Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
I. Pendahuluan
Lelang negara adalah instrumen hukum yang sah dan final untuk memindahkan hak atas barang, sebagaimana ditegaskan dalam Vendu Reglement (Staatsblad 1908 No. 189) dan diperbarui melalui PMK Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. KPKNL bertindak sebagai pejabat lelang negara, memastikan proses berjalan terbuka dan sesuai hukum. Begitu Risalah Lelang diterbitkan, kepemilikan yuridis berpindah ke pemenang. Namun, di balik kepastian normatif itu tersembunyi ironi: banyak pemenang lelang yang sah justru tidak dapat menguasai tanah atau bangunan yang dibelinya karena masih dikuasai pihak lain.
KPKNL berpegang pada Pasal 45 ayat (1) PMK 213/2020—bahwa tanggung jawab terhadap objek beralih ke pembeli setelah lelang selesai. Artinya, KPKNL tidak menjamin pengosongan fisik. Tetapi hukum tidak berhenti di sana. Mahkamah Agung melalui Putusan No. 3079 K/Pdt/2015 menegaskan, negara tetap berkewajiban memastikan objek lelang bebas dari cacat hukum atau sengketa. Jika KPKNL lalai melakukan verifikasi, kelalaian itu dapat dikategorikan sebagai onrechtmatige overheidsdaad—perbuatan melawan hukum oleh penguasa—berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Prinsip due diligence menjadi pagar moral sekaligus hukum bagi pejabat negara.
Ketika pemenang lelang menghadapi objek yang masih dikuasai pihak lain, jalan hukum yang tersedia hanyalah pengosongan melalui pengadilan negeri, sebagaimana diatur dalam Pasal 200 HIR dan 218 RBg. Negara tidak dapat membiarkan warga yang telah menang secara sah berjuang sendiri menegakkan haknya. Tanpa mekanisme penegakan pasca lelang (post-auction enforcement), hukum kehilangan daya hadirnya.
II. Fakta Umum Kasus
Dalam praktik, banyak pemenang lelang telah melunasi pembayaran dan memperoleh Risalah Lelang, namun tetap gagal menguasai objek karena masih ditempati debitur lama atau pihak ketiga. Kondisi ini memperlihatkan jurang antara kepastian hukum formal dan efektivitas hukum substantif. KPKNL memang tidak berwenang melakukan pengosongan, tetapi ketika objek belum “clear and clean” dari sengketa, tanggung jawab hukum tidak sepenuhnya bisa dialihkan kepada pembeli.
Mahkamah Agung melalui Putusan No. 3079 K/Pdt/2015 menegaskan kewajiban pejabat lelang melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap status hukum objek. Kegagalan melaksanakan prinsip kehati-hatian dapat menimbulkan tanggung jawab negara secara perdata. Dalam konteks ini, perlindungan hukum tidak hanya berhenti pada prosedur, tetapi harus menjamin kepastian hasil.
Bagi pemenang lelang, dasar hukum eksekusi fisik hanya dapat diperoleh melalui permohonan pengosongan ke pengadilan negeri. Risalah Lelang bersifat eksekutorial dan dapat ditegakkan oleh juru sita setelah ada penetapan pengadilan. Namun proses yang panjang, biaya tinggi, dan resistensi sosial sering kali membuat keadilan menjadi mahal dan lamban.
Tanpa koordinasi antar lembaga — KPKNL, BPN, dan pengadilan — lelang negara kehilangan maknanya. Warga yang taat prosedur justru menjadi korban dari sistem yang tidak hadir di saat mereka membutuhkan perlindungan hukum.
III. Analisis Normatif
Secara hukum, Risalah Lelang memiliki kekuatan pembuktian sempurna sebagaimana diatur Pasal 20 ayat (2) PMK 213/2020 dan dapat dijadikan dasar balik nama di BPN berdasarkan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24/1997. Dengan demikian, kepemilikan yuridis berpindah secara sah kepada pemenang. Namun, legal ownership tanpa physical possession melahirkan anomali keadilan: pemilik sah tidak bisa menguasai objeknya sendiri.
KPKNL tidak memiliki kewenangan memaksa pengosongan. Tugasnya sebatas memastikan proses lelang sesuai ketentuan. Akan tetapi, prinsip due diligence tetap melekat. Kegagalan memastikan status hukum objek dapat menjadi dasar gugatan perdata. Negara tidak boleh bersembunyi di balik formalitas administratif untuk menghindari tanggung jawab substantifnya.
