Siang itu sangat terik, aku memacu sepeda motorku menyusuri jalan yang
penuh debu, apalagi saat berselisih dengan truk pengangkut
TBS...waduhhh....debu seakan menjadi hamparan salju yang menerpa wajahku.
Setelah berjalan-jalan menyusuri perkebunan sawit di areal batang
saponggol, aku dan temanku bernama Yunan singgah ke makam yang diyakini
masyarakat sebagai makam orang belanda dan ada satu makam yang nisannya menggunakan
aksara cina.
Setelah kudokumentasikan, kamipun beranjak pergi menuju kediaman Kakek tris
yang direkomendasikan bangda Yusuf Nasution untuk dijumpai....yah..paling tidak
bisa diskusi santai dengannya tentang etnis tionghoa yang dulunya bermukim di
Bunut dan bagaimana hubungannya dengan makam yang di batang Saponggol.
Sesampainya di rumah Kakek Tris yang saat ini sudah berusia 95 tahun, namun di lihat dari fisiknya masih tampak sehat dan aktivitasnya masih tetap ke ladang. Sore itu kakek Tris sedang duduk santai di teras rumahnya bersama keluarga sambil meneguk segelas kopi. Dilihat dari kesehariannya yang sederhana dan tetap ceria serta tampil apa adanya kami sambangi beliau. Penampilannya sore itu biasa saja tanpa mengenakan baju hanya bercelana pendek beliau duduk santai sambil bercerita dengan kami khususnya tentang warga etnis Tionghoa yang pernah bermukim di Desa Bunut kala itu.
PENJELASANNYA BEGINI :
Etnis tionghoa datang ke bunut diperkirakan pada tahun 1930-an. Saat itu bunut dipimpin raja Andak di bawah kekuasaan kesultanan Kota Bahran yang dipimpin Mustafa 2 bergelar Makmur Perkasa Alamsyah.
Pada tanggal 16 November 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 1959 tentang "larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing diluar ibukota Daerah Swatantra tingkat I dan II serta Karesidenan". Peraturan ini pada intinya melarang orang Tionghoa untuk melakukan perdagangan eceran di bawah tingkat kabupaten, kecuali di luar ibu kota daerah.
Kemudian sekitar tahun 1960 an warga Tionghoa di haruskan tinggal di ibu kabupaten yaitu Rantauprapat sebagaimana PP No 10 Tahun 1959 itu. Demikian di ungkapkan kakek Tris (91 tahun) saat santai di teras rumahnya. Beliau termasuk yang dituakan di desa Bunut dan sudah menetap di desa bunut sejak tahun 1951.
Menurut Kakek tris , dia masih ingat beberapa nama seperti Atai (toke getah), jeksi (toke getah), dan panjanģ (toko emas). Saat itu warga tionghoa sudah ramai dan menetap di bunut sebagai pedagang serta berbaur dengan masyarakat setempat secara damai. Saat mereka pergi dari bunut, mereka menjual tanahnya kepada masyarakat setempat lalu pergi meninggalkan desa bunut bersama.keluarganya. mereka yang menetap di Rantauprapat, Aek Nabara dan kotapinang.
Sampai sekarang masih bisa dilihat bekas rumah etnis tionghoa di desa Bunut yang telah beralih kepemilikan menjadi milik masyarakat setempat.
Yah....walaupun singkat tapi bermakna, bahkan aku kagum melihat kesederhanaan kakek Tris. Walau sudah berumur 91 tahun tapi masih bisa diajak diskusi. Semoga kakek sehat selalu dan diberikan umur yang berkah. 9 tahun lagi sudah 1 abad loh....semoga sehat ya kek....
Posting Komentar
0Komentar