Universitas Amir Hamzah Medan: Legasi Raja Sahnan dalam Membangun Memori Kolektif.

Media Barak Time.com
By -
0

 




Dalam sejarah pendidikan tinggi di Sumatera Timur, nama Universitas Amir Hamzah Medan bukan sekadar institusi akademik, melainkan simbol perlawanan kultural atas lupa sejarah. Ia berdiri di atas landasan kesadaran Melayu yang ingin menegakkan jati diri setelah gelombang modernisasi menggulung akar kebudayaan lokal. Di balik berdirinya universitas ini, berdiri pula figur sentral: Raja Sahnan, seorang tokoh pendidikan dan kebudayaan yang menautkan kembali benang sejarah Melayu dengan masa depan intelektual anak negeri.


Nama Amir Hamzah yang disematkan pada universitas ini bukan tanpa alasan. Amir Hamzah (1911–1946), penyair Pujangga Baru asal Langkat, adalah simbol keagungan Melayu dan martir kemerdekaan Indonesia. Dalam puisi-puisinya, ia menggambarkan dilema bangsa yang kehilangan arah antara Timur dan Barat. Maka, penamaan universitas ini adalah bentuk penghormatan dan penegasan: pendidikan di Sumatera Timur harus berakar pada nilai-nilai kebudayaan dan spiritualitas Melayu.


Sejarah mencatat bahwa Universitas Amir Hamzah berdiri pada akhir dekade 1980-an, di tengah geliat masyarakat Medan yang mulai menuntut akses pendidikan tinggi yang lebih luas. Kala itu, pemerintah pusat belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat melalui perguruan tinggi negeri. Di sinilah gagasan Raja Sahnan menjadi relevan: menghadirkan universitas rakyat yang tetap menjaga etika Melayu, moral, dan integritas ilmiah.


Sebagai pendiri dan penggerak utama, Raja Sahnan tidak sekadar membangun gedung atau membuka fakultas. Ia membangun memori kolektif Melayu melalui pendidikan. Baginya, universitas harus menjadi wahana penyambung lidah sejarah bangsa, bukan sekadar pabrik gelar. Ia ingin agar setiap mahasiswa Universitas Amir Hamzah mengingat akar budayanya, memahami sejarah kerajaan-kerajaan Melayu seperti Deli, Langkat, dan Serdang, serta menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat pembebasan, bukan penjajahan baru.


Pendekatan ini membuat Universitas Amir Hamzah berbeda dari kebanyakan perguruan tinggi swasta di Medan. Kampus ini berdiri di atas etos sosial Melayu yang menjunjung marwah, hormat, dan musyawarah. Visi tersebut terefleksi dalam sistem kepemimpinan kampus yang kolegial serta orientasi pengajaran yang memadukan nilai-nilai moral dan akademik. Dalam hal ini, Raja Sahnan menegaskan bahwa universitas tidak boleh menjadi ruang komersialisasi ilmu, melainkan ruang pengabdian bagi negeri.


Dalam wawancara dan catatan sejarah lokal, Raja Sahnan pernah berujar tegas: “Jika Universitas Amir Hamzah ini tidak mampu lagi dikelola dengan baik, maka harus dikembalikan kepada negara. Jadikanlah ia universitas negeri.” Pernyataan ini bukan sekadar ungkapan emosional, melainkan refleksi tanggung jawab moral seorang pendiri terhadap nasib ilmu pengetahuan. Ia memahami bahwa ilmu yang sejati tidak boleh dikuasai segelintir orang, melainkan harus menjadi milik publik.


Gagasan pengembalian Universitas Amir Hamzah kepada negara juga memiliki konteks historis. Di Sumatera Timur, banyak lembaga pendidikan swasta yang berawal dari semangat lokal, namun seiring waktu tergerus oleh persoalan manajemen, konflik kepentingan, dan lemahnya dukungan negara. Raja Sahnan melihat bahaya itu sejak awal. Ia khawatir lembaga yang ia bangun dengan idealisme akan menjadi korban pragmatisme jika tak dijaga dalam kerangka nasional.


