Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Kebakaran rumah Hakim Pengadilan Negeri Medan, Khamozaro Waruhu, di tengah persidangan kasus korupsi proyek jalan di Tapanuli Selatan, bukan sekadar peristiwa kebakaran (4-11-2025), melainkan sinyal bahaya bagi independensi peradilan. Dalam suasana hukum yang sarat kepentingan politik, api yang melahap kediaman sang hakim seolah menjadi simbol intimidasi terhadap keberanian menegakkan keadilan. Terlebih, perkara yang dipimpinnya menyentuh lingkar kekuasaan dan berdampak meluas—dari kampus hingga pemerintahan daerah—dengan disebutnya nama Rektor USU dan Gubernur Sumatera Utara dalam pemberitaan media nasional (tempo.co., 26-8-2025 dan 2-11-2025). Dua figur kuat, dua kepentingan besar, dan satu pesan yang menggetarkan: bahwa di negeri ini, api tak selalu membakar rumah, tetapi juga nyali untuk menegakkan kebenaran.
Dalam sistem hukum modern, perlindungan terhadap hakim bukanlah privilese, melainkan prasyarat keadilan. Hakim adalah jantung peradilan—mereka memutus nasib warga negara berdasarkan hukum, bukan tekanan. Namun ketika negara gagal menjamin keamanan mereka, keadilan berubah menjadi arena ketakutan.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Norma konstitusional ini menempatkan negara sebagai pelindung aktif, bukan penonton pasif. Hakim, sebagai bagian dari penyelenggara kekuasaan kehakiman, seharusnya menikmati perlindungan penuh dari segala bentuk ancaman, kekerasan, atau intimidasi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan prinsip independensi hakim. Pasal 3 ayat (2) menyebutkan: “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang.” Campur tangan tidak selalu berbentuk perintah, tetapi juga bisa berupa ancaman dan teror yang melemahkan keberanian moral hakim.
Dalam dimensi hak asasi manusia, perlindungan terhadap hakim sejatinya adalah perlindungan terhadap hak publik atas keadilan. Pasal 14 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menegaskan hak atas peradilan yang adil, imparsial, dan independen. Dengan meratifikasi ICCPR melalui UU No. 12 Tahun 2005, Indonesia terikat secara hukum internasional untuk melindungi para hakim dari tekanan apa pun yang dapat mempengaruhi objektivitas mereka.
Sayangnya, komitmen itu tampak lebih banyak berhenti di atas kertas. Beberapa kasus kekerasan terhadap hakim menjadi catatan kelam yang belum ditutup dengan keadilan. Salah satu yang paling dikenang adalah pembunuhan terhadap Hakim Agung Syarifuddin Kartasasmita pada 26 Juli 2001—kasus yang melibatkan Tommy Soeharto sebagai otak pembunuhan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kekuasaan dan uang dapat merangsek masuk ke jantung lembaga kehakiman.
Kasus pembunuhan terhadap Hakim Syarifuddin telah menjadi simbol hancurnya wibawa peradilan kala itu. Ia ditembak di tengah lalu lintas Jakarta, hanya beberapa minggu setelah memutus kasus korupsi yang menjerat Tommy Soeharto. Dunia internasional memandang tragedi itu sebagai serangan terhadap rule of law di Indonesia. Namun, apakah negara belajar dari tragedi tersebut?
Dua dekade berlalu, ancaman terhadap hakim masih menghantui. Data internal Mahkamah Agung mencatat sejumlah laporan intimidasi dan teror terhadap hakim, baik di pengadilan umum maupun tipikor. Beberapa di antaranya bahkan melibatkan kekerasan fisik dan pembakaran properti. Ini menandakan bahwa sistem perlindungan hakim masih lemah secara struktural.
Komnas HAM seharusnya menjadi benteng pertama dalam situasi seperti ini. Berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM memiliki fungsi penyelidikan, pemantauan, dan mediasi terhadap dugaan pelanggaran HAM. Ancaman atau kekerasan terhadap hakim jelas merupakan pelanggaran terhadap hak untuk merasa aman dan menjalankan profesi tanpa intimidasi.
Namun, dalam praktiknya, Komnas HAM sering kali absen dalam merespons kasus yang melibatkan aparat penegak hukum sebagai korban. Sikap diam lembaga ini menimbulkan persepsi publik bahwa Komnas HAM hanya bersuara ketika pelaku kekerasan berasal dari institusi negara, bukan ketika negara gagal melindungi. Padahal, netralitas dan keberpihakan pada korban seharusnya menjadi prinsip universal.
Teori Positive Obligations of the State dalam hukum HAM internasional menegaskan bahwa negara tidak hanya dilarang melakukan pelanggaran, tetapi juga wajib mencegah dan melindungi warga dari ancaman pihak ketiga. Dalam konteks ini, Komnas HAM harus mendesak pemerintah untuk memenuhi kewajiban positif tersebut terhadap para hakim.