Pasal 200 HIR memberi dasar bagi pemenang lelang untuk mengajukan eksekusi pengosongan. Risalah Lelang sebagai akta otentik memiliki kekuatan eksekutorial, namun pelaksanaannya bergantung pada penetapan pengadilan. Di sinilah letak keterputusan sistem: hukum memberi hak tetapi tidak memastikan pelaksanaannya secara efektif.
IV. Yurisprudensi Relevan
Sejumlah putusan Mahkamah Agung menegaskan posisi hukum ini, yakni ;
1. Putusan No. 2764 K/Pdt/2010 dan No. 302 K/Pdt/2012: Risalah Lelang sah sebagai bukti kepemilikan, tetapi penguasaan fisik tetap harus melalui pengosongan oleh pengadilan.
2. Putusan No. 372 K/Pdt/2014: KPKNL tidak bertanggung jawab atas kegagalan pengosongan karena kewenangannya hanya administratif.
3. Putusan PTUN Jakarta No. 121/G/2016/PTUN-JKT: Risalah Lelang merupakan keputusan administratif final dan hanya bisa dibatalkan jika terdapat cacat formil.
Yurisprudensi ini menggambarkan garis batas tegas antara juridische eigendom (kepemilikan hukum) dan feitelijke bezit (penguasaan fisik). Pemenang lelang sah sebagai pemilik, tetapi tidak berhak mengambil alih objek tanpa prosedur eksekusi. Negara, melalui KPKNL, hanya menjamin aspek formalitas.
Namun, jika negara berhenti di batas administratif, maka fungsi hukum sebagai pelindung kepastian dan keadilan substantif tereduksi menjadi sekadar seremoni prosedural.
V. Pertimbangan Hukum
Dalam sistem hukum perdata, kepemilikan dan penguasaan fisik adalah dua dimensi berbeda yang harus disatukan melalui mekanisme hukum. Tiga jalur legal dapat ditempuh pemenang lelang:
1. Eksekusi pengadilan — berdasarkan Pasal 200 HIR/218 RBg, melalui juru sita.
2. Kesepakatan sukarela — jika penghuni lama bersedia menyerahkan tanpa paksaan.
3. Pengosongan dengan pengamanan aparat — jika terdapat resistensi yang berpotensi mengganggu ketertiban.
Putusan MA No. 2764 K/Pdt/2010 menegaskan bahwa pengambilalihan tanpa perintah pengadilan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Karena itu, pengosongan harus melalui proses hukum agar tidak menimbulkan pelanggaran hak asasi pihak lain.
Masalah muncul ketika prosedur yang panjang membuat pemenang lelang kehilangan manfaat ekonomis atas haknya. Hukum yang kaku tanpa efektivitas membuat negara terlihat hadir di awal, namun absen pada tahap pelaksanaan.
VI. Kesimpulan dan Rekomendasi
Fenomena pemenang lelang yang tidak dapat menguasai tanah atau bangunan yang telah dimenangkannya menunjukkan adanya kesenjangan serius antara hukum normatif dan realitas pelaksanaan. Secara hukum, pemenang lelang sudah menjadi pemilik yang sah sejak diterbitkannya Risalah Lelang dan dilunasinya harga lelang. Namun secara faktual, banyak dari mereka terhenti di depan pintu rumah yang tak bisa dimasuki, karena masih ditempati oleh debitur lama atau pihak ketiga. Di sinilah hukum diuji bukan hanya sebagai teks peraturan, melainkan sebagai alat keadilan yang hidup.
