Aksi Senat Akademik USU dan Dugaan Pembungkaman Kebenaran: Menguak Proses ‘Patpat Gulipat’ dalam Pemilihan MWA

Media Barak Time.com
By -
0

 


 


             Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH (Koordinator Serikat Alumni USU)

 

Pengantar

Universitas Sumatera Utara (USU), sebagai salah satu universitas terkemuka di Indonesia, kini berada di persimpangan krisis moral dan tata kelola. Aksi tanda tangan Senat Akademik terkait Pemilihan Majelis Wali Amanat (MWA) telah memantik polemik serius. Di balik aksi ini, muncul dugaan adanya praktik intimidasi dan pengiringan (steering), bahkan penahanan anggaran fakultas sebagai alat tekan untuk membungkam perbedaan pendapat. Jika dibiarkan, ini bukan hanya merusak demokrasi kampus, tapi juga menghancurkan nilai-nilai luhur akademik.

 

Pengalangan Tanda Tangan Senat Akademik: Bentuk Pembodohan Intelektual Civitas Akademika

Aksi penggalangan tanda tangan yang dilakukan secara massif terhadap anggota Senat Akademik tidak hanya mencederai kebebasan akademik, tetapi juga melecehkan nalar intelektual. Di kampus, yang seharusnya menjadi rumah bagi pertukaran ide, perbedaan pendapat, dan kritik konstruktif, praktik seperti ini justru memupuk budaya komando, kepatuhan buta, dan ketakutan.

 

Teori kritis dari Frankfurt School mengajarkan bahwa dominasi ideologis terjadi bukan hanya melalui represi fisik, tetapi juga melalui pembodohan sistematis, yang membuat kelompok kritis kehilangan daya refleksi. Di USU, pengalangan tanda tangan tanpa membuka ruang diskusi substansial adalah bentuk pembodohan intelektual, karena menggiring civitas akademika untuk menyetujui sesuatu tanpa basis argumentasi yang memadai.

Lebih ironis, praktik ini mengirim pesan keliru kepada mahasiswa—bahwa kekuasaan lebih penting daripada kebenaran, dan kesepakatan formal lebih utama daripada debat rasional. Jika dibiarkan, budaya seperti ini akan melahirkan generasi akademisi yang apatis dan pragmatis.


Analisis Kritis: Intimidasi, Pengiringan, dan Ancaman Finansial

 Teori demokrasi deliberatif Habermas menekankan pentingnya diskursus rasional tanpa paksaan dalam pengambilan keputusan kolektif. Sayangnya, praktik di USU justru memperlihatkan wajah sebaliknya.

 

Dugaan intimidasi tidak hanya muncul dalam bentuk tekanan moral atau ancaman reputasi, tetapi juga dalam bentuk yang lebih sistemik: penahanan anggaran fakultas. Beberapa fakultas disebut mendapat sinyal bahwa anggaran kegiatan, penelitian, dan operasional dapat tertahan jika pihak dekan atau perwakilan senatnya tidak ikut menandatangani dukungan kepada calon tertentu. Praktik ini memanfaatkan ketergantungan fakultas pada sentralisasi anggaran untuk menciptakan kepatuhan paksa.

 

Selain itu, praktik steering atau pengiringan opini terus terjadi, seperti lewat lobi tertutup, pengaburan informasi, hingga framing media internal kampus. Ruang deliberasi publik praktis dikunci, sehingga suara-suara kritis menjadi minoritas yang dimarjinalkan.

Dari perspektif teori kekuasaan Michel Foucault, relasi kuasa seperti ini tidak hanya membungkam secara fisik, tapi juga memproduksi kebenaran semu melalui wacana yang dikendalikan elite. Artinya, keputusan yang lahir bukanlah cermin aspirasi senat secara utuh, melainkan produk dari dominasi kekuasaan yang dibungkus simbol legitimasi formal.

 

Data Transparency International Indonesia (2023) menunjukkan, penyalahgunaan anggaran sebagai alat tekan memperburuk indeks integritas organisasi hingga 6 poin—angka yang seharusnya membuat USU waspada.


