Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Koordinator
Serikat Alumni USU)
Pengantar
Universitas Sumatera Utara (USU), sebagai salah satu
universitas terkemuka di Indonesia, kini berada di persimpangan krisis moral
dan tata kelola. Aksi tanda tangan Senat Akademik terkait Pemilihan Majelis
Wali Amanat (MWA) telah memantik polemik serius. Di balik aksi ini, muncul
dugaan adanya praktik intimidasi dan pengiringan (steering), bahkan penahanan
anggaran fakultas sebagai alat tekan untuk membungkam perbedaan pendapat. Jika
dibiarkan, ini bukan hanya merusak demokrasi kampus, tapi juga menghancurkan
nilai-nilai luhur akademik.
Pengalangan Tanda Tangan Senat Akademik: Bentuk Pembodohan
Intelektual Civitas Akademika
Aksi penggalangan tanda tangan yang dilakukan secara massif
terhadap anggota Senat Akademik tidak hanya mencederai kebebasan akademik, tetapi
juga melecehkan nalar intelektual. Di kampus, yang seharusnya menjadi rumah
bagi pertukaran ide, perbedaan pendapat, dan kritik konstruktif, praktik
seperti ini justru memupuk budaya komando, kepatuhan buta, dan ketakutan.
Teori kritis dari Frankfurt School mengajarkan bahwa
dominasi ideologis terjadi bukan hanya melalui represi fisik, tetapi juga
melalui pembodohan sistematis, yang membuat kelompok kritis kehilangan daya
refleksi. Di USU, pengalangan tanda tangan tanpa membuka ruang diskusi substansial
adalah bentuk pembodohan intelektual, karena menggiring civitas akademika untuk
menyetujui sesuatu tanpa basis argumentasi yang memadai.
Lebih ironis, praktik ini mengirim pesan keliru kepada
mahasiswa—bahwa kekuasaan lebih penting daripada kebenaran, dan kesepakatan
formal lebih utama daripada debat rasional. Jika dibiarkan, budaya seperti ini
akan melahirkan generasi akademisi yang apatis dan pragmatis.
Analisis Kritis: Intimidasi, Pengiringan, dan Ancaman
Finansial
Dugaan intimidasi tidak hanya muncul dalam bentuk tekanan
moral atau ancaman reputasi, tetapi juga dalam bentuk yang lebih sistemik:
penahanan anggaran fakultas. Beberapa fakultas disebut mendapat sinyal bahwa
anggaran kegiatan, penelitian, dan operasional dapat tertahan jika pihak dekan
atau perwakilan senatnya tidak ikut menandatangani dukungan kepada calon
tertentu. Praktik ini memanfaatkan ketergantungan fakultas pada sentralisasi
anggaran untuk menciptakan kepatuhan paksa.
Selain itu, praktik steering atau pengiringan opini terus
terjadi, seperti lewat lobi tertutup, pengaburan informasi, hingga framing
media internal kampus. Ruang deliberasi publik praktis dikunci, sehingga
suara-suara kritis menjadi minoritas yang dimarjinalkan.
Dari perspektif teori kekuasaan Michel Foucault, relasi
kuasa seperti ini tidak hanya membungkam secara fisik, tapi juga memproduksi
kebenaran semu melalui wacana yang dikendalikan elite. Artinya, keputusan yang
lahir bukanlah cermin aspirasi senat secara utuh, melainkan produk dari
dominasi kekuasaan yang dibungkus simbol legitimasi formal.
Data Transparency International Indonesia (2023)
menunjukkan, penyalahgunaan anggaran sebagai alat tekan memperburuk indeks
integritas organisasi hingga 6 poin—angka yang seharusnya membuat USU waspada.
MWA USU, Calon Partisan Dan Benturan Kepentingan
Sejumlah calon diketahui memiliki relasi politik di luar
kampus—baik melalui partai politik, jabatan publik, maupun jejaring bisnis—yang
menimbulkan potensi conflict of interest. Hal ini berbahaya karena keputusan
strategis kampus bisa “dibajak” untuk kepentingan sempit, mulai dari distribusi
proyek, pengisian jabatan struktural, hingga orientasi penelitian yang
pragmatis.
Dalam teori governance, fenomena ini disebut sebagai state
capture, yaitu ketika aktor non-negara secara sistemik memengaruhi kebijakan
publik demi keuntungan pribadi. Jika dibiarkan, USU berisiko kehilangan
independensi akademiknya, terjebak dalam pusaran transaksi kekuasaan yang
merusak jangka panjang.
Lebih memprihatinkan, keberpihakan senat akademik pada
calon-calon partisan ini diperkuat oleh praktik intimidasi dan steering, yang
mengabaikan prinsip deliberasi rasional dan mempersempit ruang oposisi di
internal kampus
Dampak Akademik dan Moral
Lebih jauh, USU berisiko kehilangan kepercayaan publik, yang
selama ini melihat kampus sebagai benteng etika dan kebebasan berpikir.
Kesimpulan
Aksi tanda tangan senat akademik USU bukan sekadar urusan administratif, tetapi alarm keras bagi keberlangsungan integritas akademik. Intimidasi melalui penahanan anggaran fakultas memperlihatkan wajah gelap politik kampus yang harus segera dihentikan. Untuk itu, USU bersama Kemendikbudristek perlu membentuk tim audit independen guna menyelidiki dugaan ini secara transparan. Di saat yang sama, civitas akademika harus bersatu menyuarakan perubahan, karena seperti dikatakan Albert Camus, “Kebebasan bukanlah sesuatu yang diberikan, tetapi diperjuangkan.”
Begitupun, civitas akademika harus berani melawan budaya
komando dan membangun kembali tradisi diskusi rasional. Karena, seperti
diingatkan Paulo Freire, “Pendidikan adalah tindakan pembebasan, bukan
penindasan.”
Demikian
Penulis Merupakan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92.
_________________________________________________
Referensi
Habermas, Jürgen. Between Facts and Norms. MIT Press, 1996.
Foucault, Michel. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings. Pantheon Books, 1980.
Horkheimer, Max & Adorno, Theodor. Dialectic of Enlightenment. Stanford University Press, 2002.
Transparency International Indonesia. “Laporan Indeks Integritas Nasional 2023.”
Hellman, Joel S., et al. “State Capture and Corruption.” World Bank, 2000.
Media Indonesia, Tempo, Kompas. Laporan berita terkait polemik Pemilihan MWA USU, 2025.
https://www.facebook.com/share/p/1FWXKRsqDm/
Posting Komentar
0Komentar