"Konflik Tanah di Sumut: Negara Membisu, Aparatus Menari di Atas Penderitaan Rakyat Banyak"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Sumatera Utara (Sumut) telah menjadi episentrum konflik agraria di Indonesia. Menurut data resmi Gubernur dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), sebanyak 33 kasus konflik agraria dilaporkan terjadi di provinsi ini sepanjang periode laporan, dengan total lahan terdampak mencapai sekitar 34.000 hektar. 


Dari 33 konflik itu, 20 kasus terjadi di wilayah perkebunan milik BUMN – terutama PTPN – menunjukkan betapa korporasi negara sendiri kerap berada di garis depan sengketa tanah dengan rakyat. 


Konflik agraria di Sumut bukanlah fenomena kecil-kecilan. Berdasarkan laporan WALHI Sumut dan KPA lokal, sejumlah kasus melibatkan perhutanan sosial, tambang, proyek strategis nasional (PSN), infrastruktur, serta sawit dan perkebunan skala besar. 


Petani, masyarakat adat, dan keluarga miskin desa menjadi pihak yang paling sering dirugikan. Mereka tidak hanya kehilangan lahan—sumber mata pencaharian dan identitas—tetapi juga menghadapi kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Aparatus keamanan dan otoritas lokal sering muncul bukan sebagai penengah, tapi sebagai bagian dari konflik. 


Pemerintah provinsi Sumut – walau pada beberapa kesempatan menyebutkan data konflik—terkesan belum melangkah tegas untuk menyelesaikan akar permasalahan: tumpang tindih kepemilikan, HGU belum habis sudah menjadi HGB, HGU (Hak Guna Usaha) yang kadaluarsa tidak disosialisasikan, ketertutupan informasi tentang HGU dan klaim masyarakat adat sengaja tidak diakui secara formal. 


Salah satu klaster yang menarik perhatian adalah konflik antara masyarakat adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun dengan perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Kasus ini menjadi sorotan publik setelah laporan kekerasan terhadap warga adat – luka-luka fisik, intimidasi – yang diduga melibatkan pihak perusahaan dan aparat. 


Di sisi lain, perhutanan sosial—yang seharusnya menjadi ruang bagi pemulihan dan pengakuan hak masyarakat adat serta petani kecil—justru menjadi sumber konflik baru. Banyak izin yang diberikan tidak jelas targetnya, objeknya, atau statusnya pasca izin. 


Data WALHI Sumut menunjukkan bahwa pada 2023 saja ada 18 kasus konflik agraria–SDA (Sumber Daya Alam), luas lahan hingga 18.141 hektar, di mana setengahnya berada di kawasan hutan dan sisanya di penggunaan lain. Sekitar 7.000 kepala keluarga hidup dalam bayang-bayang konflik, ancaman kehilangan akses terhadap sumber penghidupan mereka. 


Ironisnya, meskipun banyak data, korban, dan lokasi yang dilaporkan, narasi resmi pemerintah sering membisu dan pura-pura buta terhadap korban–apa upaya, apa penyelesaian, apa pertanggungjawaban. Publik terus menunggu transparansi: siapa yang bertanggung jawab, bagaimana restitusi, bagaimana keadilan bagi rakyat terdampak.


Aparatus negara—dari pemerintah daerah sampai aparat keamanan—sering tampil aktif, bukan mendamaikan, melainkan memperkuat posisi korporasi atau kepentingan investasi. Dalam banyak aksi protes, warga melaporkan intimidasi, pengusiran paksa, kriminalisasi – dan kasus‐kasus ini jarang diusut secara independen dan terbuka. 


Kondisi ini diperparah oleh kelemahan regulasi dan pelaksanaannya: ketidakjelasan status tanah, lemahnya verifikasi klaim masyarakat adat, birokrasi yang tidak responsif, dan seringnya izin‐izin yang dikeluarkan tanpa konsultasi atau pemberitahuan publik yang layak.


Investasi dan pembangunan digembar-gemborkan sebagai pembangunan “kemajuan,” tetapi di balik jargon PSN dan pembangunan infrastruktur, ada banyak korban tak terlihat: rakyat kehilangan tanah, akses pangan, dan habitat mereka, sembari korporasi menikmati izin dan lahan. Sengketa lahan seringkali timbul karena tanah diambil tanpa compensasi layak atau tanpa prosedur partisipatif. 


Konflik agraria yang dibiarkan menuai efek terjal: ketidakstabilan sosial, protes berkepanjangan, permasalahan moral dan kepercayaan terhadap pemerintah. Rakyat yang kehilangan tanah tidak hanya kehilangan sumber ekonomi, tetapi juga tempat tinggal, identitas budaya, dan rasa aman.


Ketika negara bungkam terhadap derita rakyatnya, aparatus justru tampak menari di atas luka sosial yang mereka biarkan terbuka. Konflik agraria di Sumatera Utara bukan sekadar angka—33 kasus dan puluhan ribu hektare tanah yang disengketakan—melainkan potret sistem kekuasaan yang pincang. Di satu sisi, pemerintah menggaungkan reforma agraria sebagai solusi; di sisi lain, aparat dan birokrasi justru menjadi bagian dari rantai konflik itu sendiri. Mereka menegakkan hukum hanya untuk kepentingan izin dan investasi, bukan untuk melindungi hak warga yang terampas.


Ketika izin korporasi diperpanjang tanpa verifikasi, ketika masyarakat adat dikriminalisasi atas tanah leluhurnya, dan ketika aparat bersenjata hadir bukan sebagai penjaga perdamaian melainkan penjaga kepentingan modal, maka negara telah kehilangan makna kehadirannya. Aparatus menikmati kemewahan kewenangan dengan menari di atas penderitaan rakyat banyak—membiarkan petani dan masyarakat adat berjuang sendirian dalam pusaran konflik yang tidak berkesudahan.


Keadilan agraria sejatinya bukan sebatas urusan tanah; ia adalah ukuran moral dan politik sebuah negara. Bila negara terus berdiam, maka diam itu bukanlah netralitas, melainkan keberpihakan pada ketidakadilan. Sumatera Utara menjadi cermin paling jujur: betapa kekuasaan bisa menjelma panggung dansa bagi aparatus, sementara rakyat menjadi lantai tempat mereka berpijak—retak, penuh luka, dan terus menjerit tanpa jawaban.


Demikian.


Penulis, Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH., Praktisi Hukum dan Aktivis Rakyat Banyak.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)