Jenderal Purnawirawan: Para Ksatria Negara dan Tentara Organik Penjaga Keutuhan Republik Indonesia.

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Praktisi Hukum)


Dalam setiap babakan sejarah Indonesia, keberadaan jenderal purnawirawan bukan sekadar jejak pensiun dari dunia militer, melainkan representasi dari keberlanjutan spirit patriotisme yang mewujud dalam berbagai lini kehidupan bangsa. Mereka adalah "ksatria negara" — sebuah simbol kolektif yang berakar dari doktrin civic mission Tentara Nasional Indonesia (TNI), sekaligus manifestasi organic intellectuals ala Antonio Gramsci yang terlibat langsung dalam upaya mempertahankan keutuhan republik.


Antara Tentara Organik dan Intellectual Militan

Dalam perspektif teori Gramsci, keberadaan organic intellectuals bukan sekadar intelektual dalam ruang akademik, melainkan mereka yang muncul dari dalam struktur sosial, membawa visi kolektif kelas atau kelompoknya. Para jenderal purnawirawan, terutama dari TNI, adalah tentara organik — produk dari sistem pertahanan nasional yang diikat oleh ideologi Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Mereka tidak berhenti berjuang setelah melepas seragam; sebaliknya, peran mereka bertransformasi menjadi aktor sipil yang terlibat dalam politik, keamanan, kebudayaan, hingga pembangunan.


Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, sejak reformasi 1998, lebih dari 25% jenderal purnawirawan terlibat dalam struktur politik baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun partai politik. Fenomena ini bukan sekadar transisi profesi, tetapi cerminan doktrin dual function yang mengalami adaptasi dalam kerangka demokrasi.


Loyalitas Ganda: Antara Negara dan Warga

Menarik dicermati, banyak di antara mereka yang kembali tampil ke publik saat republik menghadapi krisis, baik dalam isu separatisme, konflik horizontal, hingga ancaman ideologi transnasional. Sebuah survei CSIS pada 2022 menunjukkan bahwa 68% publik masih memandang TNI sebagai institusi paling dipercaya, lebih tinggi dibandingkan lembaga negara lain. Legitimasi ini melekat pada jenderal purnawirawan sebagai figur simbolik, yang menghubungkan memori kejayaan militer dengan kebutuhan stabilitas nasional.


Namun, di sisi lain, keterlibatan aktif mereka di ranah politik kerap menimbulkan kritik. Sejarawan Salim Said (2016) mengingatkan bahwa peran politik militer berpotensi mengaburkan garis sipil-militer, menimbulkan loyalitas ganda, dan berisiko mengembalikan politik dwifungsi dalam wajah baru. Kritik ini perlu dibaca dalam konteks dinamika kontemporer: apakah keterlibatan purnawirawan itu sebagai check and balance demokrasi, atau justru penetrasi kekuasaan yang memonopoli narasi keamanan nasional?


Ksatria Negara dalam Konteks Keutuhan Republik 

Perlu dicatat, keutuhan Republik Indonesia bukan hanya persoalan teritorial, tetapi juga keutuhan ideologis dan sosial. Di sinilah peran "ksatria negara" menemukan relevansinya. Jenderal purnawirawan kerap menjadi penjembatan antara kepentingan militer, sipil, dan rakyat. Mereka turun dalam konflik di Papua, menjadi mediator dalam konflik agraria, hingga menjadi bagian dari think tank pertahanan negara.


Sebuah studi dari Australian National University (2021) menyoroti bahwa keterlibatan purnawirawan TNI dalam penyelesaian konflik Papua, lewat pendekatan dialog, lebih diterima dibandingkan aktor sipil karena dianggap memiliki moral authority dari pengalaman lapangan.


Namun demikian, ke depan, peran ini membutuhkan tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel. Indonesia perlu membangun mekanisme yang memungkinkan purnawirawan berperan tanpa melunturkan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.


Menjaga Netralitas Dan Memelihara Integritas

Dalam era kontestasi politik yang semakin kompetitif, tantangan terbesar bagi para jenderal purnawirawan adalah menjaga netralitas sambil tetap berkontribusi bagi negara. Kasus keterlibatan beberapa purnawirawan dalam dukungan politik elektoral menjadi alarm bahwa kehadiran mereka harus tetap berpijak pada etika Sapta Marga, bukan kepentingan partisan.


Sebagaimana diingatkan oleh Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, “Tentara bukan alat golongan, tetapi alat negara.” Prinsip ini menjadi reminder agar para ksatria negara ini tetap menjadi tentara organik penjaga republik, bukan sekadar elit politik baru yang melemahkan profesionalisme.


