MDP Forum Konsultatif: Due Process of Ethics, Bukan Due Process of Law.

Media Barak Time.com
By -
0

 


Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH


Di tengah hiruk-pikuk kampus dan riuh media sosial, kasus yang diajukan dr. Ratna Setia Asih pada 23 Oktober 2025 menjadi cermin penting bagi tata kelola profesi di Indonesia. Gugatan uji materiil atas frasa “putusan dari majelis” dalam Pasal 307 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan bukan semata soal tafsir hukum, tetapi soal batas kekuasaan lembaga etik dalam menjatuhkan sanksi.


Ratna menggugat karena Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dinilai bertindak layaknya pengadilan. Padahal, konstitusi hanya memberi kewenangan mengadili kepada lembaga peradilan. Di sinilah masalah berakar: negara memperlakukan lembaga etik seolah lembaga yudikatif, sehingga sanksi etik kerap berimplikasi yuridis terhadap profesi dan martabat seseorang.


Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan itu, dampaknya bisa berantai. Banyak lembaga etik lain—termasuk Majelis Disiplin dan Pengawasan (MDP) di kampus dan profesi—akan dipaksa meninjau ulang legitimasi “putusan” yang dijatuhkan tanpa mekanisme due process of law yang memadai.


Kita menyaksikan kecenderungan baru: etik menggantikan hukum. Due process of ethics pelan-pelan mengambil alih posisi due process of law. Seseorang diadili bukan lagi di ruang hukum formal, tetapi di ruang etik yang lentur dan sering kabur, dengan standar pembuktian yang lebih didorong oleh persepsi publik ketimbang bukti konkret.


Padahal, asas due process of law adalah inti negara hukum. Ia menjamin hak asasi setiap orang untuk didengar, membela diri, dan diadili secara adil berdasarkan prosedur hukum yang sah. Bila ruang etik digunakan untuk menjatuhkan sanksi tanpa jaminan proses yang sama, maka keadilan berubah menjadi rasa moral yang sewenang-wenang.


Masalah utama bukan pada keberadaan etika itu sendiri, melainkan pada ekspansi kewenangannya. Etika dibutuhkan untuk menjaga integritas dan nilai moral suatu lembaga. Namun ketika ia dijadikan dasar pemidanaan sosial atau eksklusi profesi, ia telah melewati batas mandatnya. Etika berubah menjadi alat kontrol sosial yang berpotensi menindas.


MDP, pada hakikatnya, forum konsultatif, bukan pengadilan. Ia dibentuk untuk memberi pandangan etis atas perilaku, bukan memutuskan nasib seseorang. Namun, ketika rekomendasi etik menjadi dasar penjatuhan sanksi organisasi, MDP bergeser menjadi quasi court—pengadilan bayangan tanpa jaminan hukum.


Bahaya pergeseran ini terletak pada lemahnya standar pembuktian. Di pengadilan, bukti diuji berlapis. Di forum etik, keyakinan moral sering menggantikan bukti material. Maka, reputasi seseorang bisa hancur hanya karena tafsir etik segelintir orang yang menganggap dirinya penjaga moral.


Ironinya, peradilan etik semacam ini kerap mengaku berbicara atas nama kebenaran moral, padahal justru melanggar prinsip keadilan prosedural. Ia ingin menegakkan nilai, tapi mengorbankan hak individu. Ia mengaku menjaga kehormatan, namun sering kali justru merampas martabat manusia.


Dalam konteks kampus, MDP yang menjatuhkan “putusan” tanpa memberi ruang pembelaan justru menghadirkan otoritarianisme moral. Kekuasaan moral tanpa mekanisme check and balance hanya akan melahirkan kultur takut dan konformitas semu, bukan disiplin sejati.


Lebih berbahaya lagi ketika keputusan etik dijadikan legitimasi politik. Etika lalu dipakai sebagai alat seleksi ideologis: siapa yang dianggap “bermoral” dan siapa yang “menyimpang”. Moralitas bergeser menjadi senjata politik, menghakimi yang berbeda dengan dalih menjaga nilai.


Fenomena ini menunjukkan krisis epistemologis dalam memahami etika. Etika sejatinya adalah refleksi batin, bukan peraturan koersif. Ketika etika dipositivisasi menjadi norma yang memaksa, ia berhenti menjadi refleksi moral dan berubah menjadi perangkat kekuasaan.


Negara hukum berdiri atas kepastian, sedangkan etika berlandaskan kelenturan moral. Menyatukan keduanya tanpa batas justru menimbulkan kekacauan epistemik. Tidak lagi jelas mana pelanggaran hukum dan mana kesalahan moral, mana pengadilan dan mana forum etik.


Ahli hukum klasik seperti A.V. Dicey dan Lon Fuller telah mengingatkan: keadilan bukan hanya soal substansi, tapi juga soal prosedur. Tanpa prosedur yang adil, keputusan sebaik apa pun secara moral tetap cacat secara hukum. Maka, MDP yang menjatuhkan sanksi tanpa proses adil sejatinya melanggar keadilan itu sendiri.


John Rawls menegaskan bahwa keadilan adalah fairness—keseimbangan antara hak individu dan norma kolektif. Bila seseorang dijatuhi sanksi etik tanpa mekanisme banding, keadilan bergeser menjadi moralitas mayoritas yang menindas minoritas.


Etika penting untuk membangun karakter lembaga. Namun etika tanpa hukum melahirkan moral anarkis, sedangkan hukum tanpa etika menciptakan legalisme beku. Keduanya harus berada pada orbitnya: etika sebagai pedoman batin, hukum sebagai penjaga keadilan.


MDP yang bijak harus mampu menahan diri. Ia bukan lembaga pengadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP, melainkan forum etik yang berperan menuntun akal budi. Karena itu, setiap rekomendasi etik semestinya diuji dengan prinsip due process of ethics yang menjunjung transparansi, partisipasi, dan hak pembelaan. Tanpa ketiganya, lembaga etik berisiko berubah menjadi arena vonis moral yang justru mengaburkan nilai keadilan itu sendiri.


Lembaga etik yang adil bukanlah yang cepat menghukum, tetapi yang sabar mendengar dan berproses secara benar. Ia tidak menundukkan individu di hadapan norma, melainkan mengajak norma berdialog dengan kemanusiaan. Di situlah martabat sejati lembaga moral diuji—bukan pada seberapa keras ia menegur, tetapi seberapa arif ia memahami konteks dan niat baik manusia yang dihadapinya.


Sebab, marwah etika hanya akan hidup bila berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan. MDP, jika ingin tetap dihormati, harus kembali pada jati dirinya: forum konsultatif, bukan pengadilan. Due process of ethics tidak dimaksudkan untuk menggantikan due process of law sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana, melainkan untuk memastikan agar profesi tetap tegak dan kehormatan moral tetap terjaga.


Pada akhirnya, perdebatan seputar kewenangan MDP menegaskan urgensi kejelasan batas antara hukum dan etika. Profesi kesehatan membutuhkan kepastian hukum sekaligus ruang etik yang manusiawi. Keadilan sejati hanya mungkin lahir bila keduanya berjalan beriringan: hukum menjamin hak, dan etika menjaga integritas profesi.


Demikian.


Penulis Praktisi Hukum dan Aktivis Rakyat Banyak.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)