Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Kebakaran yang melanda rumah Hakim Pengadilan Negeri Medan, Khamozaro Waruhu, di Komplek Taman Harapan Indah, Medan Selayang, bukan sekadar insiden kebakaran biasa. Api yang melahap kediaman sang hakim pada Selasa (4/11) itu muncul di tengah sorotan publik terhadap keberaniannya memimpin persidangan kasus korupsi proyek jalan di Tapanuli Selatan. Dalam atmosfer hukum yang sarat tekanan politik, kebakaran ini seolah menjadi metafora tentang bagaimana kebenaran kerap dibungkam melalui teror yang dibalut misteri.
Sebagai Ketua Majelis Hakim Tipikor, Khamozaro tengah memeriksa perkara OTT Topan O Ginting—kasus yang menyeret lingkar kekuasaan dari kampus hingga birokrasi. Berdasarkan laporan Tompo.co (26 Agustus 2025), persidangan itu menyinggung nama Rektor Universitas Sumatera Utara, Muryanto Amin, sebagai bagian dari “sirkel kejahatan korupsi” dalam proyek jalan. Sementara dalam pemberitaan Tempo.co (2 November 2025), majelis hakim juga sempat mendalami kesaksian yang mengarah pada dugaan keterlibatan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution. Dua nama besar, dua kepentingan besar—dan kini, satu rumah hakim terbakar.
Kebakaran ini tidak bisa dilepaskan dari konteks keberanian hakim yang menembus batas kekuasaan. Ia memperlihatkan risiko nyata yang dihadapi penegak hukum di tengah pusaran oligarki lokal. Bila api itu terbukti bukan kebetulan, maka negara sedang diuji: apakah hukum masih memiliki nyala keberanian, atau justru padam di bawah asap ancaman yang menghitamkan wajah keadilan.
Warga sekitar menyebut api muncul secara mendadak di tengah malam. Tidak ada indikasi awal korsleting listrik atau kelalaian rumah tangga. Namun, beberapa saksi mendengar suara kendaraan berhenti di depan rumah beberapa menit sebelum api muncul. Fakta-fakta ini seharusnya cukup menjadi dasar bagi penyelidikan mendalam oleh kepolisian.
Bila terbukti bahwa kebakaran ini bukan kecelakaan, maka kita sedang menyaksikan bentuk baru dari teror terhadap aparat peradilan. Ancaman terhadap hakim bukan sekadar ancaman personal, melainkan serangan terhadap simbol keadilan itu sendiri.
Data Komisi Yudisial menunjukkan bahwa sepanjang lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 20 laporan intimidasi terhadap hakim di Indonesia. Sebagian besar terjadi dalam perkara korupsi dan sengketa politik. Ini bukan fenomena tunggal, melainkan pola yang berulang dalam konteks lemahnya perlindungan bagi penegak hukum.
Dalam perspektif teori kekuasaan Michel Foucault, kekuasaan selalu berusaha mempertahankan dirinya dengan mengendalikan narasi. Api di rumah hakim bisa dibaca sebagai bentuk “disiplin kekuasaan”—cara sistem mempertahankan status quo melalui rasa takut.
Ketika hukum mulai menembus lapisan kepentingan ekonomi dan politik, selalu ada resistensi. Mereka yang merasa terancam akan menggunakan segala cara—dari tekanan halus hingga kekerasan terselubung—untuk melindungi jaringan korupsi yang selama ini memberi mereka keuntungan.
Inilah yang disebut Noam Chomsky sebagai “manufacturing consent”: menciptakan situasi agar masyarakat menerima kebungkaman sebagai hal normal. Jika publik tidak bersuara, maka pembakaran seperti ini akan dianggap hanya insiden biasa.
Namun, kasus ini tidak boleh tenggelam dalam rutinitas birokrasi penyelidikan. Transparansi penyidikan menjadi kunci. Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Yudisial harus duduk bersama untuk memastikan investigasi berjalan profesional, independen, dan terbuka bagi pengawasan publik.
Bila negara gagal melindungi hakimnya, maka yang runtuh bukan hanya rumah yang terbakar, tetapi fondasi moral dari negara hukum itu sendiri. Negara yang tidak mampu menjamin keselamatan penegak hukumnya sedang menuju anarki dalam bentuk yang lembut.
Publik berhak tahu siapa di balik kebakaran ini. Apakah ada kaitan dengan perkara yang sedang disidangkan? Apakah ini upaya membungkam putusan yang akan mengguncang banyak pihak? Semua pertanyaan ini mendesak untuk dijawab.
