Forum Penyelamat USU: Mendesak Transparansi Penanganan Dugaan Korupsi Lahan Sawit Universitas Sumatera Utara

Media Barak Time.com
By -
0

 


Baraktime.com|Medan

Krisis integritas lembaga pendidikan tinggi kembali menyeruak ke permukaan. Di tengah sorotan publik terhadap tata kelola kampus negeri, Universitas Sumatera Utara (USU) menjadi sorotan tajam. Bukan karena prestasi akademik, melainkan karena dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan aset negara berupa lahan perkebunan sawit yang selama ini menjadi salah satu sumber ekonomi universitas.


Forum Penyelamat Universitas Sumatera Utara (FP-USU) melangkah dengan berani dan konsisten. Melalui surat resmi bernomor 025/FP-USU/XI/2025 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, FP-USU meminta kejelasan atas tindak lanjut laporan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan lahan sawit USU. Laporan itu berdasarkan surat Nomor:  003/FP-USU/IX/2025, sebelumnya telah disampaikan pada 4 September 2025.


Langkah FP-USU bukan sekadar tindakan administratif. Ini adalah seruan moral agar supremasi hukum ditegakkan di atas prinsip transparansi. Publik berhak tahu ke mana arah penegakan hukum berjalan, terlebih ketika objek yang diperkarakan adalah aset publik yang dikelola oleh lembaga pendidikan negeri.


Dalam surat tersebut, FP-USU menegaskan dasar hukumnya secara terang: mulai dari Pasal 41 ayat (2) huruf c UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hingga Pasal 28F UUD 1945. Semua menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi tentang tindak lanjut laporan korupsi yang mereka sampaikan.


Ini bukan perkara kecil. Lahan sawit USU yang diduga menjadi ajang praktik penyimpangan adalah bagian dari kekayaan negara yang seharusnya dikelola untuk pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Bila aset itu justru diselewengkan, maka yang dirugikan bukan hanya kampus, melainkan masa depan generasi muda yang menuntut ilmu di dalamnya.


FP-USU menilai, lambannya penanganan laporan dan ketiadaan kejelasan dari otoritas hukum berpotensi menciptakan preseden buruk. Ketika laporan masyarakat dibiarkan menggantung tanpa jawaban, publik akan kehilangan kepercayaan pada lembaga penegak hukum. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak kepercayaan terhadap seluruh sistem penegakan hukum.


Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) sebagai institusi negara memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk memberikan kepastian hukum. Sesuai Pasal 34 UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, setiap laporan masyarakat harus ditindaklanjuti secara profesional dan transparan. Diam bukan pilihan.


Sikap FP-USU mencerminkan wajah baru gerakan moral di kampus. Ketika sebagian memilih diam, forum ini menolak tunduk pada ketakutan. Mereka menuntut akuntabilitas. Mereka menagih janji reformasi birokrasi dan supremasi hukum yang seharusnya hidup di setiap lembaga pendidikan tinggi negeri.


Publik tentu berhak bertanya: sampai sejauh mana laporan tersebut ditangani? Siapa yang bertanggung jawab? Bidang mana di Kejati Sumut yang menanganinya—apakah Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) atau bagian lain? Pertanyaan ini harus dijawab dengan data, bukan retorika.


Transparansi bukanlah ancaman bagi lembaga hukum; justru sebaliknya, ia memperkuat kepercayaan publik. Dalam era keterbukaan informasi, menutup akses terhadap laporan publik sama saja dengan mengkhianati semangat reformasi hukum yang diperjuangkan sejak dua dekade lalu.


FP-USU menegaskan, langkah mereka bukan bentuk perlawanan terhadap institusi hukum, melainkan upaya memperkuatnya. Dengan mengingatkan, mereka ingin memastikan hukum berjalan lurus. Mereka mengajukan permohonan dengan itikad baik, disertai dasar hukum yang kuat dan argumentasi konstitusional.


Dugaan penyimpangan pengelolaan lahan sawit USU yang merupakan aset negara harus dilihat sebagai cermin dari problem tata kelola aset kampus negeri di Indonesia secara umum. Banyak universitas memiliki aset produktif, namun lemahnya pengawasan dan dominasi kelompok tertentu membuatnya rawan dikorupsi.


Kampus tidak boleh menjadi tempat berlindung bagi pelaku korupsi berbaju akademisi. Jika dunia pendidikan kehilangan moralitas, maka negara akan kehilangan pusat nuraninya. Karena itu, keberanian FP-USU menagih akuntabilitas pantas diapresiasi, bukan dicurigai.


Kasus ini juga menguji keberpihakan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara terhadap prinsip good governance. Menindaklanjuti laporan masyarakat bukanlah kebaikan tambahan, melainkan kewajiban hukum. Setiap penundaan hanya memperdalam kecurigaan publik terhadap adanya intervensi kekuasaan.


Keterlibatan berbagai pihak seperti Majelis Wali Amanat, Dewan Guru Besar, Senat Akademik, hingga Ikatan Alumni USU yang turut ditembusi dalam surat FP-USU memperlihatkan bahwa isu ini bukan sekadar persoalan hukum, melainkan juga moral dan kelembagaan. USU sebagai universitas tertua di Sumatera seharusnya menjadi teladan integritas, bukan pusat kontroversi.


Dalam konteks lebih luas, surat FP-USU ini adalah cermin dari kesadaran sipil masyarakat kampus. Mereka menegaskan bahwa reformasi tidak akan lahir dari ruang hampa, melainkan dari keberanian moral untuk mempertanyakan penyimpangan dan menuntut pertanggungjawaban.


Kini, bola ada di tangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Masyarakat menunggu jawaban: apakah lembaga ini akan menjunjung prinsip transparansi dan supremasi hukum, atau justru membiarkan kasus ini menjadi catatan gelap baru dalam sejarah penegakan hukum di dunia pendidikan? Dalam situasi seperti ini, diam bukanlah kebijaksanaan, melainkan bentuk lain dari pembiaran terhadap ketidakadilan.


Demikian.


Siaran Pers, Forum Penyelamat USU, Ketua Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)