Sebagai lembaga independen, Komnas HAM dapat melakukan investigasi proaktif dan mengeluarkan rekomendasi kebijakan yang bersifat mengikat baik moral dan hukum. Langkah seperti pembentukan mekanisme perlindungan hakim, pelaporan ancaman, hingga pengawasan bersama dengan Mahkamah Agung dapat memperkuat sistem peradilan dari dalam.
Selain itu, perlindungan terhadap hakim harus bersifat komprehensif—meliputi aspek fisik, psikologis, property dan digital. Di era media sosial, ancaman sering datang dalam bentuk doxing dan serangan reputasi. Negara perlu memperluas definisi kekerasan terhadap hakim agar mencakup bentuk-bentuk baru intimidasi yang lebih halus namun sama berbahayanya.
Secara normatif, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran No. 4 Tahun 2002 tentang Perlindungan Hakim. Namun implementasi di lapangan masih jauh dari memadai. Tanpa dukungan anggaran, pelatihan, dan koordinasi lintas lembaga, surat edaran itu hanya menjadi teks tanpa daya paksa.
Komnas HAM memiliki posisi strategis untuk menjadi jembatan antara masyarakat sipil dan lembaga negara dalam isu ini. Dengan membentuk tim investigasi khusus dan mengeluarkan laporan tematik tahunan tentang perlindungan hakim, Komnas HAM dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Di sisi lain, kepolisian juga tidak bisa berlindung di balik prosedur. Dalam beberapa kasus, penyelidikan terhadap teror terhadap hakim berlangsung lamban, bahkan diabaikan. Padahal, Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia menegaskan tugas utama Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum—termasuk melindungi aparat penegak hukum lain.
Perlindungan terhadap hakim bukan semata soal keamanan individu, tetapi soal eksistensi negara hukum. Jika hakim tidak aman, maka warga juga tidak akan merasa aman di bawah payung hukum. Ketakutan yang menular di ruang sidang akan berujung pada keadilan yang ditawar-tawar.
Dalam pandangan Gustav Radbruch, hukum hanya bermakna jika keadilan, kepastian, dan kemanfaatan berjalan seiring. Namun ketika negara gagal melindungi hakim dari ancaman dan kekerasan, prinsip keadilan—gerechtigkeit—telah dikorbankan di altar kekuasaan. Hakim yang menjalankan mandat konstitusi untuk menegakkan hukum sejatinya harus menjadi subjek perlindungan tertinggi negara, bukan korban kelengahan aparat. Sebab dalam negara hukum, melindungi hakim berarti menjaga nyala keadilan tetap hidup, sekalipun kekuasaan berusaha meniupnya padam.
Tragedi demi tragedi, dari pembunuhan Hakim Syarifuddin hingga ancaman terhadap hakim tipikor hari ini, memperlihatkan bahwa negara masih lemah dalam menegakkan perlindungan terhadap penegak keadilan. Komnas HAM harus kembali pada roh kelahirannya—menjadi lembaga moral yang berani melawan keheningan kekuasaan.
Jika Komnas HAM terus bungkam di tengah teror terhadap hakim, maka yang terkikis bukan hanya kredibilitas lembaga, tetapi juga moralitas negara hukum itu sendiri. Diamnya Komnas HAM adalah bentuk abai terhadap mandat konstitusional yang menuntut keberpihakan pada korban dan kebenaran, bukan pada kenyamanan kekuasaan. Reformasi kelembagaan menjadi keniscayaan, sebab lembaga yang lahir dari perjuangan melawan ketakutan kini justru tampak takut bersuara. Dan ketika keberanian moral mati di tubuh pengawas HAM, maka yang tersisa hanyalah institusi tanpa jiwa—seperti keadilan yang kehilangan nuraninya.
Negara hukum tidak akan berdiri tegak tanpa hakim yang berani, dan hakim tidak akan berani tanpa jaminan perlindungan. Dalam suasana mencekam seperti ini, yang dibutuhkan bukan sekadar simpati, melainkan aksi konkret. Komnas HAM harus keluar dari bayang-bayang politik dan berdiri di garis depan.
Pada akhirnya, perlindungan terhadap hakim bukan semata urusan profesionalisme, melainkan ujian moral bagi bangsa yang mengaku menjunjung keadilan. Ketika hakim diteror dan negara memilih diam, yang sesungguhnya terancam bukan sekadar nyawa, melainkan keutuhan sistem peradilan itu sendiri. Komnas HAM harus bertindak proaktif, memastikan setiap hakim—terutama yang mengadili perkara korupsi—mendapat perlindungan penuh dari ancaman kekuasaan. Jika situasi di Sumatera Utara menunjukkan lemahnya jaminan keamanan dan independensi peradilan, maka penarikan sidang ke Jakarta bukan sekadar langkah teknis, melainkan tindakan darurat untuk menyelamatkan marwah keadilan dari bara ketakutan.
Demikian
Penulis Praktisi Hukum, Tenaga Ahli Anggota Komisi III Fraksi O. Gerindra DPR RI Tahun 2914-2019, Anggota Perkumpulan KontraS Sumut dan Aktivis Gerakan Rakyat Banyak.


Posting Komentar
0Komentar