Presiden Dan Pertanggungjawaban Hukum: Belajar Dari Sarkozy Untuk Menakar Jokowi

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH


Di antara sekian banyak negara demokrasi, Prancis kerap dijadikan cermin kematangan hukum dan akuntabilitas kekuasaan. Semboyan revolusioner Liberté, Égalité, Fraternité bukan sekadar slogan moral, tetapi panduan etis yang membentuk arsitektur hukum dan politik modern mereka. Di negeri itu, hukum benar-benar berjalan — bahkan hingga ke puncak kekuasaan.


Kasus mantan Presiden Nicolas Sarkozy menjadi bukti paling terang. Pengadilan Prancis menjatuhkan vonis lima tahun penjara atas kasus penggelapan dana kampanye yang melibatkan jutaan euro dari mendiang pemimpin Libya, Muammar Gaddafi. Vonis itu menandai satu hal penting: bahwa kekuasaan eksekutif, betapapun tingginya, tidak berada di atas hukum.


Sarkozy bukan satu-satunya presiden demokrasi yang harus duduk di kursi pesakitan. Di Korea Selatan, Park Geun-hye divonis 24 tahun penjara atas kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Di Brasil, Lula da Silva sempat mendekam di penjara meski akhirnya dibebaskan dan kembali menjadi presiden. Di Israel, Benjamin Netanyahu diseret ke pengadilan atas dugaan suap. Di Amerika Serikat, Donald Trump menghadapi berbagai penyelidikan hukum atas pelanggaran pemilu dan penyalahgunaan kekuasaan.


Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam negara demokrasi yang matang, jabatan presiden tidak menghapus prinsip dasar hukum: equality before the law. Tidak ada kekebalan absolut bagi kepala negara setelah masa jabatannya berakhir. Hukum tetap menagih pertanggungjawaban moral dan legal atas segala kebijakan maupun penyimpangan yang dilakukan.


Indonesia, dengan sistem presidensialnya, juga mengakui prinsip yang sama. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tegas menyebut: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Artinya, seluruh penyelenggara negara — termasuk presiden — tunduk pada supremasi hukum, bukan sebaliknya. Namun pertanyaannya, apakah prinsip ini benar-benar hidup dalam praktik kekuasaan?


Selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, isu akuntabilitas presiden dalam kebijakan publik kerap menjadi sorotan. Kritik terhadap proyek infrastruktur, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi sering berujung pada satu pertanyaan mendasar: apakah presiden dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kebijakan yang menimbulkan kerugian publik?


Salah satu isu aktual yang menimbulkan perdebatan adalah proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh). Proyek yang diklaim sebagai simbol modernitas transportasi nasional ini justru diwarnai tudingan markup, pembengkakan biaya, dan penyimpangan skema pembiayaan.


Data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, total nilai proyek yang awalnya Rp 86,5 triliun melonjak menjadi lebih dari Rp 113 triliun. Skema pinjaman dari China Development Bank (CDB) yang semula berbasis business to business berubah menjadi skema dengan jaminan negara. Perubahan mendasar inilah yang oleh sejumlah kalangan dianggap melanggar prinsip risk management dalam kebijakan publik.


Pertanyaannya: jika benar terdapat kerugian negara akibat kebijakan tersebut, bisakah presiden dimintai pertanggungjawaban hukum sebagaimana Sarkozy di Prancis?


Dalam sistem presidensial Indonesia, mekanisme pertanggungjawaban hukum presiden diatur dengan sangat ketat. Pasal 7A UUD 1945 menyebut presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Namun pasal ini berhenti pada masa jabatan. Setelah lengser, tanggung jawab hukum atas kebijakan publik masih menjadi wilayah abu-abu. Belum ada preseden di Indonesia yang menjerat mantan presiden karena kebijakan yang menimbulkan kerugian besar bagi negara.


Di sinilah pentingnya belajar dari Prancis. Pengadilan Prancis tidak hanya melihat tindak pidana sebagai perbuatan individual, melainkan juga mengaitkannya dengan tanggung jawab politik dan moral seorang kepala negara. Dalam kasus Sarkozy, hakim menilai penyalahgunaan dana kampanye telah merusak integritas sistem politik nasional — bukan sekadar pelanggaran teknis.


