"Tangan Besi Di Kampus: Komnas HAM Telusuri Laporan Dugaan Intimidasi Dan Pembubaran Paksa Demo Mahasiswa Universitas Sumatera Utara"

Media Barak Time.com
By -
0

 


 


Pada tanggal 13 Oktober 2025, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Kampus (AMPK) menggelar aksi yang diberi label “Gerakan Mahasiswa Menggugat (GMM)” di depan Biro Rektorat Universitas Sumatera Utara (USU).  Dalam aksi tersebut, mereka mendesak pembatalan hasil pemilihan ulang rektor yang melibatkan Plt Rektor USU dan menuntut transparansi dalam pengelolaan keuangan dan aset kampus.

Namun, aksi damai ini berjalan tidak mulus. Beberapa mahasiswa melaporkan adanya intimidasi dari pihak kampus — termasuk instruksi pembubaran oleh Wakil Rektor I dan keamanan kampus — serta pembatasan waktu aksi hanya sekitar 20 menit.  Untuk itu, Komnas HAM kini menaruh perhatian khusus terhadap laporan dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks kampus ini.

 

1. Latar Belakang Aksi

 

Mahasiswa AMPK mengidentifikasi sejumlah persoalan yang mendasari aksi:

a.       Proses Panitia Penjaringan Oleh Senat Akademik USU pada 25 September 2025 di Ketua Prof . Thamrin telah di nilai “cacat hukum dan etika akademik”. Hal ini dikarenakan menerima calon rektor yang cacat integritas dimana sebagai sirkel kejahatan korupsi OTT Topan Ginting dalam proyek jalan di dunia Tapanuli Selatan.

b.       Dugaan pemotretan surat suara oleh anggota senat dalam bilik pemilihan, dugaan manipulasi serta intimidasi terhadap anggota senat, dan indikasi KKN dalam rangkaian Pil-Rektor dan MWA.

c.       Tuntutan agar Majelis Wali Amanat (MWA) dan Kementerian Pendidikan, Sains dan Teknologi mengambil alih proses Pil-Rektor karena sudah kehilangan legitimasi moral.

d.       Sorotan atas dana hibah Pemprov Sumatera Utara senilai Rp 41 miliar untuk proyek UMKM Square USU yang disebut mahasiswa “sarat kontroversi” dan tidak transparan.

e.       Audit aset kampus, termasuk kebun sawit USU seluas 10.000 hektar , namun yang produksi kelapa sawit sebanyak 5.610 hektare di Tabuyung  Kabupaten Mandailing Natal yang menurut mahasiswa “tidak lagi berada dalam kendali universitas dan harus dikembalikan untuk kepentingan tri dharma perguruan tinggi.”

Dari data tersebut, terlihat bahwa akar konflik bukan semata prosedur kampus tetapi menyentuh integritas akademik, demokrasi internal kampus, dan pengelolaan aset-keuangan.

 

2. Intimidasi dan Pembubaran Paksa – “Tangan Besi” di Kampus

 

Mahasiswa melaporkan bahwa saat aksi berlangsung:

Pihak keamanan kampus (security) maupun wakil rektor tampak aktif meminta massa membubarkan diri “karena dianggap mempermalukan USU”.

 

Aksi dibatasi secara waktu (sekitar 20 menit) dan kemudian dibubarkan sebagian  sejumlah mahasiswa memilih tetap bertahan meskipun dibayang-bayangi tindakan pembubaran.

Konteks sebelumnya menunjukkan bahwa kampus ini telah mengalihkan perkuliahan ke daring (online) selama beberapa hari di awal September karena “banyaknya aksi demo di kampus”.

 

Dari perspektif hak asasi manusia, dua isu utama muncul: pertama, hak menyampaikan pendapat di kampus; kedua, hak atas akses pendidikan yang tidak terhambat oleh intimidasi atau pembubaran paksa. Jika benar adanya pembubaran paksa atau tekanan, maka ini bisa menjadi pelanggaran hak konstitusional mahasiswa — yang semestinya dilindungi oleh negara dan kampus sebagai institusi pendidikan.