Ocehan Hercules terhadap Para Jenderal Purnawirawan TNI yang Tendensius

Dalam hiruk-pikuk politik dan keamanan nasional, pernyataan blak-blakan Hercules Rosario Marshal—sosok kontroversial yang memiliki kedekatan historis dengan jaringan militer Orde Baru—terhadap para jenderal purnawirawan TNI, menjadi sorotan publik. Ocehan Hercules yang menyebut sejumlah purnawirawan sebagai “pelupa jasa” atau “penikmat pensiun tanpa kontribusi” dinilai tendensius, menyederhanakan realitas kompleks peran para jenderal purnawirawan dalam sejarah dan dinamika republik.


Pernyataan ini membuka ruang debat: apakah benar para jenderal purnawirawan kini abai terhadap kepentingan negara? Ataukah kritik ini justru manifestasi dari rivalitas politik dan kepentingan bisnis yang membalut dunia pasca-dinas militer?


Data dari LIPI (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 45% jenderal purnawirawan terlibat dalam lembaga sosial, yayasan veteran, dan forum kebangsaan, baik formal maupun informal. Mereka berperan sebagai mediator konflik sosial, narasumber kebijakan pertahanan, hingga advokat ideologi kebangsaan di berbagai forum. Ocehan Hercules, jika tidak dilandasi data dan konteks, berisiko membangun narasi keliru yang menodai kontribusi mereka.


Dalam kerangka teori Gramsci, para jenderal purnawirawan adalah organic intellectuals dari kelas militer—mereka membawa tradisi disiplin, loyalitas, dan nasionalisme ke ranah sipil. Tuduhan bahwa mereka pasif atau oportunis harus diuji secara empiris, bukan hanya melalui ocehan personal yang sarat tendensi politis.


Lebih jauh, pernyataan Hercules mencerminkan dinamika relasi antara power broker informal dan formal dalam politik Indonesia. Sosok seperti Hercules, yang dikenal sebagai “penguasa jalanan” era 1990-an, memiliki hubungan historis ambigu dengan jaringan militer. Kritiknya, meski kasar, perlu dibaca sebagai bagian dari perebutan legitimasi: siapa yang berhak mengklaim sebagai penjaga republik?


Di sinilah para jenderal purnawirawan diuji: bukan sekadar membalas ocehan, tetapi membuktikan peran nyata dalam menjaga keutuhan republik di luar panggung politik praktis. Mereka harus tetap menjadi tentara organik, bukan “pensiunan berpolitik” yang terjebak nostalgia kekuasaan.


Penutup

Ocehan Hercules terhadap para jenderal purnawirawan TNI mencerminkan kegelisahan sekaligus peringatan terhadap pergeseran peran militer di ranah sipil. Namun kritik itu sebaiknya tidak disikapi secara hitam-putih. Di satu sisi, keterlibatan sebagian purnawirawan dalam politik praktis memang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan memicu kekhawatiran akan kembalinya bayang-bayang dwifungsi; di sisi lain, mereka tetap memiliki hak politik sebagai warga negara yang dijamin konstitusi.


Mengeneralisasi semua Jenderal purnawirawan sebagai “pengkhianat sumpah prajurit” jelas keliru dan menyesatkan. Faktanya, mayoritas Jenderal purnawirawan TNI tetap berkomitmen menjaga keutuhan republik melalui jalur non-partisan, sosial kemasyarakatan, dan advokasi kebangsaan. Polarisasi yang tercipta akibat narasi tendensius seperti itu justru berisiko memperlemah ikatan kebangsaan dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi militer secara keseluruhan.


Ke depan, penting bagi para purnawirawan untuk menegaskan kembali komitmen mereka: berpolitik tanpa mengorbankan prinsip netralitas dan kehormatan korps. Sementara publik, termasuk tokoh seperti Hercules, perlu lebih bijak dan beretika dalam menilai peran mereka yang telah berkorban untuk keutuhan bangsa dan negara—tidak sekadar dari ucapan dan posisi politik, tetapi dari kontribusi nyata menjaga demokrasi, integritas, dan keutuhan bangsa.


Demikian


Penulis Pendiri Partai Gerindra Sumut.

__________

Referensi:


Salim Said. Militer Indonesia dan Politik: Dari Dwifungsi ke Reformasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2016).


Mujani, Saiful & Liddle, William. “Military Politics in Democratic Indonesia,” Asian Survey Vol. 43, No. 5 (2003): 705-730.


LIPI, Mapping Peran Purnawirawan dalam Politik Pasca Reformasi (2021)


Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Public Trust in Institutions: Indonesia Survey Report (Jakarta: CSIS, 2022)


ANU Report, Military Veterans and Peacebuilding in Papua (2021)


Kompas.com. “Pernyataan Hercules Soal Purnawirawan TNI yang Terjun Politik.” Diakses 4 Mei 2025.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)