MWA USU, Calon Partisan Dan Benturan Kepentingan

 Dalam tata kelola universitas, MWA memegang peran strategis sebagai pengambil keputusan tertinggi, termasuk pemilihan rektor. Karena itu, netralitas anggota MWA menjadi syarat mutlak untuk menjaga integritas institusi. Namun, dalam kontestasi di USU, muncul kekhawatiran atas calon-calon MWA yang dianggap partisan, memiliki kedekatan politik dengan kekuatan eksternal, bahkan membawa agenda pribadi.

 

Sejumlah calon diketahui memiliki relasi politik di luar kampus—baik melalui partai politik, jabatan publik, maupun jejaring bisnis—yang menimbulkan potensi conflict of interest. Hal ini berbahaya karena keputusan strategis kampus bisa “dibajak” untuk kepentingan sempit, mulai dari distribusi proyek, pengisian jabatan struktural, hingga orientasi penelitian yang pragmatis.

Dalam teori governance, fenomena ini disebut sebagai state capture, yaitu ketika aktor non-negara secara sistemik memengaruhi kebijakan publik demi keuntungan pribadi. Jika dibiarkan, USU berisiko kehilangan independensi akademiknya, terjebak dalam pusaran transaksi kekuasaan yang merusak jangka panjang.

 

Lebih memprihatinkan, keberpihakan senat akademik pada calon-calon partisan ini diperkuat oleh praktik intimidasi dan steering, yang mengabaikan prinsip deliberasi rasional dan mempersempit ruang oposisi di internal kampus


Dampak Akademik dan Moral

 Dampak praktik intimidasi berbasis anggaran ini sangat serius. Pertama, terjadi demoralisasi di tingkat fakultas. Dekan dan civitas akademika merasa terjepit antara idealisme akademik dan realitas finansial. Kedua, independensi lembaga akademik terciderai, karena keputusan tidak lagi berbasis meritokrasi, melainkan kompromi kekuasaan. Ketiga, praktik ini mengajarkan generasi muda kampus bahwa kekuasaan dapat membeli kebenaran.

 

Lebih jauh, USU berisiko kehilangan kepercayaan publik, yang selama ini melihat kampus sebagai benteng etika dan kebebasan berpikir.


Kesimpulan

Aksi tanda tangan senat akademik USU bukan sekadar urusan administratif, tetapi alarm keras bagi keberlangsungan integritas akademik. Intimidasi melalui penahanan anggaran fakultas memperlihatkan wajah gelap politik kampus yang harus segera dihentikan. Untuk itu, USU bersama Kemendikbudristek perlu membentuk tim audit independen guna menyelidiki dugaan ini secara transparan. Di saat yang sama, civitas akademika harus bersatu menyuarakan perubahan, karena seperti dikatakan Albert Camus, “Kebebasan bukanlah sesuatu yang diberikan, tetapi diperjuangkan.”

 

Begitupun, civitas akademika harus berani melawan budaya komando dan membangun kembali tradisi diskusi rasional. Karena, seperti diingatkan Paulo Freire, “Pendidikan adalah tindakan pembebasan, bukan penindasan.”

 

Demikian

 

Penulis Merupakan Alumni Fakultas Hukum USU Stambuk' 92.

_________________________________________________

Referensi

Habermas, Jürgen. Between Facts and Norms. MIT Press, 1996.

Foucault, Michel. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings. Pantheon Books, 1980.

Horkheimer, Max & Adorno, Theodor. Dialectic of Enlightenment. Stanford University Press, 2002.

Transparency International Indonesia. “Laporan Indeks Integritas Nasional 2023.”

Hellman, Joel S., et al. “State Capture and Corruption.” World Bank, 2000.

Media Indonesia, Tempo, Kompas. Laporan berita terkait polemik Pemilihan MWA USU, 2025.

https://www.facebook.com/share/p/1FWXKRsqDm/



Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)