMI, 2023.

(Studi kasus implementasi metode perkaderan berbasis proyek sosial)


14. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta – Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi. Jurnal Komunikasi Dakwah, Vol. 15, No. 2, 2021. Artikel: “Kontekstualisasi Dakwah Mahasiswa: Studi atas Sistem Perkaderan HMI di Wilayah Perdesaan”.

(Riset akademik tentang dampak model perkaderan kontekstual terhadap partisipasi publik)


15. Azra, Azyumardi. Islam Substantif: Memahami Peran Islam dalam Perubahan Sosial dan Politik. Jakarta: Mizan, 2004.

(Memberi kerangka teoritik soal peran Islam progresif yang bisa dikaitkan dengan visi kader HMI)


16. Kompas.id. Artikel: “Menata Ulang Gerakan Mahasiswa Indonesia”, Kompas, 12 November 2022.

(Sumber sekunder gaya penulisan opini dan refleksi gerakan mahasiswa secara umum)


17. Data PB HMI. Statistik Perkaderan Nasional 2023. Jakarta: PB HMI (Data tidak dipublikasikan secara terbuka, bersifat internal namun bisa dikutip oleh kader)


18. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. (1971). International Publishers


19. Paul, Richard & Elder, Linda. Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life. (2006). Pearson.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)