Peran Komnas HAM dan Analisis Kritis

 

Komnas HAM menegaskan, ruang akademik tidak boleh steril dari kebebasan berekspresi. Dalam catatan lembaga ini, sepanjang 2024–2025 terdapat sedikitnya 27 pengaduan pelanggaran hak sipil di lingkungan kampus, mulai dari intimidasi terhadap aktivis mahasiswa hingga pembatasan demonstrasi damai. USU kini menambah daftar panjang universitas yang terseret dalam praktik pembungkaman dengan dalih “ketertiban akademik”. Padahal, menurut Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Kebebasan Berpendapat dan Berkumpul yang diterbitkan Komnas HAM (2022), hak mahasiswa untuk menyampaikan kritik di ruang kampus merupakan bagian integral dari kebebasan akademik dan dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945.

Dalam konteks USU, dugaan pembubaran paksa aksi mahasiswa oleh aparat keamanan kampus dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. Komnas HAM menilai bahwa tindakan membatasi waktu demonstrasi, apalagi disertai ancaman sanksi akademik, bertentangan dengan prinsip proportionality dan necessity dalam penegakan ketertiban umum. Dengan kata lain, setiap upaya pengendalian aksi mahasiswa harus didasarkan pada alasan yang sah, rasional, dan tidak meniadakan esensi hak itu sendiri. Dalam banyak kasus serupa, lembaga ini selalu menegaskan: membungkam kritik di kampus sama artinya menutup laboratorium demokrasi bangsa.

Lebih jauh, Komnas HAM mendorong universitas di Indonesia menerapkan Human Rights Campus Policy — kebijakan berbasis HAM yang menjamin ruang aman bagi mahasiswa untuk bersuara, berekspresi, dan berorganisasi tanpa tekanan. Transparansi dan dialog terbuka dinilai lebih efektif ketimbang represi dan pelabelan negatif terhadap gerakan mahasiswa. Sebab, kampus yang takut pada kritik bukanlah menara ilmu, melainkan benteng kekuasaan. Jika USU gagal menjawab tudingan ini secara terbuka dan akuntabel, maka sorotan publik bukan lagi soal Pilrek atau hibah Rp41 miliar, melainkan soal matinya nurani akademik di jantung pendidikan tinggi negeri ini.

 

Dalam kasus USU ini, jika terbukti adanya:

 

intervensi kampus secara langsung membubarkan aksi mahasiswa secara prematur;

intimidasi fisik atau tekanan terhadap mahasiswa yang menyuarakan protes;

 

hambatan terhadap hak belajar karena situasi kampus yang “terganggu” oleh konflik internal;

 

Maka, Komnas HAM dapat menilai hal tersebut sebagai pelanggaran standar hak asasi manusia di lingkungan pendidikan. Hal ini sebab: lingkungan kampus semestinya menjadi ruang terbuka bagi kritik, refleksi ilmiah, dan pengembangan demokrasi kampus — bukan area di mana kebebasan sipil dibungkam oleh kekuasaan institusional.

 

4. Implikasi bagi Demokrasi Kampus dan Tata Kelola Universitas

 

Konflik di USU ini punya implikasi yang lebih luas:

Demokrasi internal kampus: Mahasiswa menilai bahwa “demokrasi kampus telah mati secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)”.  Bila benar, maka ini bukan sekadar masalah USU tapi menunjukkan penyakit sistemik dalam kelembagaan pendidikan tinggi di Indonesia.

 

Tata kelola keuangan dan aset: Tuntutan audit terhadap hibah Rp 41 miliar serta aset USU lahan kebun sawit seluas 10.000 ha dengan lahan kelapa sawit yang produktif 5.610 ha menunjukkan bahwa mahasiswa melihat kampus bukan hanya sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai institusi publik yang mengelola aset strategis — jika dikelola buruk, maka efeknya terhadap akses dan kualitas pendidikan bisa serius.

 

Hak belajar dan kebebasan akademik: Saat kampus menjadi ruang di mana mahasiswa takut menyampaikan kritik karena takut dibubarkan atau diintimidasi, maka hak mereka untuk belajar dalam lingkungan yang terbuka dan kritis menjadi terancam.

