"Penundaan Jadwal Rapat Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Dalam Pilrek USU"

Media Barak Time.com
By -
0

 


Baraktime.com|medan

Forum Penyelamat USU (FP-USU) menyebut penundaan rapat Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera Utara (USU) untuk pemilihan rektor periode 2026–2031 bukan sekadar perkara teknis. Surat resmi bernomor 2354/A/HM.00.00/2025 yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Kemendikbudsaintek, Togar Mangihut Simatupang, mempertegas bahwa proses pemilihan itu ditunda hingga batas waktu yang belum dapat dipastikan.


Di atas kertas, penundaan ini hanya dipahami sebagai pergeseran jadwal, dari 2 Oktober 2025 ke waktu lain. Namun, publik tidak bisa menutup mata bahwa masalahnya lebih dalam. Dalam sejarah politik kampus, penundaan kerap menjadi cermin adanya kecurangan dan pengabaian asas demokrasi, sebagaimana dugaan pada pemilihan 24 September lalu yang dituding melanggar prinsip LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan JURDIL (Jujur dan Adil).


USU bukan sekadar institusi pendidikan tinggi di Sumatera Utara. Ia adalah simbol intelektualitas yang mengemban tanggung jawab moral bagi bangsa. Setiap proses pemilihan rektor karenanya harus memegang teguh etika, integritas, dan keadilan. Penundaan ini membuka tafsir publik: apakah sekadar persoalan administrasi atau justru penegasan bahwa ada praktek curang yang terendus?


Surat tanggapan itu bahkan menyertakan arahan kontak langsung kepada pejabat teknis, Ganjar Pranajaya. Mekanisme komunikasi ini memperlihatkan bahwa Pilrek USU bukan hanya agenda internal kampus, tetapi telah menjadi isu nasional. Pemerintah pusat merasa perlu hadir memastikan integritas demokrasi akademik tetap terjaga.


Dalam perspektif tata kelola universitas modern, pemilihan rektor adalah ujian etis. Jika publik menilai ada pengabaian terhadap asas demokrasi, moral, dan integritas, maka intervensi negara menjadi wajar. Lebih jauh, FP-USU menegaskan bahwa pemerintah wajib membatalkan seluruh tahapan pemilihan apabila terbukti sarat pelanggaran. Jika tidak, potensi perlawanan akademik dan publik kian membesar.


Bagi sebagian civitas akademika, penundaan ini dibaca sebagai strategi “mengulur waktu”. Padahal, langkah semacam itu justru berisiko melemahkan legitimasi rektor terpilih kelak. Kredibilitas MWA sebagai lembaga tertinggi universitas pun ikut dipertaruhkan, mengingat protes publik semakin meluas dan menguat atas proses yang dinilai cacat etika dan demokrasi, pukas Taufik.


Lebih jauh, konsekuensi penundaan ini tidak sederhana. Pergantian kepemimpinan rektor bukan hanya seremonial jabatan, melainkan berkaitan langsung dengan arah kebijakan riset, pengajaran, UKT Mahasiswa yang murah, pengabdian masyarakat, serta pengelolaan aset dan anggaran. Ketidakpastian waktu sama dengan mempertegas krisis tata kelola di tubuh Senat Akademik, Dewan Guru Besar, hingga Panitia Penjaringan dan Pemilihan Rektor USU.


Dalam cakrawala yang lebih luas, kasus USU mencerminkan krisis demokrasi di dunia akademik Indonesia. Alih-alih menjadi benteng etika dan nurani bangsa, kampus justru terjebak dalam tarik-menarik kepentingan. Kementerian boleh menyebut ini masalah teknis, tetapi publik akademik membaca sinyal politik kampus yang kian jauh dari nilai demokrasi dan idealisme kampus.


Kritik juga patut diarahkan kepada MWA. Apakah lembaga ini masih berani menegakkan etika, moralitas dan keadilan, atau justru larut dalam kompromi birokrasi? Rektor bukan hanya pejabat administratif, melainkan simbol otoritas intelektual yang harus berdiri di atas nilai-nilai kebenaran.


Fenomena ini memperlihatkan praktik 'détournement de pouvoir'—penyalahgunaan wewenang—yang merusak tatanan akademik. Penundaan yang diklaim demi menjaga integritas justru menghadirkan kecurigaan publik: adakah kepentingan lain yang hendak diselamatkan di balik layar?


Lebih berbahaya lagi, percepatan agenda pemilihan tanpa transparansi hanya akan memicu spekulasi adanya transaksi politik. Dalam ruang akademik, sekecil apa pun indikasi kecurangan bisa meluluhlantakkan kepercayaan civitas akademika dan publik terhadap sistem yang berlaku.


Oleh sebab itu, MWA bersama kementerian wajib membuka informasi terang-benderang kepada publik. Alasan substantif penundaan harus dijelaskan, termasuk kepastian jadwal pemilihan ulang. Tanpa itu, kampus hanya menjadi panggung sandiwara politik yang banal, jauh dari rumah intelektual yang ideal.


Ucapan terima kasih FP-USU atas surat tanggapan bernomor 2354/A/HM.00.00/2025 sesungguhnya lebih dari sekadar formalitas administrasi. Dokumen itu adalah refleksi problem besar: koreksi pemerintah atas nama Presiden terhadap krisis demokrasi akademik. Jalan penyelamatan hanya satu: keberanian menegakkan keterbukaan, integritas, dan asas demokrasi dalam setiap pengambilan keputusan, ujar Taufik.


Demikian 


Siaran Pers,

Forum Penyelamat USU 

Ketua Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap, SH.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)