Cerita ini dimulai saat Aku duduk di teras masjid usai
sholat fardu zuhur, sambil mengutak atik tombol Handphoneku tiba-tiba
hujan turun dengan lebatnya. “Aduh….bagaimana ini, padahal aku harus menjemput
anak di sekolah. Biasa rutinitas menjemput anakku setiap pulang sekolah
sudh menjadi kebiasaan,karena aku tak ingin mereka berlangganan betor. Bukan
tanpa alasan, karena kulihat betapa dipaksakan anak-anak harus duduk
berhimpitan dengan yang lainnya,”Over capacity”. Itu yang membuatku tak sampai
hati melihat anakku bergelantungan di betor, belum lagi keselamatan mereka.
Sedang asyik berfikir tentang bagaimana
menjemput anakku di sekolah, kulihat seorang lelaki separoh baya sedang duduk
di sudut parkiran dengan menenteng goni besar. Dilihat dari penampilannya pasti
dia baru mencari barang-barang bekas alias butut. Lama kupehatikan lelaki
yang sedang santai itu dengan menikmati
sebatang rokok yang terselip di bibirnya. Asap mengepul sesuai dengan hembusan
nafasnya yang pasrah. Mataku masih tertuju padanya, beberapa menit kemudian
lelaki itu bangkit dan berjalan ke arah tempat wudhu. Setelah meletakkan goni
besarnya di sudut dinding kamar mandi, dia ambil tas kecil yang berada di
bahunya. Kemudian bergegas ke kamar mandi.
“Subhanallah….,”
bathinku
Aku hanya berfikir dengan pekerjaannya
sebagai tukang butut dia mampu menyisihkan waktu untuk mengabdikan diri kepada
sang Khaliq, waktu sangat berharga baginya. Mengapa tidak, dengan kondisi
pakaian kerja yang kucel dia sangat percaya diri untuk menjalani semua ini.
Bukankah Allah Swt tidak memandang pangkat dan jabatann kita, tapi yang
dipandangNya adalah sejauhmana tingkat ketaqwaan kita kepadaNya.
Sedang asyik berfikir tetang lelaki itu,
tiba-tiba dia sudah selesai dari kamar mandi dan penampilan 100 % berubah
total. Subhanallah.....” bathinku lagi.
Dengan pakaian gamis dan kain bersih
beliau melangkahkan kaki kearah masjid dengan santai dan percaya diri. Mataku
tak luput dari lelaki separoh baya itu sampai tubuhnya hilang dari pandanganku.
“Sungguh
bersahaja lelaki itu” bathinku.
Hujan masih saja turun begitu derasnya
membasahi bumi yang fana ini, sambil menunggu lelaki separoh baya tadi selesai
sholat jemariku kembali sibuk dengan handphone yang sedari tadi berada dalam
genggamanku.
Ku sms salah seorang guru yang ada disekolah
anakku agar memberitahukan anakku untuk tidak pulang sebelum aku datang.
“Terima
kasih ya pak, pokoknya reda hujan saya langsung kesana” ujarku pada guru itu.
Sedang asyik aku memainkan Handphone ku,
tiba-tiba lelaki itu duduk disamping ku lalu menyalamku dengan wajah yang
bersih.
“Assalamu’alaikum
nak” kata lelaki itu
“”Wa’alaikum salam, darimana tadi pak”
tanyaku dengan pertanyaan standart.
“Biasalah
nak nyari sesuap nasi”
“Mengutip
barang bekas ya pak”
“Benar
nak,”
“Sudah
lama bapak lakoni pekerjaan ini”
“Ah..gak
sih, baru beberapa bulan saja”
“Selama
ini bapak kerja apa, kok baru beberapa bulan melakoni pekerjaan ini”
“Dulu
saya seorang kontraktor nak”
Tiba-tiba
lelaki itu buka suara sambil tertunduk dan menatap ujung kakinya dengan hampa.
“Kok
bisa…” sepontan kata itu yang keluar dari mulutku.
“Huh….!
begitulah hidup nak kalau tidak bersyukur atas nikmat yang telah diberikanNya.
“Maaf
pak, bukan ada maksud yang lain, Cuma heran saja kenapa bisa drastis seperti ini”
kataku masih belum percaya dengan perkataan lelaki itu.
“Benar nak,dulu saya tidak pernah bersyukur
atas nikmat yang telah diberikanNya. Dengan kemudahan-kemudahan faslitas yang
saya dapat saat menjadi kontraktor lantas membuat lupa semuanya. Setelah mulai
berkembang di dunia kontraktor, saya terjebak dengan pergaulan yang sebenarnya
tidak ada gunanya.
Setiap akan lelang proyek yang saya lakukan
adalah melobby para bos-bos agar kerjaan itu menjadi miliknya, kadang meihat
keinginan mereka. Kalau ketemu dengan bos yang mata keranjang, saya tinggal
siapkan bidadari-bidadari buat mereka, kalau yang hobbinya narkoba, saya temani
mereka sambil mabuk-mabukan.pokoknya kerjaan itu maksiat semua, gak ada yang
beres” kata lelaki itu tertunduk.