Demokrasi yang sehat diukur bukan dari seberapa sering pemilu digelar, tetapi seberapa berani negara menegakkan hukum terhadap elit tertingginya. Keadilan yang berhenti di bawah meja kekuasaan hanyalah slogan tanpa makna.


Dalam Democracy Index 2024 yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU), negara-negara dengan sistem akuntabilitas tinggi seperti Prancis, Korea Selatan, dan Taiwan masuk kategori full democracy. Sementara Indonesia masih berada di level flawed democracy dengan skor 6,7 dari 10. Salah satu indikator utamanya adalah lemahnya rule of law enforcement dan rendahnya political accountability.


Kelemahan ini menciptakan moral hazard di lingkar kekuasaan. Pejabat merasa aman berlindung di bawah legitimasi presiden, sementara presiden merasa kebal dengan logika politik: “kebijakan bukan kejahatan.” Padahal dalam praktiknya, batas antara kebijakan publik dan penyalahgunaan wewenang sering kali sangat tipis.


Kasus proyek Whoosh bisa menjadi cermin reflektif bagi bangsa. Transparansi biaya, tanggung jawab administratif, hingga potensi konflik kepentingan harus dibuka ke publik. Jika ada penyimpangan, penegak hukum wajib menelusuri hingga ke akar pengambil keputusan, termasuk jika menyentuh lingkaran presiden.


Presiden bukan sosok sakral. Ia adalah pejabat publik yang mendapat mandat rakyat — dan mandat itu selalu disertai tanggung jawab moral serta hukum. Dalam negara demokrasi, loyalitas tertinggi bukan kepada kekuasaan, tetapi kepada hukum dan kebenaran publik.


Pelajaran dari Sarkozy penting diingat: demokrasi sejati bukan demokrasi tanpa dosa, melainkan demokrasi yang berani menebus kesalahannya. Ketika hukum mampu menjangkau mantan presiden, publik percaya bahwa kekuasaan tidak lagi menjadi tameng pelindung.


Indonesia perlu menata ulang mekanisme hukum tata negara untuk menakar pertanggungjawaban presiden pasca menjabat. Misalnya, membentuk Presidential Accountability Commission atau memperluas yurisdiksi Mahkamah Konstitusi dalam menilai pelanggaran kebijakan strategis yang berdampak pada keuangan negara. Langkah ini bukan untuk mengkriminalisasi kebijakan, tetapi memastikan bahwa setiap keputusan dijalankan dengan asas geen macht zonder verantwoordelijkheid — tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.


Hukum publik modern menuntut tiga hal: bernegara yang  rasional (being a rational state), kehati-hatian (prudence) dan akuntabilitas (accountability). Sebab dalam demokrasi, kekuasaan tanpa tanggung jawab adalah bentuk korupsi paling halus — korupsi atas nama kebijakan.


Sejarah menunjukkan, negara yang berani menegakkan hukum terhadap mantan pemimpinnya justru tumbuh lebih kuat. Prancis, Korea Selatan, dan Brasil kini memasuki era baru pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan berhati-hati.


Indonesia harus berani menatap ke atas, bukan hanya ke bawah. Sebab selama hukum hanya tajam ke rakyat kecil, negara hukum hanyalah ilusi konstitusional.

Sementara sebagian masyarakat masih terbelenggu oleh tahyul politik — klenik sakralisasi mantan presiden yang seolah tak boleh disentuh hukum. Ini bertentangan dengan Madilog Tan Malaka dan rasionalitas bernegara yang demokratis.


Demokrasi modern menuntut keberanian berpikir rasional, bukan tunduk pada mitos dan klenik kekuasaan. Belajar dari Sarkozy, menakar Jokowi, dan menegakkan liberté, égalité, fraternité dalam konteks Indonesia berarti menghidupkan kembali roh konstitusi: keadilan, kesetaraan, rasionalitas bernegara dan tanggung jawab publik. Bukan untuk melemahkan kekuasaan, melainkan untuk menyelamatkan martabat negara hukum yang demokratis itu sendiri.


Demikian 


Penulis merupakan Praktisi Hukum dan Aktivis Gerakan Rakyat Banyak.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)