Dalam pandangan sosiologis, langkah Raja Sahnan dapat dibaca sebagai upaya deprivatisasi pendidikan: mengembalikan pendidikan tinggi kepada masyarakat sebagai entitas publik, bukan komoditas. Di tengah komersialisasi kampus yang menjamur di Medan, gagasan ini terasa progresif dan mendahului zamannya. Ia menolak logika pasar dalam pendidikan, dan memilih untuk menegakkan logika kebangsaan—bahwa universitas harus berdiri di atas kepentingan rakyat.


Secara kultural, Universitas Amir Hamzah juga menjadi ruang konservasi warisan Melayu. Program-program pengajaran sastra, hukum adat, dan sejarah lokal yang dikembangkan kampus ini pada dekade 1990-an merupakan bagian dari proyek kebudayaan yang lebih luas: menjaga ingatan kolektif Sumatera Timur. Di kampus ini, generasi muda diajak untuk membaca sejarah bukan sekadar kronologi, melainkan identitas.


Peran Universitas Amir Hamzah makin penting ketika konteks sosial-politik Medan berubah drastis pascareformasi. Saat nilai-nilai pragmatisme, politik uang, dan sektarianisme mulai merasuki sendi kehidupan sosial, universitas ini menjadi benteng moral dan intelektual. Melalui berbagai diskursus akademik, kampus ini menegaskan kembali pentingnya marwah Melayu—sebagai panduan etik bagi masyarakat urban yang kian terpecah.


Namun perjalanan universitas ini tidak selalu mulus. Tantangan finansial, birokrasi pendidikan tinggi, dan pergantian kepemimpinan sempat menguji konsistensi visi pendiriannya. Meski demikian, semangat Raja Sahnan tetap hidup dalam ingatan para alumni dan dosen. Mereka melihat universitas ini bukan sekadar tempat belajar, tetapi simbol keikhlasan seorang raja yang menyerahkan ilmunya untuk negeri.


Dalam konteks lebih luas, warisan Raja Sahnan sejalan dengan filosofi Melayu klasik: adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah. Pendidikan, bagi beliau, harus melahirkan manusia beradab. Itulah sebabnya Universitas Amir Hamzah dibangun bukan di atas kebanggaan etnik semata, tetapi di atas kesadaran spiritual—bahwa ilmu adalah amanah.


Kini, ketika wacana transformasi perguruan tinggi swasta menjadi negeri kembali bergulir di tingkat nasional, gagasan Raja Sahnan terasa semakin relevan. Pengambilalihan lembaga pendidikan rakyat oleh negara bukan bentuk kehilangan, tetapi pemuliaan. Sebab, seperti dikatakannya, “Jika lembaga ini milik publik, maka rakyatlah yang menjadi pemilik sejatinya.”


Universitas Amir Hamzah harus terus mempertahankan semangat awalnya: menjadi kampus yang berpihak pada rakyat, mengakar pada budaya Melayu, dan terbuka bagi semua anak bangsa. Dalam era digital dan globalisasi, nilai-nilai yang ditanamkan Raja Sahnan—kejujuran, tanggung jawab, dan cinta ilmu—adalah fondasi yang tak boleh luntur.


Legasi Raja Sahnan adalah bukti bahwa pendidikan bisa menjadi jalan membangun memori kolektif bangsa. Melalui Universitas Amir Hamzah, ia menunjukkan bahwa ingatan tentang sejarah dan budaya Melayu tidak boleh sekadar menjadi catatan di buku, tetapi hidup dalam praksis intelektual. Dan jika suatu hari universitas ini benar-benar menjadi milik negara, maka sesungguhnya Raja Sahnan telah menang—karena cita-citanya tentang ilmu untuk bangsa Melayu Deli telah menjadi kenyataan.


Demikian 


Penulis Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH. Praktisi Hukum, Bermandat Kultural  Seorang Muslim Lahir Di Medan, Asal Leluhur Dari Kerajaan Panai.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)