“lalu
pak”
Lama-kelamaan saya ikut dalam gelimangnya
dosa-dosa itu, sampai-sampai keadaan keluargapun menjadi terabaikan. singkat
cerita,hingga pada suatu waktu Allah SWT mencabut semua kenikmatan itu.
semua pekerjaan mengalami masalah hingga harus mengganti rugi
semuanya agar tidak terjerat dengan hukum.
Akhirnya semua harta yang telah ada ludes
hanya untuk menutupi kesalahan yang seharusnya tidak terjadi kalau kita
berjalan pada rel yang benar. Isteri dan anak-anakku lebih memilih kembali
kepada orangtuanya, tinggallah saya sendiri.” Ujarnya lirih.
“Setelah semuanya pergi dan isteri bapak
kembali kepada orangtuanya untuk sementara waktu, apa yang bapak lakukan”
tanyaku sambil melihat ada setitik penyesalan di wajahnya.
“Yahh…bagaimana lagi, kalau memang itu
konsekuensi yang harus saya terima. memang butuh beberapa waktu untuk bisa
melupakan itu semua. Dengan tekad yang tersisa satu-satunya jalan yang saya
ambil adalah bertobat atas apa yang telah saya lakukan saat masih bergabung di
kubangan jahiliyah dan penuh lakhnat itu.
Lalu saya pindah ke mari dengan membawa
pakaian seadanya dan mengontrak sebuah rumah kecil untuk tempat tinggal. Perubahan
itu harus dimulai dari diri sendiri, tekad itulah yang membawa saya kemari
dengan melakoni pekerjaan yang nanda lihat ini” kata Lelaki itu
Ketika seseorang berbuat dosa,
pada hakikatnya ia telah dikalahkan oleh hawa nafsunya. Virus dosa ini harus
segera diobati sebelum menjalar, yaitu dengan istighfar memohon ampunan kepada
Allah SWT. Karena satu dosa yang dilakukan seseorang itu bagai penyakit yang
menempel di jiwanya. Jika tidak segera diobati, suatu saat penyakit ini akan
menjalar dan menggiringnya untuk melakukan dosa lain.” katanya
Dosa menumpuk yang tidak segera diobati bisa
membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun akan mati. Rasulullah SAW
bersabda, “Ketika seorang
hamba melakukan satu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik
hitam. Jika ia meninggalkannya dan memohon ampunan serta bertaubat, maka
hatinya dibersihkan. Jika ia kembali untuk berbuat maksiat, maka ditambahkan
lagi titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan
sebagai “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, ‘Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka’”.
“Jadi
bagaimana dengan isteri dan anak bapak, apakah mereka tahu tentang kondisi
bapak seperti ini” kataku
“Nanti suatu waktu saya akan menemui mereka
dengan situasi yang bebeda, yah….. setelah benar-benar bisa melalui semua ini
dengan iklas. Saya tidak ingin mereka hidup dari uang haram.” Tegasnya.
Sebenarnya kalau dipikir, sangat normal jika
kita penuh dosa dan penuh dengan kekurangan, yang menjadi masalah adalah saat
kita berhenti dan menyesali dosa-dosa yang telah kita lakukan serta melakukan
taubat kepada Allah SWT. Memang sangat berat, akan tetapi keikhlasan dalam
bertaubatlah yang harus turut menyertai kita” katanya lagi.
“Benar
itu pak, pertaubatan dalam mengingat dosa harus tetap kita lakukan agar jangan
lalai dari tipu daya dunia ini” kataku sambil melihat jam tanganku
“Aduh…maaf pak kebetulan hujan telah redah
dan saya harus menjemput anak di sekolah. sebenarnya masih ingin berlama-lama
ngobrol dengan bapak, tapi……”
“Yah…sudah nak, gak apa-apa, utamakan
keluargamu. Sebab mereka lah yang membuat diri kita menjadi semangat. Jangan
pernah kau abaikan itu, karena saya telah mengalaminya sendiri” pesan lelaki
separoh baya.
“Jadi
gak apa-apa ni ….saya tinggal” kataku meyakinkan lelaki itu.
“Silahkan nak, sayapun mau melanjutkan
pekerjaan yang tertunda. Lain waktu kita bisa ngobrol lagi dengan suasana yang
berbeda.” Katanya
Akupun bangkit dan menyalamnya sekaligus
pamit untuk menjemput anakku yang sudah kelamaan menunggu di sekolah.
Apa yang dilakukan lelaki separoh baya itu merupakan hal yang tersulit kalau tidak dibarengi dengan keikhlasan, sebab pertaruhan ego yang hebat ketika seorang kontraktor beralih profesi menjadi tukang butut. Mudah-mudahan beliau sanggup menjalani proses hijrahnya dengan ikhlas dan sabar.
(Cerita ini hanya fiksi, jika ada kesamaan cerita itu hanya kebetulan
saja.)
Posting Komentar
0Komentar