Kepercayaan publik terhadap kampus: Tindakan pembubaran aksi dan tuduhan manipulasi Pil-Rektor dapat merusak citra institusi pendidikan yang seharusnya menjadi mercusuar ilmu dan moralitas.

 

5. Rekomendasi untuk Tindakan Lanjutan

 

Langkah pertama yang paling mendesak adalah investigasi independen Komnas HAM terhadap dugaan intimidasi dan pembubaran paksa aksi mahasiswa di Universitas Sumatera Utara. Lembaga ini perlu segera mengumpulkan bukti video, testimoni saksi, hingga menelusuri kebijakan internal kampus yang mungkin melanggar hak asasi manusia. Transparansi penyelidikan menjadi kunci agar publik tidak sekadar disuguhi versi tunggal dari pihak kampus. Investigasi semacam ini juga akan menjadi preseden penting bagi dunia pendidikan tinggi bahwa pelanggaran hak sipil di ruang akademik tak boleh dianggap enteng atau disapu di bawah karpet birokrasi.

Kedua, tanggung jawab moral dan administratif kini berada di tangan Senat Akademik, MWA, dan rektorat USU. Mereka mesti membuka kanal komunikasi dan dialog terbuka dengan mahasiswa. Publikasi audit aset dan keuangan kampus, termasuk dana hibah Rp41 miliar dan pengelolaan lahan sawit 5.610 hektare, harus menjadi agenda prioritas. Di era keterbukaan informasi, menutup-nutupi data publik bukan hanya pelanggaran etik, tapi juga kemunduran akademik. Universitas yang sehat tidak alergi terhadap kritik; sebaliknya, ia tumbuh justru dari perdebatan dan koreksi yang jujur.

 

Ketiga, Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi (Kemdiksaintek) tidak boleh sekadar menjadi penonton. Pemerintah harus memperkuat regulasi demokrasi kampus dengan membangun mekanisme pengaduan mahasiswa yang efektif dan melindungi pelapor dari tekanan struktural. Proses pemilihan rektor dan senat akademik mesti dijamin transparan, adil, dan bebas dari intervensi politik lokal maupun oligarki internal. Jika kementerian gagal menegakkan prinsip ini, maka yang runtuh bukan hanya legitimasi USU, melainkan kredibilitas seluruh sistem pendidikan tinggi negeri.

Akhirnya, tanggung jawab moral publik—termasuk media, alumni, dan masyarakat Sumatera Utara—tak kalah penting. Pengawasan publik adalah vaksin bagi penyalahgunaan kekuasaan di kampus. USU harus kembali dipahami bukan sebagai milik kelompok tertentu, tetapi sebagai ruang pengetahuan dan integritas yang melayani kepentingan bangsa. Jika kampus dibiarkan menjadi “koridor kekuasaan”, maka yang kita lahirkan bukan intelektual pembaru, melainkan teknokrat yang jinak pada otoritas. Dalam konteks itu, gerakan mahasiswa bukan ancaman bagi universitas, melainkan napas terakhir yang menjaga kampus tetap hidup sebagai rumah kebebasan.

Akhirnya, kasus di USU ini lebih dari sekadar polemik kampus; ini adalah refleksi dari tantangan besar demokrasi lokal, tata kelola institusi publik, dan hak asasi manusia di ranah pendidikan tinggi. Bila kampus — yang seharusnya menjadi “laboratorium demokrasi” dan penjaga moralitas intelektual — justru mengalami “tangan besi” dalam menghadapi kritik mahasiswa, maka kita semua harus bertanya: Siapa yang menjaga penjaga kebebasan akademik?

 

Dalam kerangka nasional, percuma bila hak-hak sipil dijunjung tinggi di ruang publik, sementara di kampus — lembaga yang menghasilkan pemimpin dan intelektual masa depan — kebebasan mengemuka justru dibungkam. Komnas HAM mendapatkan mandat untuk mengawal ini, dan publik harus memastikan bahwa mandat itu dijalankan — agar aksi mahasiswa AMPK-GMM bukan sekadar “demo yang padam” tetapi pemantik reformasi nyata di kampus USU dan seterusnya.

 

Demikian.

Penulis Selwa Kumar Anggota Forum Penyelamat USU.

 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)