Secara hukum pidana, jika ditemukan unsur kesengajaan atau niat untuk mengintimidasi, maka pelaku dapat dijerat Pasal 187 KUHP tentang pembakaran dan Pasal 214 KUHP tentang perlawanan terhadap pejabat yang menjalankan tugas negara. Namun penegakan pasal-pasal itu tidak berarti apa-apa tanpa keberanian politik untuk menegakkannya.
Perlindungan terhadap hakim semestinya diatur secara komprehensif. Bukan hanya pengamanan fisik, tetapi juga dukungan psikologis dan perlindungan keluarga. Dalam banyak kasus di negara maju, seperti di Italia dan Brasil, pengadilan korupsi dilengkapi sistem keamanan setara militer. Indonesia belum sampai di sana.
Di sisi lain, pemerintah pusat tidak boleh berdiam diri. Presiden dan Mahkamah Agung perlu mengeluarkan pernyataan resmi dan langkah nyata. Diam berarti memberi ruang bagi rasa takut untuk tumbuh, dan rasa takut adalah musuh utama keadilan.
Kasus ini juga menguji integritas lembaga-lembaga pengawasan. Komisi Yudisial dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu hadir bukan sekadar sebagai lembaga formal, tetapi sebagai benteng moral.
Bila penyelidikan dilakukan dengan setengah hati, publik akan menganggap negara ikut bersekongkol dalam upaya menutupi kebenaran. Ketidakpercayaan pada hukum akan semakin dalam, dan pada akhirnya, rakyat akan mencari keadilan di luar sistem.
Korupsi di sektor infrastruktur jalan bukan hal baru di Sumatera Utara. Berdasarkan data ICW (2023), daerah ini termasuk tiga besar dalam jumlah kasus korupsi proyek jalan terbanyak di Indonesia. Artinya, banyak kepentingan ekonomi yang bermain di balik aspal yang retak itu.
Maka, tak mengherankan jika keberanian hakim untuk menegakkan keadilan dianggap ancaman oleh pihak-pihak tertentu. Api itu bukan sekadar panasnya bara, melainkan representasi dari konflik antara kebenaran dan kekuasaan.
Secara sosiologis, insiden ini memperlihatkan bagaimana ketakutan dapat dijadikan alat kontrol sosial. Ketika penegak hukum merasa tidak aman, mereka akan cenderung memilih kompromi daripada konfrontasi. Itulah titik awal matinya supremasi hukum.
Dalam konteks inilah, peran media dan masyarakat sipil menjadi krusial. Liputan investigatif, pengawasan publik, dan tekanan opini adalah instrumen yang menjaga agar kasus ini tidak tenggelam dalam arsip dingin birokrasi.
Lembaga yudisial harus menyadari bahwa keberanian individual hakim tidak akan berarti tanpa keberanian institusional. Sistem harus menyiapkan mekanisme perlindungan berlapis agar hakim tidak berdiri sendirian di hadapan kekuatan korup.
Kita perlu mengingat kembali prinsip dasar negara hukum: fiat justitia ruat caelum — tegakkan keadilan meski langit runtuh. Jika kalimat itu hanya tinggal semboyan, maka api yang membakar rumah hakim hari ini bisa dengan mudah merembet membakar keyakinan rakyat akan keadilan esok hari.
Mungkin benar, seperti dikatakan sosiolog Max Weber, bahwa kekuasaan selalu berusaha memonopoli kekerasan. Tapi dalam negara demokrasi, kekerasan hanya sah bila digunakan untuk menegakkan hukum, bukan untuk membungkam kebenaran.
Karena itu, kebakaran di rumah hakim bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah ujian moral bagi negara ini: apakah kita masih berani berdiri di sisi kebenaran ketika nyala api mencoba memadamkannya.
Pada akhirnya, kebakaran rumah Hakim Tipikor Khamozaro Waruhu seharusnya menjadi alarm moral bagi bangsa ini. Api itu bukan hanya membakar dinding dan atap, tetapi mengguncang fondasi kepercayaan publik terhadap perlindungan penegak hukum di negeri yang sedang berjuang melawan korupsi. Negara, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang berulang kali menegaskan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, wajib menunjukkan keseriusan melalui penyelidikan terbuka dan tegas. Sebab tanpa keberanian menyingkap kebenaran di balik api ini, slogan antikorupsi akan kehilangan makna, dan yang benar-benar hangus bukan sekadar rumah seorang hakim—melainkan integritas bangsa itu sendiri.
Demikian.
Penulis Praktisi Hukum, Anggota Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Dan Ketua Forum Penyelamat USU


Posting Komentar
0Komentar