Adapun Kesimpulan dari opini hukum adalah sebagai berikut : pertama, Risalah Lelang memiliki kekuatan hukum sempurna sebagai alas hak kepemilikan. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) PMK 213/PMK.06/2020 dan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, risalah tersebut merupakan akta otentik yang memberi dasar bagi pemenang lelang untuk mendaftarkan balik nama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Artinya, dari sisi hukum perdata dan administrasi negara, hak yuridis atas tanah telah sah berpindah. Namun kekuatan hukum tersebut belum otomatis memberikan kekuasaan untuk menguasai fisik objek; kedua, KPKNL tidak dapat dimintai tanggung jawab atas kegagalan penguasaan fisik objek lelang. Fungsi KPKNL bersifat administratif dan terbatas pada penyelenggaraan lelang sesuai ketentuan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung No. 372 K/Pdt/2014 yang menegaskan bahwa pejabat lelang tidak bertanggung jawab atas hambatan fisik di lapangan. Dengan demikian, tanggung jawab beralih sepenuhnya kepada pemenang lelang sebagai pemilik baru untuk menegakkan haknya melalui jalur hukum yang sah; ketiga, apabila objek masih dikuasai pihak lain, maka jalur hukum yang dapat ditempuh adalah pengajuan permohonan eksekusi pengosongan ke Pengadilan Negeri. Pasal 200 HIR dan Pasal 218 RBg menjadi dasar bagi pengadilan untuk mengeluarkan perintah eksekusi yang akan dilaksanakan oleh juru sita. Mekanisme ini merupakan bentuk penghormatan terhadap prinsip due process of law, agar hak setiap pihak terlindungi hingga ada penetapan pengadilan yang berkekuatan tetap. Pengosongan tanpa dasar hukum dapat menimbulkan risiko hukum bagi pemenang lelang, bahkan dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata; keempat, Mahkamah Agung melalui sejumlah putusannya — No. 2764 K/Pdt/2010, No. 302 K/Pdt/2012, dan No. 372 K/Pdt/2014 — konsisten menegaskan bahwa keberhasilan lelang tidak serta-merta menjamin penguasaan fisik objek. Pemenang lelang tetap wajib melalui mekanisme eksekusi yang sah agar tidak melanggar hak pihak lain. Yurisprudensi ini menunjukkan sikap kehati-hatian peradilan dalam menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam konteks kepemilikan properti.
Dari kerangka hukum di atas, muncul kebutuhan mendesak untuk memperkuat koordinasi antar lembaga negara. Negara tidak boleh berhenti pada tahap administratif lelang. Harus ada mekanisme post-auction enforcement yang memastikan pemenang lelang memperoleh penguasaan fisik secara efektif. Integrasi antara KPKNL, pengadilan, BPN, dan kepolisian menjadi prasyarat utama agar hukum tidak sekadar memberi hak di atas kertas, tetapi menghadirkan kepastian dan rasa keadilan di lapangan.
Begitupun rekomendasi hukumnya sebagai berikut: pertama, pemenang lelang harus segera menindaklanjuti hak yuridisnya dengan melakukan balik nama sertifikat atas nama sendiri berdasarkan Risalah Lelang. Langkah ini memastikan legalitas kepemilikan tidak dapat diganggu gugat. Kedua, segera ajukan permohonan eksekusi pengosongan ke Pengadilan Negeri setempat, karena hanya pengadilan yang berwenang memberikan perintah eksekusi secara sah. Ketiga, apabila muncul perlawanan dari penghuni lama, tempuh gugatan perdata untuk memperkuat posisi hukum kepemilikan dan memperoleh perintah pengosongan yang berkekuatan hukum tetap.
Terakhir, dalam pelaksanaan pengosongan, pemenang lelang perlu meminta pengamanan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Langkah ini bukan hanya demi menjaga ketertiban, tetapi juga untuk memastikan bahwa pelaksanaan hukum berjalan dengan aman dan manusiawi. Pada akhirnya, keberhasilan negara tidak diukur dari seberapa banyak lelang yang dilaksanakan, tetapi dari seberapa jauh hukum mampu melindungi warga yang berpegang pada prosedur. Karena hukum yang membiarkan warganya menang secara legal namun kalah di lapangan, sejatinya sedang kehilangan makna keadilannya.
VII. Penutup
Kasus pemenang lelang yang tak bisa menguasai tanahnya menyingkap paradoks antara kepastian hukum dan keadilan sosial. Negara telah memberi hak, tetapi belum menjamin pelaksanaannya. Lelang negara seharusnya tidak hanya menjadi sarana transfer aset, melainkan juga cermin tanggung jawab hukum negara terhadap warganya. Sebab hukum yang membiarkan warganya menang di atas kertas namun kalah di lapangan, sejatinya sedang kehilangan wibawa moralnya sendiri.
Demikian.
Penulis Praktisi Hukum.


Posting Komentar
0Komentar